SOLOPOS.COM - Broto Apriliyanto (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Kembali ke sekolah setelah menjalani pembelajaran daring  selama masa pandemi Covid-19 menjadikan emosi bercampur aduk di kalangan siswa. Beberapa siswa merasakan kerinduan untuk berinteraksi tatap muka dengan teman dan guru.

Di balik semua itu tersimpan kecemasan ketika bertemu dengan mata pelajaran tertentu, salah satunya matematika. Pada masa pandemi Covid-19, siswa harus belajar di rumah. Oleh karena itu, guru harus menyampaikan materi menggunakan soft file atau memberikan link pembelajaran melalui grup Whatsapp atau kelas virtual.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Siswa diharapkan dapat memahami materi yang sedang dipelajari. Setelah beberapa bulan, pembelajaran daring dianggap kurang optimal. Banyak siswa yang mengeluh karena mereka mereka tidak memahami materi dengan baik. Akibatnya beberapa siswa mengalami kecemasan.

Pada masa pendemi Covid-19, siswa berkemampuan tinggi cenderung mempertahankan kemampua dengan membagi waktu secara baik antara belajar, bermain, dan membantu orang tua. Mereka menggunakan sumber belajar dengan baik seperti bertanya kepada guru dan meminta penjelasan guru sampai mereka paham.

Terkadang siswa mengalami kesulitan menciptakan lingkungan belajar yang nyaman sehingga hasil belajar kurang optimal. Sedangkan siswa yang kemampuannya lebih rendah merasa malu apabila harus bertanya kepada guru atau teman sebaya, padahal mereka membutuhkan penjelasan atas materi yang belum mereka kuasai.

Motivasi untuk belajar mereka juga kurang dan lebih nyaman bermain. Handphone yang semstiya digunakan untuk belajar justru dipakai untuk hal lain yang kurang bermanfaat. Bagi beberapa siswa, matematika adalah pelajaran yang menakutkan, sulit dipahami dan rumit.

Menyelesaikan soal matematika membutuhkan konsentrasi yang tinggi serta sikap dan pemikiran yang tenang agar dapat memahami konsep materi. Selain itu memahami konsep cenderung, belajar matematika tidak instan sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama.

Matematika menimbulkan perasaan waspada, gugup, khawatir, dan tegang. Kecemasan siswa belajar matematika meningkat, apalagi pada masa pandemi siswa kurang bisa memahami konsep materi matematika yang diajarkan oleh guru karena kebijakan belajar daring mengakibatkan semangat belajar pada diri siswa rendah dan berakibat hasil belajar mereka juga rendah.

Di sisi lain, penguasaan materi matematika juga rendah karena masalah tersebut. Salah satu faktor yang memengaruhi pemahaman matematis siswa adalah anggapan negatif siswa terhadap pelajaran matematika yang mencakup materi, strategi pembelajaran, sampai sikap atau pembawaan guru matematika.

Perasaan Tertekan

Anggapan ini biasanya muncul pada saat seseorang kesulitan menyelesaikan masalah atau ketika ulangan. Jika kondisi seperti ini terjadi terus-menerus, sikap tersebut akan menjadi kecemasan belajar matematika.

Menurut George Brown College (2014), kecemasan matematika merupakan perasaan tertekan yang memengaruhi kemampuan matematika, sikap negatif terhadap matematika, atau merasa kurang percaya diri terhadap matematika. Kecemasan dalam belajar matematika dapat mengakibatkan berkurang atau bahkan hilangya konsentrasi siswa dalam memahami konsep matematika.

Hal ini disebabkan tingkat kemampuan pemahaman konsep pada pelajaran matematika berbeda-beda. Siswa yang memiliki kemampuan pemahaman tinggi cenderung lebih tertarik dan mudah memahami pelajaran matematika dibanding dengan siswa yang memiliki kemampuan pemahaman rendah, walaupun pembelajaran dilakukan di rumah

Kecemasan yang berupa  perasaan negatif seperti takut, tegang, atau khawatir muncul ketika siswa mengalami kesulitan mengerjakan soal matematika, perasaan malu karena ketidakmampuan siswa dalam menyelesaikan soal matematika, atau ketidakmampuan dalam menerapkan pemahaman dan penggunaan konsep matematis.

Ketakutan terhadap matematika terjadi pada seseorang yang memiliki kemampuan matematika cenderung rendah atau justru pada siswa pandai namun kemampuan manajemen waktuunya kurang baik.

Seseorang yang memiliki kecemasan belajar matematika yang tinggi cenderung menjauhi pelajaran matematika dan sedikit memahami matematika. Pengaruh sosial dan kemampuan kognitif siswa cenderung menjadi sebab kecemasan belajar matematika di sekolah.

Rasa cemas yang berlebihan dan tak terkendali mengakibatkan berkurangnya konsentrasi siswa dalam memahami konsep matematika dan memengaruhi hasil belajar. Jika perasaan tersebut dapat dikendalikan dan terdapat perubahan anggapan melalui motivasi, siswa akan mendapat kemudahan memahami matematika yang diajarkan guru.

Guru perlu menyusun beberapa langkah setelah mendeteksi hal ini, antara lain, menyesuaikan ekspetasi dengan keadaan siswa, memahami bahwa kecemsan matematika adalah sesuatu yang nyata, fokus pada menyambungkan kondisi ”rebahan” saat pandemi dengan keharusan on fire pada masa pascapandemi, serta menyesuaikan tingkat kesulitan yang mesti dikusai siswa.

Kiranya konsep pembelajaran berdiferensiasi pada Kurikulum Merdeka bisa diterapkan untuk meminimalisasi kecemasan siswa terhadap matematika. Tak perlu takut belajar matematika.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 November 2022. Penulis adalah guru Matematika di SMAN 1 Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya