SOLOPOS.COM - Rus Utaryono (JIBI/SOLOPOS/dok)

Rus Utaryono (JIBI/SOLOPOS/dok)

Kasus dugaan korupsi kas daerah (Kasda) Kabupaten Sragen oleh mantan Bupati Sragen, Untung Wiyono, mencengangkan banyak pihak. Bayangkan, dalam kurun waktu antara 2003/2004 sampai 2009/2010, dana Kasda yang ”dipermainkan” secara ilegal mencapai Rp 42 miliar, sebagaimana yang dikemukakan otoritas di Kejaksaan Tinggi (Kejakti) Jawa Tengah.
Begitu rapinya permainan itu, sampai pada saat menjelang lengser dari kekuasaan periode kedua Bupati Untung Wiyono, baru terbongkar. Selama itu pula DPRD Sragen sama sekali tidak mengetahuinya, bahkan Wakil Bupati Sragen saat itu, Agus Fatchur Rahman, yang saat ini terpilih menjadi Bupati Sragen, menurut pengakuannya juga sama sekali tidak mengetahui.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Auditor BPK yang tiap semester memeriksa APBD Kabupaten Sragen juga tidak pernah menemukan penyimpangan tersebut. Apakah auditor BPK juga tidak mengetahuinya? Saya menyangsikan ketidaktahuan tersebut. Tulisan ini mencoba memandang kasus itu dari sudut pandang etika politik dan kekuasaan. Pelaku penyimpangan Kasda mencerminkan telah terjangkit kemiskinan etika dan filsafat kekuasaan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan.

Ketika pemegang kekuasaan pemerintah mengetahui betul ada sebagian rakyat yang menjerit karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para pengambil kebijakan (kepala daerah dan DPRD) justru sibuk merancang kenaikan anggaran internal masing-masing, peningkatan fasilitas dan atensi terhadap kenaikan gaji, serta honorarium.
APBD telah dieksploitasi sedemikian rupa tidak untuk wong cilik, namun untuk sebesar-besar kemakmuran pengampu kebijakan. Ketika segenap elemen bangsa sedang prihatin dengan maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), para pemegang otoritas kekuasaan justru semakin asyik melakukan perselingkuhan keuangan negara.
Ketika aparat penegak hukum dengan sigap dan cepat memburu perampok bank, pencopet dan maling-maling kampung, para koruptor kelas kakap leluasa kabur dan jalan-jalan ke luar negeri. Bagaimana dualisme demikian itu dapat berlangsung tanpa mengusik nurani bangsa ini? Pemerhati dan pandangan kritis atas situasi itu tetap ada, tetapi tampaknya tidak cukup efektif menggugah gerakan-gerakan perlawanan. Mengapa?

Haryatmoko (2003) memberikan analisis bahwa kepemimpinan dan para pengambil keputusan telah dihinggapi pendangkalan dan pemiskinan politik. Hal ini ditandai tiga kecenderungan. Pertama, mengabaikan pendekatan ideologi, tata nilai dan kehilangan prioritas. Kedua, melihat ruang publik layaknya sebuah pasar sehingga yang diperhitungkan adalah cara mendapatkan keuntungan ekonomis. Penyelenggara negara tereduksi menjadi manajemen kepentingan individu atau kelompok. Proses politik pengambilan kebijakan publik diukur dari sejauh mana hal itu memperbesar akses kepentingan mereka, bukan dan tidak merupakan sebuah seni dan pengabdian untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama. Ketiga, pendangkalan dan pemiskinan politik telah mendegradasi etika kekuasaan, etika politik kekuasaan. Pertanyaan di atas mendapat jawabannya.

Etika politik dan kekuasaan berangkat dan digerakkan oleh moral. Orang yang mampu memasuki dimensi moral dalam kehidupannya mudah menyesuaikan dengan etika politik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Dimensi moral ini merupakan rasionalitas kegiatan kekuasaannya. Moral sebagai titik tolak filsafat politik menjadi sentral karena mampu menyentuh hati nurani.

Bangsa ini pernah menempatkan kesadaran moral dan menyepakatinya dengan totalitas, yakni ketika menerima Pancasila sebagai dasar negara. Perlu diingat, perdebatan mengenai negara saat itu sangat sengit dan menguras energi bangsa sehingga ketika Pancasila disepakati sebagai dasar negara dengan teksnya seperti sekarang ini, merupakan bentuk kesadaran moral bersama yang mengesampingkan partikularitas agama, daerah dan paham-paham lainnya. Etika politik bukan saja mengandung aspek etika individual, tetapi juga etika sosial dan etika institusional. Secara individual, etika politik merupakan kualitas moral pelaku kekuasaan. Etika sosial adalah refleksi dari tatanan sosial, ketaatan hukum kolektif dan nilai-nilai keadilan. Etika institusional merupakan penerapan kebijakan dalam manajemen publik.

Pilihan rakyat
Dalam proses pengambilan kebijakan publik, penyelenggara negara mempunyai komitmen penuh pada prioritas kesejahteraan rakyat, keterbukaan dan pertanggungjawaban. Atas dasar kebijakan ini, kelompok-kelompok masyarakat, DPRD dan pihak-pihak berkompeten lainnya dapat melakukan pengawasan, evaluasi kinerja dan meminta pertanggungjawaban.
Etika politik diarahkan untuk membentuk tujuan baik secara bersama-sama dalam institusi-institusi yang adil dan dalam rangka memperluas kebebasan. Dalam perspektif ini, korupsi dilihat sebagai bentuk negasi terhadap ketiga unsur etika politik di atas. Pertama, korupsi merusak sendi-sendi pegangan hidup bersama karena yang terjadi adalah pemenuhan kepentingan diri atau kelompok saja. Kedua, korupsi menghalangi upaya membangun institusi yang lebih adil, mengingat pada dasarnya korupsi merupakan bentuk ketidakadilan dan upaya melawan kesejahteraan bersama. Ketiga, korupsi mengkhianati cita-cita kebebasan dan keterbukaan.

Korupsi selalu tidak dapat dipisahkan dari interaksi kekuasaan. Dalam kasus Kasda Sragen, Untung Wiyono dan Kusharjono adalah pucuk pimpinan eksekutif dan birokrasi pamerintah, pemegang otoritas pengelolaan keuangan daerah. Masih adakah ungkapan skeptis terhadap etika politik dan moralitas kekuasaan? Bukti awal telah cukup menegaskan terjadi proses pendangkalan dan pemiskinan politik yang mendorong lenyapnya etika dan moralitas politik kekuasaan.

Mantan Bupati Sragen Untung Wiyono telah 10 tahun menjabat, dan dalam Pilkada tiga bulan lalu memperjuangkan anak kandungnya (Kusdinar Untung Yuni Sukowati) untuk meneruskan kekuasaan politik di Sragen. Samar-samar isu mengenai adanya korupsi besar akan terbongkar apabila anaknya Untung Wiyono kalah telah terdengar beberapa waktu menjelang Pilkada April 2011 lalu. Hal itu tampaknya menjadi pertimbangan rakyat dalam menentukan pilihan politik. Melihat hasil Pilkada, rakyat Sragen telah menempatkan etika dan moral politik sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan pilihan politik. Semoga pemimpin baru menyadari hal itu dan mengambil pelajaran darinya.

Rus Utaryono, Advokat di LBH Mega Bintang, mantan anggota DPRD Sragen

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya