SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sidney Sheldon, novelis asal Amerika menuliskan, kebanyakan perkara dimenangkan atau dikalahkan sebelum sidang pengadilan dimulai. Aparat hukum yang mestinya menegakkan kebenaran mudah terjerumus merekayasa atau memaksakan pembenaran. Keadilan hukum  tidak selalu memenuhi rasa keadilan. Ini bukan cerita fiksi, karena faktanya dapat ditemukan dalam dunia nyata.

Polisi penyidik, jaksa penuntut, begitu pula majelis hakim yang menjatuhkan vonis secara bersama bisa salah. Contoh kondang di dunia hukum Indonesia yakni tragedi Sengkon dan Karta (1974). Keduanya dipenjara karena sangkaan merampok dan membunuh. Belakangan terungkap pelaku sesungguhnya mengaku sendiri dan terbukti bersalah. Tragisnya, Sengkon dan Karta harus menghembuskan nafas terakhir saat menjalani hukuman di bui.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Kasus lain, Risman Lakoro dengan istrinya Rostin Mahadji (2002) yang harus menjalani hukuman karena tuduhan membunuh anaknya, Alta Lakoro. Kebenaran terkuak, ketika Alta yang diyakini telah tewas, pulang ke rumah. Atau Devid dan Kemat (2007) yang divonis bersalah membunuh Asrori. Belakangan, berdasar tes DNA diketahui, Asrori ternyata salah satu dari sekian  korban Ryan si pembunuh berantai.

Mencari kebenaran
Kebenaran adalah sesuatu yang benar, betul terjadi atau sungguh-sungguh ada. Apa yang benar cocok dengan kenyataan, terbukti tanpa bias atau dusta. Pembenaran adalah proses atau perbuatan membenarkan, mungkin membuat supaya benar, mungkin juga menganggap atau mengakui benar. Ketika sulit menemukan kebenaran di tengah kegelapan, seringkali orang menghibur dirinya dengan pembenaran, seolah-olah apa yang dicarinya ada di tempat lain.

Setiap klaim kebenaran bisa diperdebatkan karena tidak mustahil untuk berbeda tergantung pada siapa dan bagaimana memandangnya. Sampai pun kebenaran kitab suci agama berhadapan dengan tafsir, sering menimbulkan perbedaan pendapat. Bukan hanya menyangkut sudut pandang dan metodologi, tetapi juga bisa jadi sarat dengan berbagai kepentingan.

Apa yang benar atau salah sering ditentukan berdasar otoritas. Ada hal-hal yang sekalipun benar, dipandang salah secara turun-temurun. Seperti kasus Giordano Bruno dan Galileo yang dihukum karena menggoyang kepercayaan dan kebenaran yang dianut kalangan agama. Kebenaran yang sesungguhnya baru disadari berabad-abad kemudian.

Seorang pencari kebenaran akan memperhatikan hati nurani dan bersikap kritis. Jangan lekas percaya, kata Buddha kepada kaum Kalama. Ia memberi petunjuk agar selalu melakukan verifikasi atas suatu laporan, berita atau kesaksian, menyelidiki kebenaran yang diwariskan lewat tradisi, bahkan juga yang tertulis dalam kitab-kitab suci atau yang disebut sebagai wahyu (A. I, 189). Kesangsian itu wajar, bukan skeptisisme, melainkan justru menjadi langkah pertama untuk memastikan kebenaran.

Kebenaran relatif
Sumber-sumber utama dari pengetahuan dan pengertian dikenali melalui indra. Sedangkan persepsi indra memiliki keterbatasan dan bisa keliru. Penglihatan misalnya, menghadapi ilusi (vipallasa), entah karena kekeliruan persepsi pengamatan, kekeliruan pikiran yang mengenali atau kekeliruan pandangan yang membentuk gagasan.

Indra tidak berdiri sendiri. Secara internal saja berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental, kepekaan perasaan, emosi, praduga dan imajinasi. Embusan angin yang dirasakan nyaman oleh orang yang sehat, akan terasa lain bagi orang yang sakit. Seorang pencari kebenaran harus memiliki kesediaan untuk mengakui adanya kemungkinan keliru.

Objektivitas diperlukan tidak hanya menyangkut bukti dan fakta yang dianggap sebagai kebenaran, namun juga dalam sikap dari orang yang mencarinya. Yang menjadi masalah, bagaimana manusia bisa melihat sesuatu sebagaimana adanya, sementara ia terperangkap prasangka subjektif, perasaan suka dan tidak suka, terikat nafsu, kebencian, kegelapan batin atau ketakutan?
Kebenaran duniawi bersifat relatif. Karena itu Buddha mengingatkan: ”Jika seseorang telah mendengar, kemudian mengatakan inilah yang telah aku dengar, ia melindungi kebenaran, sepanjang tidak secara kategorik mengambil kesimpulan bahwa hanyalah ini yang benar, dan semua yang lainnya keliru” (M. II, 171).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya