SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi Pengelola Jagat Abjad Solo. (FOTO/Istimewa)

Bandung Mawardi
Pengelola Jagat Abjad Solo. (FOTO/Istimewa)

Pemerintah sedang menebar impian untuk masa depan Indonesia. Impian itu berjudul kurikulum. Optimisme sengaja ditampilkan berpamrih tujuan pendidikan nasional. Pengajuan kurikulum baru merupakan konsekuensi atas situasi genting di jagat pendidikan dan tanggapan zaman. Kurikulum bergelimang pengharapan: idealistik dan komprehensif. Pemerintah menjelaskan setumpuk persoalan dan memberi jawaban untuk diejawantahkan. Kurikulum pun mirip perintah dan pertanggungjawaban formalistik melibatkan publik di ranah gagasan atau tindakan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

CE Beeby dalam buku Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan Pedoman Perencanaan (1981) memberi sindiran dan sangsi atas pemberlakuan kurikulum. Perubahan kurikulum belum berarti mengubah sekolah. Pemahaman kurikulum sebagai daftar mata pelajaran dalam silabus dengan kata pengantar muluk sering tak kontributif. Pemberlakuan sekian kurikulum di Indonesia membuktikan bahwa idealitas berwujud kalimat-kalimat. Kurikulum berdiam di buku tebal dan omongan. Kurikulum tak menjelma tindakan. Sangsi itu lazim diwartakan mengacu realitas pendidikan di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Beeby perlu mengutip kalimat sarkastik Hilda Baba untuk mengkritik pemerintah: “ciri utama teori kurikulum adalah kebingungan.” Indonesia memang selalu menanggung kebingungan berdalih kurikulum.

Kita mesti mengingat episode-episode kebingungan di bilik sejarah pendidikan Indonesia. Ki Hadjar Dewantara (1928) menjelaskan faedah realisasi gapaian pendidikan nasional di masa kolonialisme: “… haruslah sistim itu disesuaikan dengan hidup dan penghidupan rakjat. Oleh karena itu wadjiblah kita menjelidiki segala kekurangan dan keketjewaan dalam hidup kita berhubung dengan sifatnja masjarakat seperti jang kita kehendaki.” Pemberlakuan sistem dan model pendidikan kolonial memicu sanggahan dan perlawanan. Ki Hadjar Dewantara menghendaki ada ejawantah pendidikan bercorak nasional tapi mafhum realitas rakyat dan situasi zaman. Keinsafan untuk menunaikan pendidikan-pengajaran berfaedah harus merujuk ke penebusan “kekurangan dan keketjewaan” dengan progresif-revolusioner.

Gairah menggapai idealitas pendidikan semakin diujikan saat Indonesia menata diri sebagai negara berdaulat di masa 1940-an. Kuasa pendidikan kolonial hendak ditinggalkan dan diganti secara revolusioner. Pemerintah membentuk Panitia Penjelidik Pengadjaran dengan hasil sejenis kurikulum bertajuk Rentjana Pengadjaran 1947. Kurikulum ini digarap dan dilaksanakan dalam suasana revolusi. Pendidikan turut menentukan nasib Indonesia. Pemaknaan kurikulum menjadi urgensi di embusan revolusi. Ki Hadjar Dewantara (1945) pernah berkata bahwa pendidikan-pengajaran bermisi: “rasa tjinta nusa dan bangsa dalam hati sanubari murid-murid dan peladjar-peladjar dengan memasukkan semangat kebangsaan dalam segala peladjaran.”

Anwar Jasin dalam buku Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan (1987) menganggap rintisan kurikulum mengacu ke gagasan-gagasan Ki Hadjar Dewantara membuktikan aksentuasi nasionalisme. Kurikulum mesti menggerakkan pemerintah, guru, murid untuk menggapai tujuan pendidikan nasional secara beradab dan revolusioner. Kurikulum jadi penentu proses dan kualitas gapaian tujuan pendidikan. Kita justru berpolemik dan terjerat di pusaran bahasa saat berkehendak mencantumkan tujuan pendidikan nasional. Sejarah pendidikan di Indonesia memang sering dilanda kebingungan berkaitan bahasa dan argumentasi.

Kita bakal menemukan kata-kata pelik di halaman-halaman kurikulum di masa Orde Lama dan Orde Baru. Kepelikan semantik itu masih berlanjut sampai sekarang. Para penentu kebijakan memiliki perbedaan pilihan kata untuk menguatkan aspek proses dan tujuan. Mereka menggunakan puluhan kata berbeda pengertian: membentuk, melahirkan, menumbuhkan, meningkatkan, mengembangkan, mempertinggi, menyuburkan, memperkuat, mempertebal, menuntun, memimpin, membimbing, mencapai, melahirkan. Pembuatan dan pemberlakuan kurikulum terjerat di bahasa. Urusan ini terwariskan ke guru sebagai pelaksana. Mereka mengalami kebingungan saat menjalankan agenda pendidikan-pengajaran. Murid pun bingung tapi tak mendapat obat mujarab untuk menerangkan seribu hal berargumentasi.

Paulus Mujiran dalam artikel Guru dan Kurikulum Baru (Koran Tempo, 5 Desember 2012) mengingatkan bahwa perubahan kebijakan pendidikan atau kurikulum sering “membebani” guru. Mereka harus belajar lagi lantaran pergantian buku-buku pelajaran. Para guru pun dituntut untuk mengubah itu menjadi rencana pembelajaran harian. Kurikulum memang mengabarkan impian muluk di atas pusaran kebingungan. Guru dan murid ada naungan kebingungan dalam mengartikan dan menunaikan kurikulum.

Murid sulit mengelak dari imperatif-imperatif kurikulum. Mereka mesti belajar demi pemenuhan amanat-amanat kurikulum dan gapaian tujuan pendidikan nasional. Para murid di SD, SMP, SMA bakal diharapkan menjadi orang cerdas dan berkarakter. Suguhan mata pelajaran mesti “disantap” dengan pengondisian represif. Kepasrahan dan ambisi bercampur saat murid melakoni amalan belajar selama puluhan tahun. Mereka mesti menjadi kaum intelektual mengacu paket mata pelajaran dalam kurikulum. Kita malah ingat sindiran Ki Hadjar Dewantara atas model pendidikan Barat berkiblat “intelektualisme” atau “semangat mendewa-dewakan angan-angan”.

Kurikulum selalu bersumber ke otoritas menteri. Sejarah penerapan kurikulum mirip antologi misi para menteri. Kita bisa mengingat peran para menteri di masa lalu dalam urusan kurikulum dan sistem pendidikan di Indonesia sebagai referensi reflektif. Ki Hadjar Dewantara, Suwandi, Ali Sastroamidjojo, Mangunsarkoro sanggup meletakkan dasar dan menata sistem pendidikan-pengajaran nasional. Bahder Djohan membuat kebijakan eksperimental untuk sistem pendidikan adaptif dan peka kebutuhan zaman. Prijono berhasil menata ulang keseluruhan sistem pendidikan nasional. Mashuri sanggup mengembangkan sistem pendidikan dan susunan persekolahan berorientasi pembangunan nasional (Anwar Jasin, 1987). Ingatan atas otoritas para menteri di masa lalu pantang diajukan untuk membandingkan kontribusi M Nuh dalam agenda perubahan kurikulum. Kita tak ingin terseret di arus kebingungan. Ingatan komparatif mungkin bisa mengurangi kebingungan meski tak substantif.

Pemberlakuan uji publik kurikulum baru adalah undangan bagi kita untuk memberi sanggahan, saran, kecaman, pujian atas situasi mutakhir di dunia pendidikan. Idealitas kurikulum membuat kita takjub mengacu ke susunan kalimat. Kita masih bergerak dan berpengharapan agar kurikulum tak mengumbar kebingungan. Kurikulum memerlukan amalan meski di atas hamparan perbedaan tafsiran. Begitu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya