SOLOPOS.COM - Aris Setiawan, Pengajar Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Solo (FOTO/Istimewa)

Aris Setiawan, Pengajar Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Solo (FOTO/Istimewa)

Andrik Purwasito selaku guru besar manajemen komunikasi lintas budaya FISIP UNS menulis tentang problematika status Institut Seni Indonesia (ISI) yang rencananya akan segera dikonversi menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) yang dimuat di SOLOPOS pada 16 Januari 2012. Perdebatan dan penolakan status baru tersebut sebenarnya telah berlangsung lama, terutama sejak wacana perubahan itu digulirkan baik oleh akademisi bidang seni maupun para budayawan.
Perdebatan dan penolakan status baru tersebut sebenarnya telah berlangsung lama, terutama sejak wacana perubahan itu digulirkan baik oleh akademisi bidang seni maupun para budayawan. Bahkan, perguruan tinggi seni yang tergabung dalam Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS-PTSI) yakni ISI Yogyakarta, ISI Solo, ISI Denpasar, ISI Bandung, ISI Padang Panjang, Institut Kesenian Jakarta dan Sekolah Tinggi Seni Wilwatikta Surabaya sebelumnya tidak pernah diajak bicara, duduk semeja, dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menggodok konsep dan wacana perubahan status itu.
Wacana baru tersebut selain menuai resistensi yang tajam, juga berimplikasi pada kegamangan paradigma yang selama ini dimiliki perguruan tinggi seni di Indonesia terutama ISI. Perlu diketahui, selain memusatkan proses kerja pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, ISI menjadi medan penting dalam kuasa ”kontrol-mengontrol” perkembangan seni di Nusantara. Geliat kekaryaan seni muncul sebagai bidikan utama studi dengan mencetak seorang seniman yang tidak hanya andal dalam takaran praktik namun juga olah inteligensi yang mumpuni. Pada konteksnya yang demikian, letupan dan ekstase kekaryaan seni dapat diimbangi oleh hadirnya–lulusan sebagai– kritikus yang memberi oase kritik membangun.
Konstruksi dalam melahirkan praktisi dan kritikus seni yang andal tersebut tentu senantiasa ditopang dengan berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu-ilmu kebudayaan sebagai jangkauan studinya seperti antropologi, filsafat, sosiologi, arkeologi. Mata kuliah-mata kuliah itu justru sangat penting untuk mendudukkan ”seni dalam konteks”, seni yang tidak hanya berdiri sendiri (artistik) namun terkait dalam peristiwa kontekstual.
Persoalannya kemudian, bagaimana jika ”budaya” bukan lagi sebagai sarana penajaman ”seni dalam konteks”, namun menjadi salah satu rujukan–program–studi yang memusatkan perhatian pada bingkai kebudayaan semata? Akankah terjadi benturan-benturan paradigma dengan universitas atau kampus-kampus yang telah lama intens menjadikan budaya sebagai narasi utama tujuan program studinya?

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Resistensi
Ada pemeo kuno yang menyatakan apalah artinya sebuah nama karena yang terpenting adalah esensinya. Namun, sejatinya nama juga membawa konsekuensi yang besar. Begitu pula dengan nama ISI. Dengan menempatkan kata ”budaya” yang terselip di antara susunan hurufnya menjadi ISBI, otomatis akan mengubah pilar-pilar bangunan pengetahuan di dalamnya. Yang dipertaruhkan bukan hanya nama tapi implikasinya.
Selama ini narasi dalam proses belajar mengajar ISI senantiasa menjadikan seni sebagai tema dari jelajah studi, baik berupa kekaryaan maupun tinjauan analisis teks penelitian dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi. ISI dalam rutinitas percaturan kesenian di Nusantara menjadi rujukan dan cermin dalam melihat detak hidup proses pewarisan–pembelajaran–seni dan pengembangannya. Hal ini karena selain memiliki kuasanya dalam mencetak praktisi dan kritikus seni, ISI juga berperan besar dalam proses konservasi seni yang dianggap ”layak” untuk diwariskan dalam bingkai-bingkai jabaran mata kuliahnya.
Bangunan ilmunya senantiasa menginduk pada ruang estetika dan kreativitas. Namun, sebenarnya–ilmu–budaya tak dimungkiri pula menjadi sarana yang berperan penting dalam menempa pembentukan kesenimanan, ilmuwan serta kritikus seni. Bahkan, karena pentingnya, budaya sebagai subjek mencoba dikawinkan dengan bidang seni yang kemudian melahirkan jelmaan spesies program studi baru. Lihatlah etnomusikologi, yang mencoba mencangkokkan budaya (etnos) dengan musik sebagai landansan ilmu pengetahuannya  (musikologi). Etnomusikologi menjadi program studi baru. Budaya ditempatkan sebagai satu medan penting yang menunjang analisis musik.
Dengan kata lain, tanpa harus diubah menjadi ISBI, ISI selama ini sudah mencoba melakukan restorasi wacana pemikiran dengan menempatkan seni tidak hanya dalam takaran estetika semata, namun seni berbasis budaya. Kesadaran dalam mengangkat budaya dalam ruang kesenian–elain musik–juga mulai dilakukan oleh berbagai jurusan di ISI, sebut saja misalnya karawitan dan tari yang saat ini masih digodok konstruksi nalar pemikirannya menjadi etnokarawitanologi dan etnokoreologi.
Bahkan, beberapa seminar nasional telah digelar di berbagai perguruan tinggi seni termasuk ISI Solo pada 2008 lalu. Sayang, gaung dan gemanya tak tertangkap ”Jakarta” yang justru disibukkan dengan persoalan kegenitan politik. ISBI hanya wacana basi dan usang sebagai kegagapan politis dalam menindaklanjuti perubahan status Kementerian Pendidikan Nasional yang saat ini dibumbui dengan ”aspek kebudayaan” menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengung wacana ISBI menunjukkan pemerintah pusat selama ini tidak melihat peta persoalan di ISI. ISBI secara tak langsung menarasikan ekstase politik yang menguak ambisi penuh pamrih.

Ditanggalkan
Dengung demonstrasi di ISI Yogyakarta dalam menolak wacana perubahan ISI ke ISBI menjadi titik kulminasi dalam kejenuhan politis yang mulai menerjang institusi pendidikan. Menjadi persoalan mendasar ketika ”budaya” duduk menjadi satu program studi tersendiri di ISI mendampingi program studi berbasis seni. Sejauh mana kesiapan dan prasarana yang dimiliki ISI dalam menindaklanjuti wacana yang begitu cepat akan direalisasikan itu? Seberapa banyak pengajar ahli yang kompeten dalam ruang-ruang keilmuan berbasis kebudayaan an sich yang dimiliki ISI sehingga mampu menopang dan mengakomodasi perubahan itu? Jawabannya sederhana, ISI belum siap.
Triyono Bramantyo selaku guru besar bidang musik di ISI Yogyakarta lewat status Facebook-nya menilai pemerintah selama ini kurang tanggap dalam mencerna persoalan dan problematika yang dihadapi ISI. Katanya, saat ini Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta tidak punya wayang yang lengkap untuk praktik pedalangan. Studio pada Jurusan Tari sudah tidak layak pakai, Jurusan Musik tidak punya gedung akustik yang memadai untuk belajar musik. Dan banyak lagi masalah kekurangan dalam proses belajar.
Seharusnya pemerintah berpikir mengatasi persoalan itu dulu baru kemudian berpikir tentang ISBI. Logikanya, pilar-pilar ideal penyangga berdirinya sebuah institusi saja tidak diperhatikan, pemerintah malah mau menambah beban. Sampai saat ini belum ada perguruan tinggi seni yang mengafirmasi keinginan pemerintah pusat untuk menjadi ISBI. Idealnya, wacana perubahan tidak bisa dilangsungkan dalam waktu yang singkat. Dibutuhkan proses kesiapan, diskusi, seminar dan penggodokan wacana yang tajam dalam menerima berbagai masukan.
Namun, jika berkaca dari problematika yang dihadapi ISI, seperti dikemukakan Triyono Bramantyo, tak berlebihan kiranya jika pemikiran tentang ISBI ditanggalkan dulu. Seni adalah ruang yang penuh keterbukaan. Mampu melebur dengan berbagai bidang tak terkecuali kebudayaan sebagai lahan kekaryaan. Namun, seni juga menuntut orisinalitas yang kadang tak harus teracuni apa pun.
Tanpa harus menjadi ISBI, ISI sejatinya telah melangsungkan berbagai pemikiran yang berafiliasi dengan sektor kebudayaan. Kerja sama dengan universitas-universitas penyandang studi kebudayaan sudah cukup tanpa harus mengubah dan mendirikan paradigma baru yang justru akan mendekonstruksi semangat dan mengerdilkan visi misi ideal ISI yang sejati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya