SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kritik sejumlah tokoh lintas agama kepada pemerintah merupakan sikap keberpihakan pada orang-orang yang lemah. Seruan perlawanan terhadap kebohongan adalah gerakan moral sekaligus menunjukkan tanggung jawab warga negara terhadap nasib bangsa dan masa depannya. Memajukan kesejahteraan rakyat, penegakan hukum dan HAM, pemberantasan korupsi, perlindungan terhadap para pekerja, kebebasan beragama, adalah persoalan tindakan, bukan cuma sekadar janji.

Kehadiran agama di bumi ini penting untuk mengakhiri penderitaan. Ada macam-macam agama, yang menjadikan penganutnya merasa berbeda-beda. Lalu, apakah ada bedanya penderitaan seorang Buddhis dengan Muslim, atau Nasrani, atau Hindu? Tentunya kita tidak membedakan kemelaratan, sakit atau laparnya seseorang menurut penganutan agama. Segala bentuk penderitaan sama saja bagi semua orang. Karena itu seharusnya kelompok agama-agama bersatu dan bekerja sama menghadirkan surga di bumi. 

Cinta dan kesadaran

Agama bisa jadi sangat menarik perhatian orang-orang lapar. Mereka menaruh pengharapan, ketika agama menghadirkan kasih sayang dan kekuatan yang membuat hidupnya lebih baik. Tetapi sebuah khotbah tidak akan membuat orang lapar menjadi kenyang. Sekalipun itu khotbah Buddha sendiri. Dapat dimengerti pada saat ada seorang petani miskin berusaha menahan lapar, Buddha menunda khotbah-Nya dan menyuruh orang-orang terlebih dahulu menyediakan makanan dan mempersilakan petani itu makan. (DhpA. 203).

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Agama-agama mengajarkan cinta dan cara merealisasi kebahagiaan. Cinta harus diwujudkan dalam tindakan. Bahagialah orang yang hidup dalam cinta. Tanpa cinta tidak ada kebahagiaan. Apa kita membedakan cinta dan kebahagiaan menurut golongan agama? Mungkin kita suka memperdebatkan keunikan akidah dari agama-agama, namun bagaimanapun kita tidak akan menolak kepedulian dan tindakan yang penuh kasih yang akan menyelamatkan kehidupan atau mengakhiri penderitaan.

Sikap eksklusif dan sektarian telah membuat orang berbeda paham mengenai cinta menurut perbedaan agama. Cinta kasih menjadi diskriminatif, sehingga seseorang mengungkapkan cinta kepada Tuhan atau agamanya dengan membenci dan memusuhi agama lain. Apakah ini benar-benar cinta? Cinta sejati bersifat universal, tidak dibatasi oleh segala bentuk ikatan primordial. Persoalannya, bagaimana kita dapat sungguh-sungguh memahami cinta kasih tanpa memiliki dan mengalaminya sendiri? Thich Nhat Hanh menjelaskan, bahwa cinta memberi kita kesempatan untuk melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mereka yang tidak memiliki cinta.

Cinta yang menyelamatkan (agape) dan pengetahuan yang memerdekakan (gnosis) merupakan dua sisi dari satu koin yang sama. Cinta atau belas kasih (karuna) berpasangan dengan pengetahuan kebijaksanaan (prajna) menghadirkan bodhicitta, yaitu kesadaran menuju pencerahan. Dengan kesadaran ini seseorang menyelamatkan diri sendiri bersamaan dengan menyelamatkan orang lain. Kita belajar dari orang-orang suci, tetapi bodhicitta dengan belas kasih dan kebijaksanaan itu bukan hanya milik orang-orang suci. Kita semua memilikinya. Dari sanubari, cinta berkembang dengan ketulusan dan kepekaan yang membuat seseorang sedia bertanggungjawab dan berkorban sehingga melampaui keakuan. Bukan karena perintah, melainkan kesadaran.

Komitmen pada kemanusiaan

Cinta kasih dalam aksi nyata ditunjukkan oleh setiap golongan agama dengan memberi pelayanan sosial bagi me­reka yang membutuhkan pertolongan. Kita terbiasa melihat penyandang dana dan pekerja sosial dari kelompok agama membatasi bantuan kepada saudaranya yang seagama. Ada banyak orang merasa lebih bersaudara dengan orang jauh yang seagama, ketimbang dengan anggota keluarga atau tetangganya yang berbeda agama.

Ketika karya sosial aktivis agama tertentu meluber kepada pemeluk agama lain mudah mengundang kecurigaan. Pelayanan itu sedikit atau banyak dihubungkan dengan modus penyiaran dan dikhawatirkan bermotif konversi agama. Lalu untuk membantu seseorang, apa perlu si penolong memperhatikan agama dari orang yang akan ditolongnya?

Cinta Bunda Teresa –tidak pernah bertanya apa agamamu, dari mana asal usulmu, berapa saudaramu, dan ia merasa cukup kalau melihat setiap orang yang harus dilayaninya adalah manusia yang juga dikasihi Tuhan–. Begitu pula Master Cheng Yen menebar cinta kasih universal lintas agama, ras, etnis, bangsa atau negara.
Tzu Chi, organisasi kemanusiaan yang didirikan oleh biksuni ini di Taiwan, telah mendunia.  Organisasi ini memberi bantuan untuk masyarakat miskin dan korban bencana, pembiayaan dan pelayanan kesehatan, pendidikan, kegiatan sosial budaya hingga pelestarian lingkungan. Aktivitasnya merupakan wujud cinta yang maha besar (da ai). Apa yang dilakukan setulusnya tak lain dari cinta dalam tindakan.

Master Cheng Yen menjelaskan bahwa cinta tidak diskriminatif. Dan dia tidak meniup terompetnya sendiri. Berdasar prinsip menghormati kehidupan, sepanjang kita mempunyai mata melihat, mempunyai telinga mendengar, dan mempunyai kaki berjalan, kita bisa pergi ke mana saja untuk menolong siapa saja.
Mewujudkan kearifan dan belas kasih tidak dilakukan melalui sikap atau kesetiaan khusus pada agama atau komunitas tertentu. Karena komitmennya pada kemanusiaan, mudah dipahami kalau para relawan datang dari kalangan berbagai agama, bekerja tanpa membeda-bedakan agama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya