SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

JAKARTA-Kegaduhan politik di awal 2013 bisa berdampak negatif bila hanya berkutat pada urusan tak subtantif.

Ribut politik dimulai dengan perpecahan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), kasus suap yang melibatkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan menguatnya faksi di Partai Demokrat.

Promosi Simak! 5 Tips Cerdas Sambut Mudik dan Lebaran Tahun Ini

Lantas, siapa yang diuntungkan akibat kejadian itu? Pengajar mata kuliah politik bisnis Pascasarjana Universitas Indonesia, Fachry Ali, menilai kejadian itu tidak semuanya bermanfaat.

“Ribut mereka itu tidak ada hubungannya dengan rakyat,” ujarnya, Jumat (8/2/2013), menggambarkan dinamika internal Partai Demokrat dan Nasdem. Persoalan pergantian anggota itu dianggap seolah persoalan Indonesia, meski sebenarnya hanya perebutan kekuasaan saja.

Implikasinya, lanjut dia, keributan itu tidak memberi inspirasi politik. Generasi baru yang ingin menjadi politikus di masa depan tidak mendapat contoh baik. “Masyarakat, saat ini dibawa ke persoalan tidak subtansial,” jelas pria yang kerap mengajar di Sekolah Staf dan Pimpinan Polri.

Politik tanpa substansi itu menurutnya tak banyak berpengaruh terhadap dunia bisnis. Bahkan indeks harga saham gabungan Indonesia mampu mencatatkan rekor di level 4.500  di tengah suasana gaduh perpolitikan itu. “Bila mereka ribut soal subtansial, bahas subsidi BBM, pendidikan itu baru berdampak,” jelasnya.

Bagaimana dengan kasus PKS? Fachry menilai kasus ini memberi pendidikan politik sekaligus ekonomi.

Kejadian itu menurutnya mengingatkan partai yang ingin mengubah Indonesia dengan puritanisme moral maka harus menunjukkan dengan perbuatan. “Propaganda harus dengan deed [perbuatan].”

Dia menilai PKS seharusnya mencerminkan jargon moralnya melalui gaya hidup sederhana. Anggota partai tidak menggunakan mobil mewah, tidak gemar rapat di hotel dan tidak mengutamakan gaya hidup.

“Kalau ingin memonopoli kebenaran maka harus jadi malaikat. Tidak boleh ada salah sedikitpun,” jelasnya soal pelajaran dari partai yang mengklaim paling bersih itu.

Kasus daging menurutnya juga mengingatkan soal tata niaga daging. Termasuk membuka tabir bahwa daging impor banyak dikonsumsi kelas menengah atas perkotaan.

Sosiolog Imam B. Prasodjo menilai demokrasi liberal sekarang menjadi ajang perebutan orang mengambil peran. Sehingga konflik partai jadi mudah muncul. “Kalau ada konflik, dalam hati partai lain pasti bersyukur. Ini bentuk konflik kepentingan kelompok,” urainya dalam diskusi soal konflik di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

Imam mengingatkan ada kecenderungan potensi konflik mudah muncul saat pergantian rezim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya