SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

internet

[SPFM], Hukum di negeri ini berkali-kali menampilkan anomali.  Ketika masyarakat geram atas kasus Nazaruddin, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan kasasi jaksa dalam kasus Prita Mulyasari, mengusik rasa keadilan masyarakat.

Sebenarnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang memutus bebas Prita dari tuntutan jaksa, enam bulan penjara. Prita bebas unsur dakwaan pencemaran nama baik Rumah Sakit (RS) Omni Internasional tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Dalam kasus perdata atas gugatan ganti rugi terhadap Prita dari RS Omni Internasional, MA telah memenangkan kasus perdata yang dihadapi Prita. Vonis MA dalam kasus perdata tersebut membebaskan Prita dari seluruh gugatan ganti rugi. Hakim Pengadilan Tinggi Banten sebelumnya mewajibkan Prita membayar uang ganti rugi sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni Internasional.

Kini, Prita berhadapan dengan vonis kasasi MA dikenai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, bukan lagi Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik seperti dakwaan jaksa di tingkat pertama.  Tak pelak, ancaman Prita dipenjara sekarang kian kembali terbuka.

Sebelumnya, Prita  Mulyasari, seorang ibu rumah tangga di Tangerang, pernah ditahan Kejaksaan Negeri Tangerang, Banten  atas tuduhan pencemaran nama baik. Tuduhan itu berangkat dari e-mail prita di beberapa mailinglist yang berisi keluhannya sebagai pasien RS Omni International.

Atas perbuatan tersebut, Prita  diancam dengan pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal tersebut mengancam pidana penjara 6 tahun dan denda Rp 1 milyar bagi setiap orang yang menyebarkan informasi yang mengandung pencemaran nama melalui internet.

Prita  sudah digugat secara perdata dan kalah, sehingga harus membayar ganti rugi kepada RS Omni Internasional sebesar Rp 300 juta dan ganti rugi immaterial sebesar Rp 50 juta serta membayar ganti rugi kepada dua dokternya masing–masing sebesar Rp 50 juta.

Apa yang menimpa Prita membuatnya mendapat pembelaan luas dari masyarakat. Sampai ada gerakan pengumpulan koin untuk membantu Prita membayar tuntutan RS Omni Internasional. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang, majelis hakim menvonis bebas Prita. Oktober 2010, Prita menang dalam perkara perdata di tingkat kasasi MA.

Namun, belum sepenuhnya reda. Prita terancam kembali masuk penjara. Hal itu dikarenakan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan kasasi jaksan penuntut umum. Terkabulnya kasasi ini akan membatalkan putusan bebas murni Prita Mulyasari.  Nah, haruskah Prita kembali masuk bui? Apakah hukum di negeri ini memberi keadilan pada masyarakat kecil?

Sampaikan komentar Anda di Dinamika 103 edisi Rabu (13/7) mulai pukul 08.05-10.00. Komentar bisa Anda sampaikan melalui  telpon (0271) 739367 dan 739389 atau SMS di 081226103103 dan 01817444103 atau melalui akun facebook kami di Soloposfm Solo Surakarta maupun melalui website ini. [berbagai sumber/ary]

[SPFM], Hukum di negeri ini berkali-kali menampilkan anomali.  Ketika masyarakat geram atas kasus Nazaruddin, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan kasasi jaksa dalam kasus Prita Mulyasari, mengusik rasa keadilan masyarakat.

Sebenarnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang memutus bebas Prita dari tuntutan jaksa, enam bulan penjara. Prita bebas unsur dakwaan pencemaran nama baik Rumah Sakit (RS) Omni Internasional tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Dalam kasus perdata atas gugatan ganti rugi terhadap Prita dari RS Omni Internasional, MA telah memenangkan kasus perdata yang dihadapi Prita. Vonis MA dalam kasus perdata tersebut membebaskan Prita dari seluruh gugatan ganti rugi. Hakim Pengadilan Tinggi Banten sebelumnya mewajibkan Prita membayar uang ganti rugi sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni Internasional.

Kini, Prita berhadapan dengan vonis kasasi MA dikenai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, bukan lagi Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik seperti dakwaan jaksa di tingkat pertama.  Tak pelak, ancaman Prita dipenjara sekarang kian kembali terbuka.

Sebelumnya, Prita  Mulyasari, seorang ibu rumah tangga di Tangerang, pernah ditahan Kejaksaan Negeri Tangerang, Banten  atas tuduhan pencemaran nama baik. Tuduhan itu berangkat dari e-mail prita di beberapa mailinglist yang berisi keluhannya sebagai pasien RS Omni International.

Atas perbuatan tersebut, Prita  diancam dengan pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal tersebut mengancam pidana penjara 6 tahun dan denda Rp 1 milyar bagi setiap orang yang menyebarkan informasi yang mengandung pencemaran nama melalui internet.

Prita  sudah digugat secara perdata dan kalah, sehingga harus membayar ganti rugi kepada RS Omni Internasional sebesar Rp 300 juta dan ganti rugi immaterial sebesar Rp 50 juta serta membayar ganti rugi kepada dua dokternya masing–masing sebesar Rp 50 juta.

Apa yang menimpa Prita membuatnya mendapat pembelaan luas dari masyarakat. Sampai ada gerakan pengumpulan koin untuk membantu Prita membayar tuntutan RS Omni Internasional. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang, majelis hakim menvonis bebas Prita. Oktober 2010, Prita menang dalam perkara perdata di tingkat kasasi MA.

Namun, belum sepenuhnya reda. Prita terancam kembali masuk penjara. Hal itu dikarenakan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan kasasi jaksan penuntut umum. Terkabulnya kasasi ini akan membatalkan putusan bebas murni Prita Mulyasari.  Nah, haruskah Prita kembali masuk bui? Apakah hukum di negeri ini memberi keadilan pada masyarakat kecil?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya