SOLOPOS.COM - Direktur Pengelolaan Media, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nursodik Gunarjo saat membuka Refleksi Indeks Kebebasan Pers di Indonesia, yang digelar di Monumen Pers Nasional, Solo, Rabu (31/5/2023). (Solopos/Anik Sulistyawati)

Solopos.com, SOLO — Kebebasan pers di Indonesia saat ini disebut terus menunjukkan tren peningkatan atau semakin membaik. Namun demikian masih banyak catatan dan tantangan yang harus dihadapi insan pers di era digital saat ini.

Wakil Ketua Dewan Pers Agung Dharmajaya mengatakan,  Dewan Pers menggunakan parameter Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) untuk menggambarkan kebebasan pers di Tanah Air.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) saat ini berada di kisaran 77,8. Ini hal ini menunjukkan bahwa kebebasan pers di Tanah Air kian membaik,” ujar Agung saat berbicara dalam kegiatan diskusi  bertajuk Refleksi Indeks Kebebasan Pers di Indonesia, yang digelar di Monumen Pers Nasional, Solo, Rabu (31/5/2023).

Agung tidak membantah adanya paramater lain atau survei yang dilakukan pihak lain, namun yang jelas Dewan Pers menggunakan IKP untuk mengetahui atau mengukur kebebasan pers di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Angka IKP merupakan penggabungan rata-rata nilai dari setidaknya 34 Provinsi yang diberi bobot 70 persen ditambah dengan rata-rata nilai dari Dewan Penyelia Nasional (National Assessment Council/NAC) yang diberi bobot 30 persen.

Penilaian IKP mencakup tiga kondisi lingkungan, yaitu lingkungan fisik dan politik yang terdiri dari sembilan indikator; lingkungan ekonomi yang terdiri dari lima indikator; dan lingkungan hukum yang terdiri dari enam indikator.

Terkait hasil survei atau parameter yang menunjukkan kebebasan pers di Indonesia bahkan kalah dari Timor Leste, Agung mengatakan kemungkinan karena ada perbedaan indikator atau metode yang dipakai.  Meski demikian, Agung juga menjelaskan kebebasan pers saat ini masih menghadapi banyak tantangan. Tak sedikit masyarakat yang belum memahami fungsi hak jawab ketika mempersoalkan produk-produk jurnalistik, sehingga mereka serta merta melaporkan ke pihak berwajib bukan ke Dewan Pers.

Di sisi lain pers di mata masyarakat juga dipandang sebagai orang yang “serba bisa”  dalam pengertian yang kurang tepat. Agung memberi contoh saat ada orang  yang listriknya mati lantas meminta jurnalis untuk mengadukan ke pimpinan perusahaan listrik.  Namun Agung berharap insan pers terus berbenah dengan menghasilkan produk  berita yang berkualias. Di saat banyak berita berseliweran di media sosial, tugas jurnalis kemudian adalah melakukan klarifikasi dan konfirmasi.

“Saat ini tidak cukup 5W+ H, tapi juga perlu ditambahi I atau impact,” tandas Agung.

Sementara itu, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Surakarta, Anas Syahirul pada kesempatan itu menjelaskan berbagai tantangan yang dihadapi insan pers. Sejumlah tantangan tersebut antara  lain kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan seksual, pengaturan penayangan, pembatasan peliputan atau jumlah reporter yang meliput, hingga serangan digital.

“Saat ini juga muncul serangan-serangan kepada jurnalis dari kelompok-kelompok tertentu yang seolah-olah memiliki kekebalan hukum,” ujarnya.

Dia pun berharap masalah ini mendapat perhatian khusus dari pihak-pihak berwenang dan seluruh elemen masyarakat karena kerja jurnalis juga dilindungan undang-undang.

Sementara itu Direktur Pengelolaan Media, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nursodik Gunarjo saat membuka kegiatan mengatakan, saat ini pers di Indonesia sudah cukup bagus.

“Kalau [pers] bebas dari, tampaknya sudah tercapai. Tapi bebas untuk, pers masih mengalami banyak tantangan,” ujar Nursodik.

Dia berharap kebebasan pers juga diiringi dengan peningkatan kualitas jurnalis.  Mengingat, di era digitalisasi saat ini godaan untuk membuat konten yang viral atau clickbait sangat besar.

“Jangan sampai industrialisasi dan komersialisasi mengalahkan idealisme pers,” ujarnya.

Senada Kepala Monumen Pers Nasional Widodo Hastjaryo berharap diskusi tersebut bisa merefleksikan dan mendorong kebebasan pers di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya