SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI)

 

Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI)

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saat bangsa Indonesia merasa semakin rendah diri di mata dunia internasional karena praktik korupsi yang kian menjadi-jadi serta ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan lainnya, saya justru merasa bertambah bangga saat menyaksikan pameran karya salah satu supermaestro lukis Indonesia, Raden Saleh.

Pameran yang diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta, 3-17 Juni, itu semakin memperkokoh pemahaman saya bahwa kita ini bangsa besar yang nyaris tenggelam oleh berbagai perilaku kerdil yang dilakukan oleh sejumlah oknum di negeri ini. Gara-gara setitik praktik tak terpuji, rusaklah citra bangsa dan negara.

Karya Raden Saleh—juga karya beberapa maestro dari berbagai cabang seni lain yang jumlahnya terlalu banyak untuk disebutkan di sini—sungguh membuktikan bahwa untuk karya seni budaya tinggi, Indonesia pantas berada di jajaran terhormat di antara bangsa-bangsa lain yang berperadaban tinggi.

Betapa tidak. Berkat kemampuan seni lukis yang dimilikinya, Raden Saleh yang lahir pada Mei 1811 itu menjadi seniman kondang yang malang melintang di Eropa. Agak ironis memang, kendati waktu itu dia berasal dari negeri terjajah, tapi karya dan pesonanya tak menghalangi Raden Saleh untuk memiliki posisi sangat terhormat di negeri para penjajah tersebut.

Dia mungkin satu-satunya tokoh dari Hindia Belanda yang pernah menjadi tamu resmi Raja Willem II di Den Haag yang sekaligus menganugerahinya bintang jasa Medali Mahkota Ek. Raden Saleh juga pernah bertamu kepada Raja Prancis Louise Philippe dan diterima  sebagai tamu kehormatan oleh Ratu Victoria dan Pangeran Albert dari Inggris. Belum lagi pergaulannya dengan sejumlah besar bangsawan tinggi Eropa yang benar-benar menghormatinya sebagai seniman besar.

Ya. Tidak salah lagi, karya monumental Raden Saleh tersebar di banyak museum di Eropa, karena dia sering dipercaya untuk melukis sejumlah tokoh di benua tersebut. Namun, tidak sedikit juga karyanya yang tetap ”tersisa” di Tanah Air yang menjadi koleksi perorangan maupun instansi resmi macam Istana Negara.

Tanpa inisiatif lembaga seperti Goethe Institute yang didukung Kedubes Jerman dan Galeri Nasional yang menggelar pameran itu, saya dan sejumlah besar publik di negeri ini mungkin tidak akan dapat menikmati karya sang supermaestro yang dianggap sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia tersebut.

Juga terhadap karya seni lukis dari beberapa maestro lain yang dimiliki bangsa ini, amat jarang rakyat awam dapat menikmatinya. Justru orang asing dan elite negeri ini saja yang mampu menikmatinya karena untuk memperoleh kesempatan seperti itu tidak mudah.

Hal itu terjadi karena miskinnya negeri ini akan museum atau galeri tetap yang memamerkan karya para maestro seni lukis Indonesia yang jumlahnya tidak sedikit itu. Kita mungkin mengenal nama-nama besar selain Raden Saleh, misalnya Basuki Abdullah, Sudjojono, Doellah, AD Pirous, Hendra Gunawan, Popo Iskandar, Lee Man Fong, Jeihan dan banyak lagi.

Namun, sudahkah kita menyaksikan secara langsung karya-karya mereka? Saya yakin banyak di antara kita yang belum memperoleh kesempatan itu karena alasan itu tadi, yakni mau ke mana untuk dapat menikmati karya para maestro tadi?

 

Museum Seni

Setiap kali memperoleh kesempatan bertugas ke luar negeri, saya selalu merasa iri dengan keberadaan galeri nasional masing-masing negara yang memajang karya para seniman besar negeri itu. Salah satu yang membuat saya tidak mampu melupakan adalah menyaksikan langsung di depan hidung lukisan terkenal The Scream karya Edvard Munch di Galeri Nasional Norwegia di Oslo.

Juga deretan karya pelukis Inggris, Prancis, Italia, Spanyol, Jepang, Korea Selatan dan banyak lagi negara yang rata-rata memiliki galeri untuk memamerkan secara tetap karya-karya—sekaligus penghormatan bagi—seniman besar di negeri masing-masing.

Lebih ngiri lagi kalau ke Amerika Serikat. Selain memiliki galeri nasional, sejumlah kota bahkan memiliki museum seni modern seperti SFMoMA di San Francisco dan NYMoMA di New York. Museum tersebut memamerkan tidak hanya karya seni lukis, melainkan seni kriya, fotografi, arsitektur, buku dan film.

Konon, di Istana Negara Bogor, tersimpan ratusan lukisan karya seniman besar nasional maupun internasional. Lukisan tersebut dikumpulkan oleh Presiden Soekarno yang memang terkenal sebagai pencinta seni. Tapi, karena sebagian besar karya tersebut dianggap tidak senonoh, kabarnya, maka lebih baik ”diamankan” dari publik. Ini tentu sebuah pelecehan terhadap karya seni. Karya seni tinggi itu tidak dapat dinikmati oleh publik karena ketiadaan galeri.

Apakah karena kita kekurangan dana sehingga tidak mampu memiliki sebuah galeri nasional untuk memamerkan secara tetap sejumlah karya seniman besar bangsa ini, juga seniman luar negeri meski tidak mutlak? Jawabannya adalah: tidak! Dana bukan persoalan, mengingat anggaran sektor pendidikan dan kebudayaan setiap tahun saja di atas Rp200 triliun.

Kalau hanya membangun galeri semacam itu sih, kecilll… Masalahnya adalah selain tidak memiliki inisiatif, mungkin, juga rendahnya kesadaran untuk mengakui keberadaan seniman besar yang dimiliki bangsa ini. Sementara bangsa lain begitu menghormati para maestro kita itu.

Begitu karya seni itu diakui oleh bangsa lain—seperti sering terjadi selama ini—barulah semua orang berteriak-teriak bahwa itu adalah milik bangsa Indonesia. Tapi, perlakuan untuk karya seni itu sendiri dengan cara menyediakan panggung praktis tidak terlihat. Seorang rekan bahkan sempat meledek, ketimbang duitnya untuk membangun galeri, mending dikorupsi.. Duh!

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya