SOLOPOS.COM - Hanputro Widyono/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Tahun 2020 menjadi tahun pertama pemilihan Kata Tahun Ini yang digagas Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penyelenggaraan ini tentu saja tiruan dari Barat, khususnya agenda Word of The Year yang diprakarsai Kamus Oxford sejak 2004.

Awalnya saya mengira predikat ”tahun ini” berhubungan dengan tahun 2020, lantaran angka tahun di kalender telah berubah jadi 2020. Ternyata yang dimaksud lembaga yang mengurusi bahasa di Indonesia itu adalah tahun 2019.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Simaklah pernyataan Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dadang Sunendar, yang dikutip Solopos, 8 Januari 2020,”KTI [Kata Tahun Ini] yang ditetapkan pada awal 2020 adalah kata tahun ini pada 2019.”

Pembaca berita mungkin mengalami kebingungan waktu dan bahasa. Persoalan waktu bagi generasi milenial itu cukup pelik. Keterlambatan sekian waktu saja bisa dianggap kedaluwarsa atau bahkan ketinggalan zaman.

Udji Kayang, seorang sarjana dari program studi sosiologi, pernah mengamati gaya hidup dan kebahasaan generasi milenial. Hasil pengamatan itu ia tulis dalam esai berjudul Jadul pada Era Milenial yang dimuat Solopos edisi 3 Februari 2018.

Udji menulis milenial ternyata begitu pendek dalam memandang zaman. Jadul tak menunggu milenium, abad, dasawarsa, atau windu. Hari ini jadul dimengerti dalam hitungan tidak sampai lima tahun. Dari simpulan itu, Udji lalu membikin prediksi-prediksi. Esok mungkin klaim jadul cukup menunggu pergantian tahun, atau bahkan bulan.

Populer

Pembaca sebaiknya bersabar. Kita tak perlu terprovokasi dengan menyebut kata tahun ini yang diumumkan setelah pergantian tahun sebagai ”jadul”. Mendingan kita lebih dulu mencari arti kata ”ini” untuk mengetahui makna gabungan kata ”tahun ini”.

Di rumah saya memang belum terdapat Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kelima. Terpaksalah, KBBI edisi keempat (cetakan ke-7, Januari 2014) jadi andalan. Kamus setebal 1702 halaman itu saya buka. Saya sengaja menghindari mencari arti di KBBI daring agar kata ”ini” tidak tercatat statistik dan jadi populer.

Konon, kepopuleran itu pintu gerbang kesombongan. Saya menginginkan kata ”ini” tetap rendah hati. Dari penelusuran di kamus, kata ”ini” termuat di halaman 537. Saya kutip penjelasan tentang kata ”ini”: kata penunjuk terhadap sesuatu yang letaknya tidak jauh dari pembicara.

Artinya ”tahun ini” lebih dekat dengan tahun 2020 ketimbang 2019. Ah, saya takut dianggap sok tahu dengan mengajukan usul revisi kepanjangan KTI menjadi kata tahun itu. Lebih baik saya membaca berita tentang kata tahun ini sampai habis.

Dalam pemilihan kata tahun ini yang pertama tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa memilih kata ”milenial” sebagai kata tahun ini. ”Milenial” belum masuk ke dalam KBBI edisi kelima (2018) yang bisa kita beli di toko buku.

Penetapan kata tahun ini memang didasarkan pada angka-angka yang tercatat di statistik KBBI daring dan Google Trends. Dua ”alat” itulah yang telah bekerja selama setahun, sehingga hasilnya bisa diumumkan penyelenggara pemilihan kata tahun ini dalam siaran pers nomor 003/Sipres/A5.3/I/2020, bahwa sepanjang 2019 kata ”milenial” dicari 19.834 kali oleh pengguna KBBI daring. Penetapan kata ”milenial” sebagai kata tahun ini berlangsung tanpa protes.

Milenial Sebelum Populer

Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa istilah ”milenial” semakin jadi pilihan orang-orang untuk melabeli kaum muda era sekarang. Pada 26 Desember 2016, koran Republika membuat artikel panjang bertajuk Mengenal Generasi Millennial.

Penulisan kata ”millennial” mencomot dari ejaan bahasa Inggris atau dari istilah ”millennials” yang diciptakan dua pakar sejarah sekaligus penulis asal Amerika Serikat, William Strauss dan Neil Howe. Membaca artikel yang disusun redaksi Republika membuat saya mafhum telah terjadi pergeseran pola perilaku anak-anak muda sedunia.

Pergeseran pola perilaku itu berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi, seperti peningkatan penonton Youtube, pemakai layanan belanja online, hingga pengandalan media sosial sebagai sumber berita utama. Redaksi Republika menyebut istilah ”generasi millennial” sedang akrab digunakan dalam perbincangan masyarakat.

Tingkat keakraban masyarakat dengan kata ”milenial” semakin terlihat saat memasuki 2017. Di koran Solopos, kita mendapati pemakaian kata ”milenial” pada 15 Maret 2017. Tidak seperti Republika yang mempertahankan ejaan aslinya, Solopos dengan berani menuliskan seperti bentuk pengucapan orang-orang Indonesia, milenial.

Istilah itu, sepanjang 2017, telah dipakai redaksi Solopos untuk memberitakan pelbagai bidang. Di bidang seni, khususnya film, ada berita Film Layar Lebar Romansa Galih dan Ratna Milenial (15 Maret 2017). Di bidang sosial, ada berita “The Underdogs” Kreativitas Generasi Milenial (22 Agustus 2017).

Di bidang ekonomi ada berita Generasi Milenial Penentu Properti  (11 Desember 2017). Di bidang olahraga terdapat berita Debut Pemain Milenial Pertama The Blues di Liga Premier (14 Desember 2017). Koran nasional seperti Kompas (28 Oktober 2017) juga tak absen menggunakan kata ”milenial” dalam pemberitaan.

Kita bahkan bisa menyebut ratusan judul buku yang memakai diksi ”milenial” di situs isbn.perpusnas.go.id, beberapa di antaranya adalah Sociopreneur Milenial (Dwi Purnomo, 2017), PPKn Milenial (Sy. Ernaweni, 2018), dan Guru Generasi Milenial (Tri Winarno, 2018).

Konsumerisme

Meski telah ramai digunakan masyarakat—anggaplah—sejak 2016, kata ”milenial” baru masuk KBBI daring sejak April 2018 bersamaan dengan caper, diajeng, komen, kiwari, dan 995 entri lainnya. Milenial, yang masuk dalam kelas kata adjektiva itu, di KBBI daring memiliki dua makna, yaitu berkaitan dengan milenium dan berkaitan dengan generasi yang lahir pada 1980-an hingga 2000-an.

Kurang dari dua tahun masuk KBBI daring, kata ”milenial” langsung diganjar penghargaan Kata Tahun Ini dan ditetapkan jadi yang terpopuler sepanjang 2019. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, melalui Dadang Sunendar, mengungkapkan penetapan kata tahun ini bukan sekadar jumlah pencarian masyarakat tapi juga mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat.



Saya tidak terlalu paham dengan kriteria tersebut. Jika yang dimaksud adalah fenomena perubahan sosial kultural masyarakat terkait kemampuan menyerap dan mengoperasikan peralatan teknologi, itu telah menjadi dasar penciptaan istilah ”milenial” dari bahasa sumbernya.

Definisi ”milenial” di KBBI daring secara tidak langsung menjelaskan sekitar 40% dari total penduduk Indonesia termasuk dalam golongan milenial. Menurut Kompas, 28 Oktober 2017, jumlah penduduk milenial Indonesia mencapai 105.520.300.

Angka yang besar itu, bagi para pebisnis dan pengusaha tingkat global hingga kelas kelurahan, jelas jadi pasar yang menggiurkan. Di Kota Solo dan sekitarnya, beberapa di antara pengusaha itu bahkan langsung mencomot kata “milenial” sebagai nama warung makan, seperti Kantin Milenial (UNS), Mie Level Milenial (Kartasura), Burjo Milenial (Banjarsari), Milenial Café (Laweyan), Ayam Geprek Milenial (Colomadu), Pawon Milenial (Grogol), Millennial Chicken (Gemolong), hingga HIK Milenial (Kentingan).

Akhirnya, kita mesti ikhlas menerima penetapan ”milenial” sebagai Kata Tahun Ini. Penetapan itu mungkin bakal membuat orang semakin keranjingan membuat pelbagai acara, festival, warung makan, toko pakaian, biro perjalanan, toko elektronik, hingga paket Internet bagi para milenial. Tingkat konsumerisme di Indonesia pun semakin meningkat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya