SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Oleh Ahmad Djauhar
KETUA DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA

Seakan tak mau kalah sigap dari Kabinet Indonesia Bersatu II, geng diskusi Aangkringan Lik No, Noyo, Sutorro, dan Subarry Manilauw-pada sebuah siang segera menggelar Forobda alias forum obrolan dadakan. Agenda utama forum siang itu cukup istimewa.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Apalagi kalau bukan seputar pembentukan kabinet yang penuh tanda tanya itu. Tak tanggung-tanggung, konco lawas tersebut sengaja mengundang salah seorang pejabat RW, yang juga beker ja di kantor pemerintahan, Surya Manggala, sobat kental Noyorono. Meski masih berusia relatif muda, pertengahan 40-an, Surya sudah 5 tahun berada di posisi eselon I. “Pak Surya, piye ki penyusunan kabinet, selain kebanyakan anggota kabinet berstatus pini sepuh [lebih banyak yang berusia lanjut], juga terkesan dramatis dan agak tragis… Soalnya, ada yang ‘dikorbankan’ segala,” ujar Subarry setelah basa-basi sejenak.

“Iya, ini agak tragis memang. Tanpa ba, bi, bu… salah satu kandidat menteri dieliminasi begitu saja tanpa penjelasan. Kasihan, siapa tahu sudah diucapin selamat oleh keluarganya… Oleh banyak kolega…, dan sebagainya, tiba-tiba urung,” kata Surya. “Ya, tapi juga sudah dikatakan sebelumnya bahwa dari seluruh kandidat menteri yang diundang untuk beraudisi ke Cikeas, hanya 90% yang akan benar-benar menjadi menteri. Bukan salah pengundang dong…” tutur Suto yang mencoba bersikap netral.

“Kalau memang seperti itu kondisinya, Kang Suto, kenapa tidak sekalian dipanggil dua kandidat untuk setiap posisi calon menteri, dengan demikian kans masing-masing untuk diangkat sebagai menteri sama semuanya, hanya 50 persen. Saya kira ini akan lebih fair bagi siapa pun…” Noyo menengahi.

“Wah, ya ndak bisa gitu Noy… Itu malah merepotkan pasangan presiden dan wakil presiden nantinya… Lagian, memilih menteri itu kan bagian dari hak prerogatif presiden, jadi dengan cara apa pun, model bagaimanapun, saya kira presiden bolah-boleh saja, termasuk untuk tidak memilih salah satu ataupun salah lima kandidat,” tukas Suto. “Kejem bener…” tutur Subarry lirih. “Apa? Siapa yang kejam Bar? Ini sudah lumrah terjadi… di negara mana pun juga begitu….” sergah Suto dengan nada agak meninggi.

“Nggak, Bang…Saya nggak bilang gitu kok… Itu cuma kelepasan bicara aja tadi,” kata Subarry berusaha memperbaiki suasana. “Tapi memang aneh ya… pejabat karier di instansi pemerintah… Mengabdi belasan tahun, disekolahin sampai doktor di universitas top luar negeri, diikutkan kursus sana-sini, penugasan apa pun ditempuh… eh, kalah sama politisi karbitan yang tiba-tiba bisa begitu saja menjadi atasan kami,” kata Surya. “Iya, ya… Meskipun banyak pejabat karier yang pinterpinter, kalau menterinya politisi, keputusan akhir nantinya tetap saja di tangan mereka. Pantesan, pembangunan di negeri kita ini gak maju-maju… Orang  pinter kalah sama orang fulitik,” kata Subarry.

“Padahal, jauh-jauh hari, media kita sudah meramaikan soal ini lho… Masukan dari masyarakat agar presiden tidak terlalu banyak mengakomodasi orang partai tampaknya tidak mempan… Waktu itu  an diharapkan lebih banyak profesional yang akan mengisi kabinet, mengingat tantangan yang dihadapi negeri ini kian kompleks itu,” ujar Noyo.

Pemimpin partai “Tapi, kalian jangan salah mengira… Orang-orang partai itu juga tidak bodoh lho. Mereka memimpin organisasi yang jauh lebih dinamis, sudah teruji di lapangan, dan mestinya memiliki kemampuan mengelola organisasi dengan baik. Saya kira memimpin departemen tidak lebih sulit ketimbang memimpin organisasi politik sih,” Suto mencoba berpikir proporsional. “Bener, Pak Suto eh Pak Suto…

Tapi, penyakit di negeri kita ini adalah bila ada seseorang dari partai politik memiliki posisi strategis di pemerintahan, dia lebih cenderung memprioritaskan  kepentingan partai ataupun golongannya lho… Padahal, setelah menjadi pejabat negara, seharusnya dia melepaskan diri dari status kepartaiannya itu untuk sepenuhnya berbakti kepada bangsa dan negara,” kata Surya. “Sampeyan betul, Mas Surya… Tapi, justru karena mereka itu pentolan parpol, maka dipilih menjadi anggota kabinet, supaya dapat berfungsi ganda… Sebagai pembantu presiden dan sebagai anggota pemadam kebakaran… ha ha ha…” timpal Noyo dengan nada bergurau.

“Pemadam kebakaran… Apa maksudmu, Noy…” sergah Suto. “Lah, Bang Suto kayak nggak tahu aja… Dengan pemimpin partai berada di kabinet, maka pemerintah akan kuat, sehingga bila ada manuver apa pun di parlemen, misalnya ada anggota DPR yang ngeyel, menentang kebijakan pemerintah, akan dengan mudah diredam…” Subarry mencoba menjelaskan. “Oo… begitu ya. Masuk akal juga sih. Tapi, itu kan baik bagi kelancaran program pembangunan… Biar DPR tidak gampang mengganggu pemerintah,” Suto menanggapi. “Di satu sisi memang baik, Kang Suto…

Tapi, kondisi itu juga mendorong pemerintah menjadi otoriter, mau menang sendiri… Sebagai negara demokratis, mana dong mekanisme checks-and-balances- nya… Bisa-bisa, kita tidak demokratis lagi,” tukas Noyo. “Eng.. ng.. ng… betul juga katamu, Noy… Apalagi di DPR kini  nyaris tidak ada partai yang  memosisikan diri sebagai oposisi ya… Wah, bisa gawat tuh kalau pemerintah terlalu berkuasa. Bisa-bisa, media massa juga dikendalikan lagi… Jangan-jangan, kita tidak bebas ngobrol lagi di angkringan ini…” kata Suto menyadari keberpihakannya. “Saya kira, pemerintahan SBY tidak sampai sebegitunya…

Kalau sampai hal itu terjadi, ya… bakal terjadi Gerakan Reformasi jilid dua… Mau…” kata Surya yang memang mantan aktivis mahasiswa itu. “Ya udah deh, kita tunggu 100 hari mendatang, kabinet mau ngapain… Setelah itu, kita tunggu setahun, kita tunggu lagi hingga genap 5 tahun… Toh setelah itu bakal ganti lagi ha ha ha…” ujar Noyo mencoba berkelakar. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya