SOLOPOS.COM - Sejumlah guru, relawan dan petugas mengevakuasi siswa-siswa SDN Glagaharjo, Cangkringan dalam simulasi penanggulangan bencana erupsi Merapi, Selasa (29/3/2016). (Abdul Hamied Razak/JIBI/Harian Jogja)

Kawasan rawan bencana menjadi alasan SDN Glagahharjo untuk terus waspada

Harianjogja.com, SLEMAN– Raungan sirine tanda bahaya Merapi membuyarkan konsenterasi kegiatan belajar mengajar di SD Glagahharjo, Selasa (29/3/2016) siang. Sontak suasana kelas menjadi ramai. Siswa-siswi yang awalnya menyimak penjelasan guru saling berpendangan. Takut dan bingung menjadi satu. Sejurus kemudian, sang guru meminta mereka untuk tenang sembari memberikan aba-aba.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di luar kelas, Poniyam, sang kepala sekolah langsung mengumpulkan para guru wali kelas. Sejenak mereka berbicara, kemudian masing-masing wali kelas bergegas ke kelasnya. Mereka menjelaskan kepada siswa bunyi sirine tanda bahaya Merapi.

Segera, para siswa digiring menuju halaman sekolah dengan posisi tas menutupi kepala. Sebelumnya, siswa diminta untuk mengenakan masker untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.

Raut wajah takut dan kebingungan tidak dapat disembunyikan dari balik masker yang menutupi wajah para siswa. Sambil berkumpul di titik evakuasi, mereka menunggu jemputan. Sesekali terdengar isakan tangis dari beberapa siswa.

Guru-guru tetap memberikan arahan kepada siswa agar tetap tenang. Tak berlangsung lama, empat truk dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) datang. Diikuti dua mobil ambulans. Para guru dan tim evakuasi pun menaikkan siswa untuk dievakuasi ke tempat yang lebih aman.

Itulah gambaran simulasi bencana yang menjadi rangkaian acara peresmian Sekolah Siaga Bencana (SSB) yang digelar Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY dan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Sleman.

Meski bersifat latihan, semuanya dilakukan secara serius untuk membekali siswa dengan pengetahuan mitigasi bencana Gunung Merapi. Langkah tersebut juga tidak lepas dari pengalaman adanya erupsi Gunung Merapi pada 2010 lalu.

Tak salah jika pemerintah terus memperbanyak SSB di kawasan lereng Merapi. Yang terakhir diresmikan sebagai SSB adalah SD Glagaharjo, di Cangkringan.

Bangunan sekolah ini menjadi salah satu saksi bisu keganasan erupsi Merapi enam tahun silam. Pada November 2010, seluruh bangunan sekolah ini terkubur material akibat erupsi Merapi dan baru di renovasi pada Januari 2012.

“Dua bulan sekali, kami sebenarnya rutin menggelar simulasi bersama BPBD. Semua, guru dan siswa menyadari lokasi sekolah ini masuk dalam kategori daerah rawan bencana,” tutur Poniyam usai peresmian SSB saat itu.

Tidak hanya simulasi, Poniyam juga bekerjasama dengan para wali murid untuk mendukung sarana dan prasarana terutama transportasi untuk evakuasi. Keterlibatan para wali murid untuk penyediaan armada pengangkut sangat dibutuhkan jika sewaktu-waktu bencana terjadi.

“Jadi kami harus sigap. Tidak mungkin terlalu lama menunggu bantuan armada dari instansi terkait saat bencana terjadi. Maka solusinya dengan melibatkan orang tua siswa,” ungkap Poniyam.

Kepala Disdikpora Sleman Arif Haryono menuturkan, saat ini sudah lima SD di Cangkringan yang berpredikat SSB dari 13 sekolah yang dibentuk. Selain SD Negeri Glagaharjo, empat SD lainnya yang berpredikat SSB meliputi SD Negeri Srunen, SD Negeri Bronggang, SD Negeri Banaran, dan SD Muhammadiyah Cepitsari.

Mitigasi bencana sendiri, katanya, harus menjadi bagian dari budaya dan local wisdom masyarakat. Oleh karenanya, pembinaan dan pelatihan cara penanggulangan bencana pun harus dilakukan sejak dini. “Termasuk di lingkungan sekolah. Siswa harus diajarkan mitigasi bencana. Mereka harus memahami bagaimana cara menghadapi bencana,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya