SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Dari jalan raya Kalitengah Kidul Glagaharjo Cangkringan terlihat puluhan jeriken dan ember kosong berjajar di pinggir sumur tua.

Di dekat bibir sumur, Paiyem, 60, terlihat sibuk menyuling air di dasar sumur sedalam tiga meter. Dari sumber air di balik bebatuan sumur berdiameter dua meter itu, dengan sabar ia menciduk sedikit demi sedikit air agar genangan tidak keruh.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Hingga akhirnya jeriken ukuran 10 liter penuh untuk bisa diangkat ke permukaan tanah.

Mengandalkan kekuatan lengan tangan dan pijakan kaki di antara batu-batu besar dalam sumur ia berhasil mengangkat 10 liter dari dalam sumur seorang diri. Masalah belum selesai, untuk mengembalikan tubuhnya ke atas permukaan tanah tidaklah mudah.

Memanjat bibir sumur setinggi sekitar dua meter bukan pekerjaan mudah bagi seorang wanita. Namun ibu dengan dua anak ini berusaha sekuat tenaga agar bisa naik tanpa bantuan.

Mirip dengan latihan lompat tembok Cina dalam pendidikan militer. Paiyem mengandalkan kekuatan tangannya untuk kembali ke permukaan tanah. Ia langsung menuangkan air ke dalam ember yang masih kosong. Ia membawa dua ember dan dua jeriken untuk diisi air pagi itu.

Dua ember dan satu jeriken sudah terisi sejak pukul 07.00 WIB, ia memperkirakan pukul 10.00 WIB sudah pulang membawa penuh keempat wadah airnya. 

Untuk bisa mengisi jeriken berikutnya tidak gampang. Ia harus menunggu setengah jam sampai satu jam lagi agar air dalam sumur keluar lagi hingga menggenang. Ia akan kembali menuruni sumur tua menapaki batu-batu besar dalam sumur.

Debit airnya memang sangat kecil, mungkin hanya setengah liter per menit. Sehingga dibutuhkan waktu lama agar air bisa menggenang untuk bisa diambil. “Sejak dulu ya seperti ini kalau musim kemarau,” kata Paiyem saat ditemui Harian Jogja, belum lama ini.

Sambil menunggu air di dalam sumur kembali menggenang, ia mengobrol dengan pengantri air lainnya, Sutini, 50, dari kampung yang sama. Sutini membawa jeriken ukuran 30 liter dan beberapa ember sejak subuh. Tapi baru terisi yang jeriken saja.

“Saya tinggal ngarit dulu tadi, baru terisi yang jeriken biru. Itu pun saya butuh waktu satu jam untuk ngisinya,” kata Sutini yang rumahnya hanya beberapa meter dari sumur itu.

Berbeda dengan Paiyem, Sutini tidak berani masuk ke dalam sumur. Ia hanya menggunakan timba kecil yang diikat pada bambu. Berbekal bambu sepanjang tiga meter itu ia bisa menjangkau dasar sumur untuk mengangkat air.

Meski harus berusaha keras, air di lereng Merapi itu tidak bening. Meski demikian mereka tetap menggunakan air itu untuk untuk mencuci, mandi bahkan dikonsumsi.

Paiyem bercerita ia terpaksa mencuci dua hari sekali untuk menghemat air. Sikap itu bisa jadi bisa dimaklumi, sebab butuh satu jam lebih untuk mendapatkan air satu ember.

Paiyem dan Sutini memilih bersusah payah mengambil air dari sumur tua karena tidak mampu beli air bersih. Terlebih air satu truk tangki harus dibeli Rp120.000.

“Jelas kami tidak mampu untuk beli air semahal itu, untuk makan saja di irit-irit,” kata Paiyem. Pasca Erupsi Merapi, air bersih masih menjadi barang langka bagi warga yang berkeinginan membangun hidup mereka kembali itu.(Wartawan Harian Jogja/Akhirul Anwar)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya