SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Istimewa/www.stuff.co.nz)

Kekerasan seksual sering membutuhkan visum. Namun, PPA Polres Sragen masih sulit mengakses layanan visum di rumah sakit.

Solopos.com, SRAGEN — Layanan visum bagi korban kekerasan seksual masih sulit diakses oleh penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Sragen. Layanan visum selama ini masih tergantung jadwal yang ditentukan oleh rumah sakit.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal itu dikemukakan Kepala Unit PPA Satreskrim Polres Sragen, Ipda Pitoyo, saat menyampaikan materi dalam acara Sosialisasi UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak di kompleks Ndayu Park, Minggu (3/4/2016). Pada kesempatan itu, Pitoyo mengatakan visum terhadap korban kekerasan seksual harus dilakukan secepatnya. Idealnya visum dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah korban mengalami kekerasan seksual.

”Saat kekerasan seksual itu terjadi pada hari Minggu pukul 00.00 WIB, kami biasanya sulit mencari rumah sakit yang bisa melayani visum. Kami sudah menghubungi sejumlah rumah sakit, tapi mereka tidak bisa melayani visum dalam jangka dekat. Rumah sakit biasanya menginginkan visum dilakukan di jam kerja. Namun, jika visum dilakukan setelah 24 jam, hasilnya kurang maksimal,” terang Pitoyo.

Hingga kini, Polres Sragen juga belum memiliki ahli psikolog untuk memantau perkembangan korban kekerasan seksual baik dari kalangan perempuan maupun anak. Polres Sragen selama ini bekerja sama dengan Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS) untuk mendampingi korban.

”Kami juga belum memiliki ruang istirahat atau selter khusus bagi saksi korban kekerasan seksual, khususnya dari luar kota selama masih dalam proses penyidikan. Selama ini kami hanya memanfaatkan selter milik APPS karena kami tidak memilikinya,” ucapnya.

Pitoyo berharap problem yang dihadapi Unit PPA itu bisa dicarikan solusi oleh pemerintah melalui Anggota Komisi VIII dari Partai Gerindra Rahayu Saraswati yang hadir pada kesempatan itu. Sepanjang 2014 lalu 12 kasus kriminal yang melibatkan perempuan dan anak. Tujuh kasus di antaranya merupakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sementara lima kasus lainnya merupakan anak berhadapan hukum (ABH).

Pada 2015 terdapat 20 kasus kriminal yang melibatkan perempuan dan anak. Sebanyak 12 kasus di antaranya merupakan KDRD, sementara delapan kasus lainnya merupakan ABH. ”Pada 2016 mulai dari Januari-April sudah ada enam kasus kejahatan yang melibatkan anak-anak. Dari enam kasus itu, empat di antaranya sudah P21, sementara dua kasus lainnya sudah selesai,” paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya