SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng..
Genap 11 kali suara tiang telepon yang dipukuli peronda memecah kesunyian malam. Berarti waktu menunjukkan pukul 11.00 malam. Udara malam mulai terasa dingin, kêkês. Tapi bagi Suto dan Noyo, suasana di Angkringan Kang Harjo justru mulai hangat.

“Ora nyangka ya Kang, orang yang tadinya kelihatan gigih meringkus para koruptor itu kini malah meringkuk di tahanan kepolisian, menjadi otak kasus pembunuhan… dunia sudah kuwolak-walik…” kata Noyo membuka percakapan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Begitulah, Yo… Aku juga ndhak nyangka. Tapi, itu semua kan baru persangkaan, belum merupakan vonis, harus dibuktikan dulu di pengadilan. Bisa saja bukan dia, kalo nantinya ndhak terbukti,” Suto mencoba menjelaskan.

Ekspedisi Mudik 2024

“Tapi Kang, hampir semua bukti mengarah ke dia lho, sulit kayaknya untuk lolos. Wong semua bukti memberatkan mengarah ke sana… Coba lihat berbagai pemberitaan, baik di koran maupun Internet, jelas dia lho, Kang…” Noyo mencoba berargumentasi.

“Lha ini… model pendapat seperti kamu ini Yo, yang bikin masyarakat kita merasa menjadi hakim… rumangsa bisa menjadi hakim. Padahal, semua itu harus dibuktikan di pengadilan. Berbagai berita di media apa sudah diuji? Apa fakta itu valid? Belum tentu lho, Yo… Bisa-bisa, pengelola media melakukan praktik trial by the press,” ujar Suto.

“Maksudnya gimana Kang, aku kok ndhak mudheng,” kata Noyo.

“Gini, Yo. Apa yang dilakukan media dalam membantu mengungkapkan latar belakang suatu peristiwa, apalagi peristiwa besar, memang baik bahkan harus. Tapi, pengelola media tidak boleh mengarahkan berbagai fakta tersebut seakan untuk mengadili atau bahkan ikut memvonis si tersangka. Biarlah pengadilan nantinya yang menguji berbagai fakta tersebut,” Suto memaparkan.

“Oo… ngono… Tapi, yang begitu itu kan memang jamak terjadi. Seharusnya pengadilan yang menentukan benar-salahnya si tersangka ya…” kata Noyo. “Menurut sampeyan, kira-kira dia bakalan masuk penjara ndhak, Kang…”

“Wah embuh, Yo… Kita serahkan saja kepada pengadilan. Kalau pengadilan di dunia tidak mempan, toh ada pengadilan di sana nanti… diadili langsung oleh Yang Maha Adil,” Suto menegaskan.

“Weh weh weh… obrolannya gayeng banget kiyi… Lagi mbahas apa Kang Suto, Kang Noyo,” ujar Dhadhap yang baru datang, menyela pembicaraan.

“Ini lho, ngobrol soal pejabat kita, yang tadinya superpower, eh sekarang jadi pesakitan gara-gara…” belum sempat Noyo menyelesaikan kalimatnya, langsung disambar…

“Gara-gara cewek kan… Paham aku… Kan sekarang ada singkatan baru untuk KPK,” kata Dhadhap. “Kelompok Penggemar Kedi.”

“Hush… kamu itu kok olehe sembarangan… asal njeplak… Ati-ati lho, bisa jadi fitnah itu,” tutur Suto.
“Tapi, memang banyak pejabat sekarang ini yang kemaruk kok Kang. Dengan memiliki pangkat atau tahta, mereka dengan mudah ngeruk harta dan nggandheng wanita… Ya, tidak heran kalau mereka ini serang kejeblos ke lembah nista…” kata Noyo.

“Dikiranya, semua itu milik nenek moyangnya. Biyangane tenan ah,” ujar Dhadhap sambil menggigit tahu dan nyeplus cabe rawit. “hsh… pedhes banget, asem ki…”

“Tapi kan ndhak semua pejabat begitu… masih banyak lho pejabat yang baik, yang tetap memikirkan rakyatnya. Jangan di-gebyah uyah…” Suto mencoba mengingatkan.

“Betul, Kang Suto. Tapi, mereka yang gampang kejeblos itu memang bermental kere kok, kere munggah bale… Mereka menggunakan kesempatan, sehingga duit yang didapat mungkin terlalu banyak dari sumber yang tidak halal, jadinya ndhak barokah…” Noyo menambahkan.

“Malah ada lho, Kang, yang berpendapat bahwa cari rejeki yang haram saja susah, apalagi yang halal… Banyak yang berpendapat begitu… Makanya, beberapa orang yang ndhak terlalu kuat imannya, begitu jadi pejabat langsung menerapkan aji mumpung… mumpung ada kesempatan, mumpung ada peluang…” Dhadhap menambahkan.

“Itulah orang keblinger… sudah ndhak percaya lagi kepada Tuhan-nya yang Maha Pemberi… Kalo sudah begitu, sampai kapanpun orang itu akan menjadi sengsara hidupnya, meskipun hartanya berlimpah, misalnya… Bisa saja harta itu disalahgunakan untuk mempertahankan kekuasaan ataupun untuk beli wanita…” kata Suto.

“Tapi bener lho, Kang. Si Waru yang dulu menjadi pejabat tinggi di bagian basah sebuah departemen, sekarang ngonggrok di rumah sakit… setiap minggu harus cuci darah tiga kali… herannya, hartanya yang dulu melimpah ruah saat masih menjabat, sekarang hampir habis… mana anaknya pating tlecek dari istri muda maupun wanita simpanannya lagi…” ujar Noyo.

“Makanya Yo, kita harus selalu mengaca diri… Kalau nanti jadi pejabat dan penghasilannya memang cuma sakmene, ya terimalah dan jalanilah dengan ikhlas serta cobalah untuk selalu jujur… buat apa harta melimpah, kalau hanya menimbulkan dorongan untuk ngumbar hawa nafsu… Ingat, jangan sampai kejeblos tiga ta,” tutur Suto.

“Harta, tahta, dan wanita kan… Ndhak ada bakat bagi saya untuk jadi pejabat, Kang… Enakan begini, jadi wiraswasta, bisa santai… Ya kan, Dhap…” kata Noyo.

“Betul… Kalo jadi pejabat, nanti ndhak kewirangan kalo ketahuan nongkrong di angkringan seperti ini, ha ha ha….”

Theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng.. theng..

Oleh Ahmad Djauhar
Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya