SOLOPOS.COM - Sri Sultan Hamengkubuwono X (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Harianjogja.com, JOGJA—Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengaku tak ingin penjelasan gelar Khalifatullah yang melekat pada Raja Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dikonsultasikan ke ahli bahasa untuk dicarikan makna universal.

“Kami berpendapat bahwa pemaknaan gelar Sultan Hamengku Buwono tidak perlu dijelaskan dalam Perda, karena sudah tercantum dengan jelas dalam ketentuan UU No.13/2012 tentang Keistimewaan,” ujar Sultan saat Rapat Paripurna Jawaban Gubernur atas Evaluasi Rancangan Perda Tata Cara Pembentukan Perda Keistimewaan DIY, Rabu (13/11/2013).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam ketentuan UU itu, sudah disebutkan, Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya cukup disebut Sultan Hamengku Buwono.

Ekspedisi Mudik 2024

Usulan penggunaan gelar agar dikonsultasikan ke ahli bahasa itu disampaikan Fraksi PAN dalam rapat paripurna pandangan fraksi- fraksi mengenai klarifikasi Kementerian Dalam Negeri satu pekan sebelumnya.

Sebagaimana diketahui, atas pengesahan Peraturan Daerah No1/2013 tentang Tata Cara Penyusunan Perda Istimewa, Kemendagri memberikan enam klarifikasi. Satu di antaranya, evaluasi terhadap penjelasan umum alinea tiga dalam perda tersebut yang menjabarkan gelar Kalifatullah.

Atas penjabaran makna Khalifatullah sebagai Wakil Allah, pengemban amanat Allah dan mandataris Allah SWT, Kemendagri berpendapat makna itu diskriminatif. Sebab, sesuai pasal 6 huruf a UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perda tidak boleh bertentangan dengan kebhinekaan.

Menurut Fraksi PAN, saat paripurna pandangan fraksi kala itu, konsultasi untuk mencari makna yang universal itu perlu untuk menghormati kekhawatiran Kemendagri.

Sultan sepakat dengan penilaian Kemendagri yang menyatakan penjabaran gelar itu justru akan membuat ruang diskiriminatif terhadap agama lain. Akan tetapi, Sultan menerima pandangan Fraksi PKS yang meminta agar ada penyamaan persepsi terkait istilah dan makna gelar tersebut Argumen PKS itu mendasar hasil konsultasi ke Biro Hukum Kemendagri, bahwa pembahasan perda itu mesti memberi ruang pengkajian dari pihak yang dianggap menganggu asas Kebhinekaan.

“Kami sependapat dan akan dibahas lebih lanjut bersama dalam rapat pansus,” ujar Sultan.

Pansus Perubahan Perda No1/2013 itu dibentuk melalui rapat paripurna pada kamis (14/11). Ketua Pansus Putut Wiryawan mengatakan akan mengedepankan musyawarah mufakat ketimbang suara terbanyak (voting). Politisi Demokrat ini sebelumnya juga merupakan Ketua Pansus Raperda Tata Cara Penyusunan Perdais saat dibahas awal 2013.

Menurutnya, perbedaan pendapat akan gelar saat itu imbang, 50:50. Alasan Putut mendahulukan musyawarah karena sudah terdapat klarifikasi dari Pemerintah Pusat. “Suka tidak suka, kami merujuk ke Pusat karena Pemerintahan DIY ini subordinat dari Pemerintah Pusat,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya