Kekerasan Jogja terjadi karena kurangnya aktivitas positif.
Harianjogja.com, JOGJA — Kepala Dinas Penddidikan Pemuda dan Olahraga DIY Kadarmanta Baskara Aji mengungkapkan, perlunya pembinaan ekstra di sekolah terutama bagi siswa kelas XI SMA/SMK.
Menurut dia, potensi kenakalan remaja cenderung dimulai saat siswa menginjak kelas XI
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
Baca Juga : KEKERASAN JOGJA : Orang Tua Sibuk, Anak Cari “Kesibukan”
“Siswa kelas XI itu tidak memiliki kesibukan seperti siswa kelas XII yang sibuk dengan persiapan ujian nasional. Kalau siswa kelas X masih mencoba beradaptasi dengan sekolah baru, jadi kecenderungan untuk nakal sangat tipis. Baru di kelas XI mereka potensi kenakalan itu dimulai,” jelas dia akhir pekan lalu.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, menurut Aji, pihak sekolah sebenarnya bisa melakukan intervensi. Upaya itu dilakukan dengan memberikan aktivitas atau kreativitas yang positif dengan porsi yang lebih banyak bagi siswa kelas XI.
Sekolah bisa menyediakan kegiatan ekstrakulikuerl (ekskul) yang disesuaikan dengan minat dan bakat mereka. Dengan demikian para siswa kelas XI bisa menyalurkan kelebihan energi dalam berbagai aktivitas positif.
“Yang senang berkelahi bisa dibuatkan ekskul karate atau taekwondo, yang senang basket bisa dibuatkan klub ataupun lainnya,” tandasnya.
Hanya saja yang jadi masalah, lanjut Aji belum semua sekolah mampu menyediakan fasilitas dan sarana prasarana bagi pengembangan bakat dan minat siswa. Oleh karena itu sekolah perlu kreatif membuat program-program ekskul yang menarik tanpa harus mengeluarkan biaya besar
Nilai budaya
Sosiolog Kriminalitas Universitas Gadjah Mada (UGM) Suprapto juga menyatakan aksi klithih lebih dominan terjadi karena persoalan dalam keluarga.
“Fungsi sosialisasi nilai budaya juga saat ini sudah mulai menipis. Selama ini kejadian kebanyakan terjadi di atas pukul 12 malam [00.00 WIB]. Itu artinya tidak ada kontrol tua, terbukti anak dibiarkan keluyuran hingga larut malam tanpa kontrol,” papar dia.