SOLOPOS.COM - Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto (Rahmatullah/JIBI/Bisnis)

Solopos.com, JAKARTA Pengamat energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto meminta pemerintah menambah pasokan elpiji subsidi 3 kg pascakenaikan harga elpiji nonsubsidi 12 kg. “Pemerintah sebaiknya menambah suplai elpiji 3 kg sebagai antisipasi potensi kelangkaan akibat kemungkinan beralihnya sebagian pengguna elpiji 12 kg ke 3 kg,” katanya di Jakarta, Kamis (2/1/2013).

Meski demikian, lanjutnya, pemerintah dan PT Pertamina (Persero) tetap mesti lebih memperketat pengawasan untuk menekan migrasi 12 kg ke 3 kg. Menurut dia, tambahan subsidi sebagai konsekuensi tambahan pasokan elpiji 3 kg tidak masalah karena kenaikan harga dimaksudkan untuk mengurangi kerugian Pertamina yang 100 persen sahamnya dimiliki pemerintah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Bagi pemerintah jadinya seperti keluar dan masuk kantong yang berbeda saja,” katanya.

Mekanisme subsidi tersebut diakuinya lebih memberikan kejelasan pengaturan dan tata niaga elpiji. “Menjadi lebih jelas dan tidak selalu berlarut-larut dengan permasalahan yang sama yakni ada produk yang disubsidi dan ada yang tidak,” ujarnya.

Demikian pula, tambahnya, kalau pemerintah tidak menyetujui kenaikan harga elpiji 12 kg, maka kompensasinya pengurangan deviden Pertamina. “Sama saja kantong kiri dan kanan juga,” katanya.

Pri mengatakan kenaikan harga elpiji 12 kg merupakan aksi korporasi mengingat statusnya sebagai komoditas nonsubsidi yang dikonsumsi kalangan menengah atas. Dengan demikian, Pertamina sebagai badan usaha berhak menetapkan harga sesuai kepentingan bisnis.

Bagi masyarakat bawah dan usaha mikro, pemerintah menyediakan elpiji 3 kg bersubsidi yang harganya lebih murah. Namun, tambah Pri, Kementerian ESDM tetap perlu memberikan kepastian apakah kenaikan harga tersebut disetujui atau tidak.

“Jika tidak ada sikap atau penjelasan resmi dari pemerintah, maka dapat dikatakan secara tidak langsung pemerintah telah memberikan persetujuan,” katanya.

Sebagai konsekuensi dan antisipasinya, maka pemerintah mesti mengatur agar kenaikan di tingkat konsumen tidak melebihi yang telah ditetapkan. Sementara itu pemerintah menegaskan tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi langkah Pertamina tersebut.

“Kenaikan gas elpiji itu memang corporate action, dan karena itu pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi harga itu, kecuali yang menyangkut subsidi [elpiji subsidi 3 kg], tapi kalau saya, punya keinginan tentu kami tahan, jangan dulu,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, menanggapi kenaikan harga elpiji 12 kg di Bursa Efek Indonesia, Kamis.

Hatta mengatakan berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan juga temuan BPK sudah ada temuan kerugian Pertamina karena menjual elpiji 12 kg tidak sesuai dengan produksi harga gas di bawah harga-harga pokoknya. “Jadi kami tidak bisa mengintervensi perusahaan yang sudah menetapkan dalam RUPS-nya per Januari mereka naikkan,” tegas Hatta.

Namun apabila Pertamina ingin menaikan harga gas elpiji 3 kg tentunya harus mendapatkan izin dari pemerintah, karena terkait subsidi. “Kalau yang menyangkut subsidi, pemerintah punya kewenangan bersama DPR. Kalau yang ini (12 kg) tidak perlu, cuma kami minta kenaikan diberlakukan pada waktu yang tepat. Terkait kenaikan harga elpiji sendiri masih relatif kecil dan terkendali,” tandasnya.

Pertamina per 1 Januari 2014 menaikkan harga elpiji nonsubsidi tabung 12 kg sebesar 68 persen untuk mengurangi kerugian bisnis bahan bakar nonsubsidi yang rata-rata Rp6 triliun per tahun. Harga elpiji sampai di pangkalan yang sebelumnya Rp5.850/kg naik Rp3.959 menjadi Rp9.809/kg. Dengan demikian, per tabung 12 kg, harganya naik dari Rp70.200 menjadi Rp117.708/tabung. Setelah ditambah biaya distribusi dan pengisian elpiji, maka harga elpiji di tingkat konsumen menjadi Rp130.000-Rp140.000/tabung.

Besaran kenaikan di tingkat konsumen itu akan bervariasi berdasarkan jarak stasiun elpiji ke titik serah lalu ke konsumen. Pertamina menghitung setelah kenaikan harga maka kerugian bisa ditekan menjadi sekitar Rp2 triliun. Harga pokok elpiji terutama ditentukan harga pembelian sesuai pasar dan nilai tukar rupiah. Saat ini, harga pokok sudah mencapai Rp10.785/kg. Dengan harga jual setelah kenaikan Rp9.809/kg, maka Pertamina masih menanggung kerugian sekitar Rp2.000/kg.

Pada 2013, Pertamina rugi Rp5,7 triliun. Kenaikan harga elpiji merupakan tindak lanjut rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan kerugian bisnis elpiji nonsubsidi pada 2011-Oktober 2012 sebesar Rp7,73 triliun sebagai kerugian negara. (JIBI/Solopos/Antara/Detik)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya