SOLOPOS.COM - Ilustrasi anti rokok. KTR di sekolahk perlu digencarkan agar siswa tidak meniru kegiatan merokok seperti di sekolahan, (Freepik.com).

Solopos.com, SOLO—-Tingginya perokok anak disebut dikarenakan anak melihat guru di sekolah dan orang tua di rumah merokok. Agar anak tidak menjadi perokok, salah satu caranya adalah menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di sekolah.

Data dari The Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 menunjukkan satu dari dua pelajar usia 13 sampai 15 tahun melihat orang merokok di sekolah. Sementara itu 23,1% sudah merokok sejak usia 10-14 tahun.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal serupa disampaikan oleh Ketua Yayasan Kakak, Shoim Sahriyati, mengatakan perokok pada anak disebabkan karena lingkungan sekolah dan keluarga. Dia menganggap perlu penerapan KTR secara penuh di lingkungan sekolah.

“Nah sebenarnya kalau kita ngomong soal keluarga, soal lingkungan, kita itu ngomong soal KTR atau kawasan tanpa rokok, karena anak itu ketika melakukan suatu aktivitas atau perilaku itu dipicu oleh di sekitarnya,” terang dia kepada Solopos.com di UMS Solo, Senin (20/3/2023).

Ekspedisi Mudik 2024

Dia mengatakan dari hasil riset yang dilakukan Yayasan Kakak ditemukan bahwa kebanyakan sudah merokok sudah sejak kelas 6 SD. Menurut dia, salah satu faktornya adalah melihat gurunya merokok. 

“Sehingga memang dia melihat lingkungan sekitar, dia akan meniru yang dia lihat, apalagi kalau dia melihat satu sosok yang menjadi idola si anak itu. Misal dia mengidolakan bapak, dia mengidolakan guru yang merokok,” tutur dia.

Shoim mengaku menemukan data di lapangan kalau banyak sekolah-sekolah tidak menerapkan KTR secara penuh. “Banyak sekolah-sekolah masih ditemukan puntung rokok, artinya kan di situ ada yang merokok,” lanjut dia.

Saat ini, kata dia Yayasan Kakak sedang memulai mengumpulkan data bagaimana tingkat kepatuhan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah.  “Termasuk kita sekarang masih membuat gerakan dengan melibatkan anak-anak. Merek nanti bisa menunjukan seberapa banyak yang tidak patuh di ketika berada di KTR,” lanjut dia

Menurut dia, regulasi di sekolah hanya mengatur murid untuk tidak boleh merokok. Sedangkan banyak guru yang diperbolehkan merokok. Shoim mengatakan akan terus mengupayakan advokasi dan melibatkan Dinas Pendidikan.

“Perlu diingat KTR ini mencakup tiga hal, pertama tidak boleh ada produksi di itu, kedua tidak boleh ada aktivitas merokok, dan yang ketiga tidak boleh ada iklan rokok di kawasan itu,” lanjut dia.

Sementara itu Guru SD Al Azhar Syifa Budi Solo, Muhsin, juga melihat fenomena ini di sekitar Solo. Meski dirinya mengaku sekolah tempatnya bekerja tidak didapati siswa yang merokok, namun di lingkungan belajar dilarang keras untuk merokok. “Guru pun juga dilarang,” tambah dia.

Menurut dia, meskipun banyak sekolah melarang muridnya untuk merokok, masih banyak ditemui di beberapa sekolah siswa yang tetap merokok. Meskipun dia tidak mau merinci sekolah mana saja yang ditemuinya. “Perlu diingat bahwa anak merupakan  peniru ulung. Mereka suka mencoba hal-hal baru,” lanjut dia.

Dia merasa prihatin sebab perokok juga ditemukan pada anak usia sekolah dasar. Dengan dalih ingin coba-coba dan terlihat keren, dia mengatakan anak-anak mencoba untuk merokok dan tidak sedikit yang akhirnya menjadi kecanduan.

“Makanya di sekolah kami jelas merokok merupakan salah satu aktivitas yang dilarang di lingkungan sekolah. Apalagi merokok sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh, baik bagi perokok itu sendiri atau yang terkena asap rokok,” tutur dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya