SOLOPOS.COM - M Fauzi Sukri, Santri di Bilik Literasi Solo (FOTO/Istimewa)

M Fauzi Sukri, Santri di Bilik Literasi Solo (FOTO/Istimewa)

Di Jawa, cilaka menjadi tanda ke arah kecelakaan. Di dalam pendukung kebudayaan Jawa, bisa dikatakan kecelakaan sebenarnya adalah hal baru. Orang Jawa lebih mengenal konsep cilaka daripada kecelakaan. Tapi, itu pun tampaknya sudah memudar bahkan sudah hilang dalam kehidupan orang Jawa.
Sejarah kecelakaan bermula dari sejarah jalan dan teknologi yang datang dari Eropa. Di Jawa, sampai abad ke-18, sebenarnya belum mengenal jalan seperti yang ada sekarang. Sejarawan Prancis Dennys Lombard (2008: 134) mencatat pada umumnya, pada waktu itu, jalan dianggap tak perlu bersifat permanen. Jalan adalah terutama merupakan trayek potensial, yang harus dibereskan agar dapat dilalui setiap kali dibutuhkan. Membuat jalan dengan melaluinya.
Tapi, karena desakan pertimbangan strategi militer dan ekonomi, Marsekal Daendels membangun Grote Postweg, jalan raya lintas Jawa, pada 1808-1810. Pembangunan jalan mengubah secara besar-besaran kondisi ekonomi dan kehidupan di Jawa. Pembangunan jalan itu mengorbankan ribuan nyawa, yang membawa perubahan ekologis dan demografis. Hati-hati di jalan!

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Modernitas Jalan
Dengan peristiwa dan hadirnya jalan itu, perlahan orang Jawa mulai memperbarui makna jalan. Jalan spiritual, magis dan kosmologis mulai tergantikan dengan jalan teknologis yang dibangun para penguasa kolonial, meski jejak jalan ala Jawa masih sering kita lihat. Pada 1870, setelah melalui perdebatan bertahun-tahun, jalan kereta api dibangun di Jawa.
Dan tak hanya selesai di situ, bersamaan pembangunan jalan juga harus pula dibangun pengertian tentang jalan bagi orang Jawa agar mereka mulai terbiasa dan juga mau menggunakan. Pemerintah kolonial mendatangkan para ”insinyur-insinyur jiwa manusia” bagi manusia Jawa.
”Sekarang, kami terbang dengan sebuah badai di atas jalan besi itu: Akankah aku pernah dapat melupakan perjalanan ilahi bersamanya menuju stasiun itu?…Jangan  terbang terlampau cepat di atas jalur-jalur besi yang rata, kamu monster beruap yang bersin-bersin, jangan biarkan perjumpaan ini berakhir dengan begitu cepat… Saya berdoa agar perjalanan itu tak akan pernah berakhir…Tetapi, aduh! Juru apinya tidak mendengarkan aku.”
Ada  rasa takjub, kagum dan semangat dalam surat RA Kartini itu. Kita melihat ”jalan besi” yang disamakan dengan ”perjalanan ilahi”. Tak pelak lagi itu adalah jalan-teknologis yang masuk dalam kehidupan orang Jawa. Pengertian jalan berubah. Maka, tak perlu diragukan lagi, pasti bagi Kartini yang senang bahwa jalan-jalan modern di Hindia Belanda itu harus dibuat baru dan keras semuanya. Sesuatu yang baru, keras dan bersih—itulah modernitas jalan. Demikian pernyataan Rudolf Mrázek (2006: 12-13) dalam buku Engeeners of Happy Land.
Di dalam modernitas jalan itu, orang Jawa juga memperbarui sistem tanggapan mereka terhadap apa yang disebut slamet: hal yang tak hanya menyangkut tubuh, tapi juga slamet yang  bersifat sosiologis, spiritual, magis dan kosmologis. Saat seorang gadis Jawa tertabrak trem tak jauh dari Jepara, Kartini melaporkan kejadian itu dalam sebuah suratnya. Dalam peristiwa itu, Kartini menulis dan membuktikan bagaimana sebuah sistem modern ”pertolongan medis pertama” begitu penting dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Pertolongan medis memang penting. Tapi, dengan datang dan hadirnya modernitas jalan dan teknologi Eropa, kita kemudian disuguhi kecelakaan yang meluputkan cilaka. Itu tentu saja kecelakaan teknologis. Kecelakaan yang melibatkan teknologi yang berbenturan dengan teknologi, dengan manusia, dengan barang-barang bahkan alam. Dalam kecelakaan itu kita menyaksikan dihilangkannya yang magis dari alam dunia dan dari manusia.
Dan sebagian kita tak lagi memiliki kepekaan tubuh kosmologis, tubuh yang menyatu dengan alam sekitar, sehingga sebelum kecelakaan kita akan merasakan kehadiran sesuatu yang datang pada kita. Dulu, saat orang tua kita kesandhung, mereka akan berdoa. Mereka merasakan tanda-tanda yang menjumpai atau menghampiri mereka sebagai peringatan dan kesempatan berikhtiar. Tapi, kini kita sering keserempet bahkan tertabrak karena kecerobohan manusia.

Ritus Keselamatan
Konsep keselamatan dalam masyarakat Jawa terlihat dalam ritual slametan. Ritual ini ”melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya” untuk tolong-menolong dan bekerja sama. Semua handai-taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati dan sebagainya dilibatkan dalam ritual slametan (Clifford Geertz, 1983:13).
Konsep keselamatan ini sangat sosiologis, melibatkan banyak orang. Keselamatan bukan hanya menjaga diri sendiri tapi lebih sebagai saling menjaga. Semua elemen yang ada dalam radius kosmologi kehidupan itu akan memberikan pengaruh sosiologis dan psikologis sebagai pengingat, bahkan memberikan tanda-tanda. Penyebab kecelakaan tetap berkisar dari sifat acuh perorangan dan masyarakat terhadap pengekangan emosi dan fisik agar dapat hidup aman pada lingkungan, apalagi yang serba mesin.
Tapi, yang aneh, seperti dalam novel Harga Sebuah Apel karya TW Power dalam fragmen diskusi kecelakaan antara sosiolog asal Pakistan dan Amerika, setiap insiden di tempat umum, dalam beberapa menit saja sudah bisa menarik kerumunan orang. Kebanyakan mereka hanya ingin tahu. Demikian kata sosiolog dari Pakistan. Kecelakaan hanya hadir sebagai tontonan, bukan sebagai refleksi untuk ditanggapi sebagai ritus keselamatan sosiologis-kosmologis. Ada yang hilang dalam masyarakat Jawa.
Padahal ritual slametan tujuannya adalah ”negatif” dan bersifat kejiwaan—ketiadaan perasaan agresif terhadap orang lain, ketiadaan kekacauan emosional… Keadaan yang didambakan adalah slamet, yang oleh orang Jawa didefinisikan sebagai ora ana apa-apa—tidak ada apa-apa. Atau lebih tepat, tak ada sesuatu yang akan menimpa seseorang (Clifford Geertz, 1983:17-18).
Yang diperlukan kemudian adalah etika dan sikap eling. Dalam kosmologi Jawa, kecelakaan biasanya selalu diawali cilaka. Dan cilaka didahului kehilangan sikap dan etika eling seperti melakukan ma lima. Sikap dan etika eling agar manusia Jawa mampu menguasai diri, memiliki kepekaan jiwa (psikologis) dan penghayatan religius untuk menuju keselamatan. Seperti yang diajarkan dalam kitab Wedhatama, manusia harus salwi wus awas eling!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya