SOLOPOS.COM - Irfan Ansori Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Irfan Ansori
Mahasiswa Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Akhir pekan lalu mengemuka berita yang cukup menarik perhatian publik dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Berita itu adalah mundurnya Hary Tanoesoedibjo (HT), CEO MNC Group, yang pada akhir 2011 bergabung dengan partai tersebut. Keluarnya HT memang sesuai prediksi karena beberapa hari sebelumnya telah santer dikabarkan terkait keretakan hubungan HT dengan pendiri Partai Nasdem, Surya Paloh.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam pandangan saya, hal tersebut jelas merupakan sebuah kerugian besar bagi partai baru yang mengusung gerakan perubahan ini meskipun dalam beberapa kesempatan Surya Paloh menepis anggapan tersebut. Sebagai CEO dari grup media massa besar di Indonesia (MNC), HT sering muncul di siaran televisi miliknya dalam rangka memperkenalkan dirinya yang saat itu menjadi bagian dari Partai Nasdem.

Pada waktu itu, lantas timbul berbagai macam kekhawatiran dari beberapa partai politik yang tidak memiliki media, termasuk Partai Demokrat. Partai pemenang pemilu ini jelas merasa terzalimi karena konten-konten berita di grup media tersebut menyudutkan partai politik yang notabene tidak memiliki media. Namun, saya salut kepada Ssusilo Bambang Yudhoyono (SBY), patron utama Partai Demokrat, yang sampai saat ini masih bersabar dengan hal tersebut.

Ekspedisi Mudik 2024

Meski hari-hari Partai Demokrat penuh caci maki dan kritik, dan seolah-olah dalam era pemerintahannya tidak ada kebaikan sedikit pun, ia tidak terpengaruh untuk mencoba mengusik kemerdekaan dan independensi pers di era demokrasi Indonesia yang baru saja dibangun ini. Realitas ini jelas berbeda dengan rezim Soeharto. Dan saat ini, HT bagaikan primadona yang diharapkan oleh banyak partai politik agar bergabung menjadi bagian dari partai tersebut. Fenomena ini merupakan hal yang patut kita renungkan.

Era reformasi yang sedang berjalan saat ini, sungguh erat kaitannya dengan kebebasan pers. Kini, pers Indonesia laksana menggenggam bara. Dunia pers Indonesia saat ini kembali dihadapkan pada posisi dilematis. Di satu sisi, runtuhnya rezim represif Orde Baru membuat dunia pers menikmati masa gemilang dengan kebebasan yang seolah tak terbatas. Namun, di sisi lain, liberalisasi tersebut pada akhirnya banyak mengundang kekhawatiran publik.

Dalam buku yang berjudul “Komunikasi Politik, Media & Demokrasi karya Henry Subiakto dan Rachmah Ida, dijelaskan bahwa media massa memiliki kekuatan penuh untuk menumbuhkan kehidupan berdemokrasi. Namun, akibat perkembangan dunia yang semakin liberal, ternyata mampu menggeser fungsi media massa dari alat perjuangan menjadi sarana pengeruk keuntungan. Media kemudian menjadi alat propaganda para pengusaha dan penguasa.

Godaan Politik

Selain itu, media dalam era kapitalis-liberal sarat dengan konspirasi. Gejalanya terlihat ketika bisnis media mulai diatur demi kepentingan politik dan uang. Para elite kekuasaan dan bisnis berkolaborasi mengatur isi media.  Akibatnya, kebebasan pers yang dijiwai demokrasi tersusupi propaganda beberapa orang. Dalam konteks ini, jiwa media melenceng dari koridor idealisme.

Semua sudah mengetahui saat ini banyak pemilik media massa yang terjun dalam politik praktis dengan menjadi pemuka partai politik tertentu. Dalam komunikasi politik, kedudukan media menjadi semacam public relation. Menurut Gramsci, hubungan media dan politik adalah upaya hegemoni terhadap orang lain, sekaligus mematikan kelompok pesaingnya. Kemampuan menyebarkan berbagai informasi penting dalam waktu sekejap dan menebas sekat ruang dan waktu memosisikan media sebagai mercusuar informasi publik.

Ketika HT masih bergabung di Partai Nasdem, iklan partai ini muncul berkali-kali di GlobalTV, MNC TV dan RCTI. Surya Paloh yang juga pemilik Media Group menaungi tiga media utama, yaitu MetroTV, Media Indonesia dan Lampung Post jelas tidak mau ketinggalan untuk mengiklankan dirinya. Di kubu lain Aburizal Bakri (Partai Golkar) terlihat memang sudah jauh mempersiapkan medianya sebagai mesin pencitraan politik. ANTV dan TVOne sudah bersiap-siap mendukung ”sang ayah” untuk mendulang suara di Pemilihan Presiden 2014.

Hal berbeda dialami SBY dan Partai Demokrat. Partai ini tidak punya afiliasi dengan televisi untuk mendukungnya, kecuali mungkin TVRI yang kian ditinggalkan pemirsanya. Dan dari semua kelompok media di Indonesia, terdapat dua kelompok yang hingga saat ini belum jelas afiliasi politiknya. Kelompok TransCorp yang memiliki TransTV, Trans7, dan Detik.com, selama ini masih adem ayem melihat konstelasi politik terkini. Atau barangkali Chairul Tanjung–pemilik TransCorp–tersebut masih dalam proses dirayu atau bahkan merayu partai politik tertentu.

Kematian Demokrasi

Akhirnya, pers sebagai salah satu support for the democratic system tidak benar-benar adil. Fungsi utama pers yang sejatinya sebagai sarana informasi, edukasi, koreksi, rekreasi dan mediasi, tereduksi dengan intervensi kepentingan konspirasi para elite yang melakukan kontrol pemberitaan dan informasi. Media sebatas menjadi alat kepentingan politik dan ekonomi.

Raymond Williams (1975) dalam The Pervasive Presence Theory mengasumsikan bahwa media, khususnya media penyiaran, sangat dominan pengaruhnya terhadap publik. Harus diakui bahwa dominasi politik tertentu telah hadir dalam media  massa tersebut. Hal itu merupakan awal dari matinya keadilan pers. Matinya keadilan pers sesungguhnya merupakan awal dari kematian demokrasi (the death of democracy). Mungkin demikian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya