SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pemerintah kita saat ini baru gencar-gencarnya memerangi korupsi. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan KPK, tidak hanya orang miskin yang mampu menjadi koruptor, tapi tidak sedikit orang yang memiliki materi berlimpah masih saja tergoda untuk makan uang rakyat.

Benang merah yang bisa petik adalah praktik korupsi sama sekali tidak ada kaitannya dengan miskin atau kayanya seseorang. Sama halnya dengan, pelanggar hukum bukan karena buta hukum atau justru mengerti hukum. Pelaku kekerasan bukan lagi karena tidak beragama atau bahkan sangat mengerti agama. Lantas dorongan apakah yang membuat perilaku manusia menjadi seburuk itu? Kekuatan  yang menyeret banyak orang untuk tidak jera berperilaku buruk adalah kenikmatan. Kenikmatan membakar hawa nafsu untuk mencari kepuasan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sayangnya, tidak banyak yang mampu memahami bahwa kepuasan itu memang bisa didapat, tetapi kenikmatan tidaklah abadi. Makin dinikmati, hawa nafsu makin menuntut. Makin haus! Lalu, menjelma menjadi ketagihan. Ketagihan akan kenikmatan duniawi ini yang telah memotivasi dan mendorong seseorang untuk perilaku buruk. Ketagihan akan kenikmatan membuat orang melupakan  kearifan Dharma (ajaran agama). Tidak peduli norma-norma hukum. Tidak takut dengan sanksi moral atau akibat karma. Ketagihan membuat mabuk. Ketagihan melahirkan kegilaan dan keserakahan. Keserakahan membuat manusia memakai semua cara untuk mencapai tujuan. Keserakahan membuat manusia ingina berkuasa atas segala sesuatu dan menutup pintu kebajikan bagi orang lain.

Keserakahan jugalah yang membuat manusia salah kaprah memaknai demokrasi dan hak asasi manusia yang diterjemahkan sebagai hak untuk bebas berbuat dan bebas menuntut apapun. Keserakahan bahkan sering membuat simbol-simbol agama menjadi alat untuk memperbesar egoisme. Mereka yang menjadi rakus dengan materi, kedudukan atau kekuasaan, bahkan popularitas yang bermuara pada pemenuhan kepuasan diri, seolah tidak takut terhadap apapun atau siapapun. Kalau banyak orang terjerumus dalam kerakusan kenikmatan inderawi, maka perubahan sistem, pergantian pimpinan, peringatan dan tuntutan agama, seolah tidak ada artinya. Perubahan ke arah yang lebih baik hanya berhenti pada wacana atau bahkan menjadi impian panjang.

Kebangkitan moral
Sekarang kita memerlukan kebangkitan moral. Moral kita masing-masing harus bangkit menghadapi kehausan akan kenikmatan yang sering menyusup, dan menghasut jiwa. Kita tidak hanya perlu ketegaran menghadapi bencana alam yang terjadi di sekitar kita dan penderitaan hidup ini, tetapi ketegaran serta kebangkitan moral juga sangat kita perlukan untuk menjaga moralitas dan perilaku. Kalau kegilaan atau kerakusan terhadap kenikmatan inderawi tidak mempan dengan ancaman rasa malu, hukum, bahkan konsekuensi karma buruk, maka pencerahan harus mendasari komitmen untuk mengubah sikap mental.

Masukkan kearifan ke dalam pemikiran bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kenikmatan apapun hanyalah sementara. Kenikmatan yang menjelma menjadi kegilaan akan benar-benar membuat orang menjadi gila. Kenikmatan yang dicapai dengan kearifan, yang merupakan buah dari perilaku bajik, meski juga sementara, tetapi akan membuahkan perbaikan dan kebahagiaan. Kearifan ini adalah dasar. Kearifan ini harus menjadi pencerahan yang harus ditanamkan oleh diri sendiri dalam lubuk pemikirannya sendiri. Bukan harus dipaksakan dari luar, dan  bukan pula dengan ancaman semata.

Kearifan atau kebijaksanaan yang tumbuh di dan dari dalam diri kita akan melandasi perubahan sikap mental. Moral harus kita bangkitkan sendiri menghadapi kerakusan yang memberikan kenikmatan sesaat namun membuahkan penderitaan berkepanjangan bagi diri sendiri, lingkungan, serta orang banyak. Memang tidak mudah mengubah sikap mental. Memang tidak mudah membangkitkan moralitas yang tegar dan tangguh. Lingkungan sosial dan sekali lagi, kenikmatan, selalu memanggil-manggil tiap orang untuk berperilaku buruk.

Tetapi, awasilah perasaan dan pikiran ini. Awasi sendiri, karena orang lain tidak mungkin mampu mengawasi perasaan dan pikiran kita. Awasi dengan penuh perhatian! Awasi terus! Awasi dengan ketekunan. Ketagihan yang melahirkan kerakusan atau kegilaan akan berhenti menghasut pikiran kita bila kita menghadapinya dengan perhatian penuh, dengan kewaspadaan ke dalam diri. Oleh karenanya, bermeditasilah. Asahlah kewaspadaan itu agar menjadi tajam. Kita mempunyai kekuatan di dalam diri untuk membebaskan pikiran kita sendiri dari kehausan akan kenikmatan. Kewaspadaan atau perhatian penuh terhadap perasaan yang selalu menarik-narik pikiran, kewaspadaan atau perhatian penuh terhadap pikiran yang selalu menjadi pendorong semua perbuatan, adalah kunci melakukan perbaikan moralitas.

Perbaikan moralitas itu adalah kebangkitan moral yang kini kita butuhkan untuk menjaga serta membawa bangsa ini maju, bangkit dari keburukan serta mencapai kesejahteraan. Kebangkitan moral itu adalah tuntutan untuk diri kita masing-masing. Kesungguhan dan ketulusan kita akan menjadi teladan bagi yang lain. Kebangkitan moral bukan seruan atau tuntutan bagi orang lain. “Kebangkitan moral adalah sebagai dasar, sebagai pendahulu, dan pembentuk dari semua yang baik dan indah. Oleh karena itu hendaklah orang menyempurnakan kebajikan moral” (Theragatha 612)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya