SOLOPOS.COM - Sultan Hamengku Buwono X (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Harianjogja.com, JOGJA—Selain nomenkelatur penyebutan “provinsi”, penjabaran gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X masih saja mengganjal keistimewaan DIY. DPRD DIY menarget dua persoalan itu selesai sebelum pergantian anggota Dewan DIY.

“Agustus kami targetkan selesai,” kata Ketua Badan Legislatif Sadar Narima kepada Harian Jogja seusai koordinasi Banleg, Kamis (3/7/2014).

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Dalam sisa masa waktu jabatan ini, persoalan gelar tersebut akan kembali dibahas dengan membentuk panitia khusus bersamaan dengan pembahasan rancangan peraturan daerah istimewa (perdais) turunan soal kelembagaan dan pengisian jabatan.

Dua draf raperda itu rencananya akan diantarkan oleh eksekutif pada Jumat (4/7/2014), hari ini. Sebetulnya ada lima raperdais turunan. Selain dua raperdais itu adalah, raperdais soal tata ruang, kebudayaan dan pertanahan. Namun, menurut politisi PAN itu, baru dua draft yang siap dari eksekutif.

Sadar mengatakan, kepastian dijabarkannya gelar panjang Sultan -Sampeyan Ingkang Sinuwun Kangjen Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah-dan penyebutan “provinsi” menjadi dasar pembahasan raperdais.

Jikalau persoalan “provinsi” menemui kebuntuan karena dengan menghilangkan nomenkelatur itu dinilai bertentangan dengan Undang- Undang Pembentukan Daerah, persoalan gelar karena adanya dua poros di Dewan DIY yang beracuan pada nilai sejarah dan pluralisme.

“Kalau mendasarkan sejarah Mataram Islam, gelar itu dijabarkan. Namun karena persoalan kekinian, pluralisme, friksi lain gelar tak perlu dijabarkan,” ujarnya.

Persoalan gelar itu sebelumnya sudah dibahas oleh dua Pansus dan menguap. Sadar mengaku yakin pada pembahasan ketiga ini akan mendapatkan kesepakatan di antara dua poros. “Sebetulnya paling  mudah mengembalikan ke Kraton, tapi Sultan tidak pernah ekplisit mengenai sikapnya,” katanya.

Sultan hanya menyampaikan agar penyebutan Sultan disesuaikan dengan Undang- Undang Keistimewaan, yang disana cukup menyebutkan Sultan Hamengku Buwono. Menurut Sultan, gelar itu tak layak layak diaplikasikan kembali untuk DIY yang pemerintahannya tak lagi monarki. Sementara sesuai paugeran, Sultan dengan menyandang gelar itu mengharus warga untuk pergi ke Masjid ketika misalnya Maulud Nabi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya