SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Terjadinya kekerasan dalam masyarakat, kita perlu merefl eksi sistem pendidikan kita, karena ciri-ciri masyarakat kita tidak dapat dipisahkan dengan hasil pendidikan, baik formal, nonformal maupun pendidikan informal. Apa yang terjadi dengam pendidikan formal  kita? Bila kita merefl eksi pendidikan formal kita, terjadi gejala komunitas anakanak kita yang seharusnya menjadi komunitas  yang alamiah, telah dipecah-pecahdalam masa pendidikan mereka.

Di antara anak-anak bangsa kita ada yang dipisahkan dalam kelas akselerasi, ada  anak-anak yang dipisahkan dalam sekolah unggul, adapula yang dimasukkan dalam kelas SBI dan lainnya. Padahal pemisahan anak bangsa itu pada dasarnya bermuatan perlakuan diskriminatif, yang bertentangan dengan UU Sikdiknas 2003. Diskriminasi itu dilakukan dengan adanya perbedaan kemampuan dasar anak-anak kita, yakni anak-anak yang memiliki IQ tinggi dan rendah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Repotnya,  sistem pemisahan itudilakukan untuk memilih anakanak berdasarkan pada yang ber-IQ tinggi saja. Padahal mengajar dan mendidik  anak bangsa ini adalah menjadi tanggung jawab kita bersama, berarti dengan dalih apapun, tidak benar lembaga pendidikan kita hanya memilih anak-anak yang pandai saja. Saya berpendapat, mereka  mempunyai hak yang sama. Pendidikan bagi anak bangsa adalah menjadi tanggung jawab kita bersama. Kita memiliki konsep nasional “Pemerataan  Pendidikan”, “Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun”. Berarti semua anak  bangsa kita tanpa terkecualiharus mendapatkan sentuhan pendidikan, terutama sampai dengan usia wajib belajar.

Oleh karena itu kebijakan  memilih anak-anak yang pandai itu dapat dikatakan sebagaikebijakan yang “egois”, hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok, kurang mementingkan kepentingan bangsanya. Bila kita  menggunakan paham sekolah sebagai berikut: TK dianjurkan, SD-SMP Wajib Belajar, SLTA didorong, dan PT diberi kesempatan, maka variasi program pendidikan baru dikenakan  pada SLTA ke atas. Menurut saya, program yang sekarang dilakukan itu pada dasarnya adalah program yang hanya mendiskriminasikan  anak, menyekat anak-anak bangsa kita dalam berbagai macam kelas dan sekolah yang menyebabkan anak-anak kita terkoyak-koyak dari komunitasnya. Komunitas anak-anak kita hanya merupakan komunitas  fi sik, di antara mereka hanya dipertemukan dengan fi siknyasaja, tanpa ikatan emosional dan hati mereka, di antara mereka adalah orang lain.

Di antara mereka memiliki  kepentingan yang berbeda-beda yang kadang-kadang menimbulkankecemburuan dan kebencian. Hubungan mereka dapat diilustrasikan dengan hubungan fi sik dalam setumpuk piring, yang mudah pecah  bila piring itu kena benturan. Di antara anak-anak bangsa kita akibat hanya memiliki hubugan fisik itu, maka di antaranya juga sangat mudah terjadi konfl ik yang menimbulkan keretakan.  Padahal untuk apa tujuan memecah komunitas anakanak kita tidak jelas.

Seandainya ada hasilnya pun sifatnya untuk kepentingan kepuasan  sesaat yang sangat instan, tapi dampaknya merupakan ancaman bagi kehidupan berbangsa yang membutuhkan persatuan dan kesatuan bangsa untuk membangun NKRI. Ikatan fi sik itu berlanjut sampai mereka hidup di  masyarakat, sehingga dalam hidup di masyarakat merekajuga menggunakan interaksi fisik. Bila ia memiliki kepentingan terhadap hak orang lain sebangsa, dalam menyikapi orang di luar dirinya, ia menganggap  tanpa adanya ikatan apa-apa, yang tampak hanyalah ikatan kepentingan antar ia dengan orang lain itu sehingga ia akan bertindak apa saja,  termasuk terjadinya kekerasan.

Oleh karena itu sistem pendidikan  formal kita langsung ataupun tidak langsung memiliki andil atau kontribusi terhadap terjadinya kerapuhan  masyarakat untuk terjadinya kekerasan. Pendidikan nonformal kita terutama melalui tayangan TV, kekerasan terjadi di semua adegan sinetron. Kekerasan terjadi bahkan di lingkungan  keluarga sendiri yang seharusnya dibina untuk terjadi kedamaian hidup bersama yang bantu membantu, saling mencintai dan saling memaafkan.

Tapi sebaliknya terjadi kekerasan  yang mendendam dan yang mencelakakan satu sama lain, bahkan dengan upaya fatal. Sampai hatikah kita, dalam konteks memberikan layanan tontonan masyarakat, sambil  memberi keteladanan atau tuntunan kepada masyarakat seperti itu? Karena teknologi informasi, kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat tentang terjadinya pembunuhan, perampasan, termasuk  macam-macam kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga, dapat diketahui oleh semua anggota masyarakat kita dengan sangat terbuka.

Melalui  pendidikan nonformal dan informal juga memiliki kontribusi terjadinya pemicu terjadinya kekerasan dalam masyarakat. Beberapa pemikiran dapat ditawarkan melalui forum ini,  antara lain pertama, perubahan karakter, meliputi lepaskan sifat egoistis, bebaskan daripola hidup instant, pedulikan orang di luar diri kita. Kedua, perubahan sistem penyelenggaraan pendidikan.

Bila sistem penyelenggaraan pendidikan kita menerapkan “system among” dengan profil guru mengikuti filsafat Semar, maka diharapkan pendidikan kita akan terjadi dengan penuh kedamaian, cinta kasih,  tanpa diskriminatif dan akanmenghasilkan para satria yang mampu membangun kehidupan yang gotong royong tanpa kekerasan. 

Perubahan karakter dan sistem penyelenggaraan pendidikan ini, semoga menjadi bahan refl eksi kita di awal tahun 2010 ini, untuk membuat rumusan-rumusan kebijakan pendidikan ke depan bangsa yang lebih strategik dan bermanfaat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya