SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

JAKARTA: Pihak Kejaksaan Agung mengakui adanya percakapan seperti transkrip rekaman yang beredar di media massa diduga sebagai rencana kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa (27/10).

Dalam pandangan kejaksaan, pertemuan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga dan mantan Jamintel Wisnu Subroto, dengan sejumlah pihak masih dalam rangka tugas sebagai pejabat kejaksaan. Transkrip rekaman itu telah ‘menyenggol’ sejumlah pejabat tinggi negara, diantara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Promosi BRI Siapkan Uang Tunai Rp34 Triliun pada Periode Libur Lebaran 2024

Terkait hal itu Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal membantah SBY terkait dalam dugaan rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK seperti yang disebut dalam transkrip rekaman pembicaraan antara Anggodo Widjojo (adik buron KPK, Anggoro Widjojo) dengan Wisnu Subroto (mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen).

“Presiden menegaskan tidak pernah ada pembicaraan presiden dengan siapapun tentang masalah itu. Berita itu adalah aksi pencatutan nama oleh orang yang menyatakan itu dan sama sekali tidak benar,” kata Juru Bicara Presiden Dino Patti Djalal di kompleks Istana Presiden Jakarta, Selasa.

Sebelumnya, Ketua sementara KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, di gedung KPK, Jakarta, Senin malam secara resmi menyatakan kebenaran rekaman tersebut. Tumpak yang didampingi dua Wakil Ketua sementara  KPK, Waluyo dan Mas Ahmad Santosa menjelaskan, rekaman itu merupakan hasil penyelidikan dugaan korupsi kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan yang melibatkan tersangka Anggoro Widjojo.

Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan sudah  memanggil Wakil Jaksa Agung AH Ritonga terkait rekaman rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK. Menurut Hendarman, Ritonga [saat itu] hanya memberikan petunjuk pada kepolisian dan masih sesuai Tupoksi.

“Kalau saya klarifi kasi itu memang bukan untuk kepentingan publik. Saya hanya sampaikan apakah berita-berita  itu benar sejauh yang saya baca? Pak Ritonga mengatakan saya masih dalam posisi memberikan  suatu petunjuk. Kan nyambung tho ini, masih melaksanakan tugas dan fungsinya,”  ujar Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Namun Hendarman menyatakan dirinya tidak bisa mengerti di mana letak rekayasa kasus  pimpinan KPK itu. Karena Kejaksaan hanya memberikan petunjuk pada Kepolisian. “Rekayasa di mana? Karena apa? Jaksa itu kan tugasnya beri petunjuk kepada Kepolisian, Kepolisan kirim SPDP ke Kejaksaan.

Saya kasih petunjuk ke  Jampidum dan Jampidsus, apakah itu yang menjadi masalah? Kalau petunjuk kan mana ada rekayasa, itu yang saya perhatikan sementara ini,” jelas dia. Sementara Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga kepada pers tidak mau menjelaskan materi percakapan seperti yang ada dalam transkrip rekaman itu.

Ia justru mempertanyakan kewenangan KPK dalam menyadap  pembicaraan orang. Penyadapan tidak boleh dilakukan selain menyangkut tindak korupsi. Menurut Ritonga, jika tidak menyangkut tindak pidana korupsi, akan ada sanksi hukum terhadap yang bersangkutan.

“Yang jelas penyadapan hanya boleh dilakukan terhadap halhal yang bersangkutan dengan korupsi. Kalau kehidupan sosial seseorang dilakukan penyadapan itu melanggar hukum,” tegas mantan Jampidum ini.

Mantan Jamintel Kejagung Wisnu Subroto mengakui adanya percakapan keluhan Anggodo, adik Anggoro Widjojo terhadap kesaksian Edi Sumarsono. “Hanya Anggodo mengeluh keterangan Edi gitu saja. Saya bilang nggak bisa paksa-paksa orang untuk sama (kesaksiannya),”  kata Wisnu.

Dalam jumpa pers Senin malam KPK menegaskan dokumen itu bersifat sangat rahasia dan tidak mungkin terjadi kebocoran. “Kami masih menyimpan dokumen itu dan dokumen tersebut asli yang  masih tersimpan,” ucap wakil ketua KPK M Jasin yang mendampingi Tumpak. Jasin menjelaskan, bahwa  dokumen tersebut asli dan dalampengawasan KPK.

Artinya apabila ada kebocoran dan menyebar ke masyarakat luas di luar kewenangan KPK. Sementara itu Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri (BHD) tetap bersikukuh  menyatakan tak ada rekayasa dalam kasus pimpinan KPK.

Sikap Kapolri yang defensif ini dipertanyakan dan dinilai tidak profesional. “Kapolri nggak boleh defensif, kecuali kalau dia terlibat. Kalau publik membaca Polri harus sigap, sesigap polisi setelah  mendapatkan informasi dari Antasari bahwa Chandra dan Bibit terima suap,” ujar sosiolog  Imam B Prasodjo. (A. Adi Prabowo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya