SOLOPOS.COM - Dewie Yasin Limpo (wikidpr.org)

Kasus suap mikrohidro Papua dengan terpidana Dewie Yasin Limpo kembali menunjukkan penolakan hakim untuk mencabut hak politik terdakwa.

Solopos.com, JAKARTA — Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis Dewie Yasin Limpo, Senin (13/6/2016). Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Hanura itu divonis enam tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan penjara. Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Promosi Tanggap Bencana Banjir, BRI Peduli Beri Bantuan bagi Warga Terdampak di Demak

Dalam sidang tuntutan, jaksa meminta majelis hakim memvonis Dewie sembilan tahun penjara dan denda senilai Rp300 juta subsider tiga bulan penjara. Selain kedua hukuman tersebut, jaksa juga menuntut hak politik politikus Partai Hanura itu dicabut.

Ekspedisi Mudik 2024

Dari tiga tuntutan tersebut, dua di antaranya dikabulkan oleh hakim. Namun, khusus pencabutan hak politik, hakim tidak meloloskan tuntutan tersebut. Kejadian itu bukan kali pertama terjadi. Selain Dewie, vonis serupa juga dijatuhkan kepada bekas Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Suryadharma Ali.

Suryadharma divonis enam tahun oleh majelis hakim, namun hak politik bekas menteri agama itu tidak dicabut. Hal serupa juga terjadi dalam vonis politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Patrice Rio Capella.

Jaksa KPK, Kiki Ahmad Yani, menyangkan hal itu. Menurut dia, opsi untuk mencabut hak politik politisi yang terjerat kasus korupsi merupakan bagian dari upaya untuk mendukung regenerasi politik yang bersih. KPK menginginkan orang-orang yang menduduki jabatan strategis terutama terkait kepentingan publik, merupakan orang pilihan, memiliki track record yang baik, dan tidak pernah terlibat korupsi.

Dalam beberapa kasus, banyak bekas koruptor yang berhasil menjadi pejabat publik. Bahkan, di sebuah daerah, seorang koruptor yang notabene masih berstatus pembebasan bersyarat bisa menduduki jabatan publik. Karena itu, menurut dia, dengan penambahan tuntutan pencabutan politik, sebenarnya yang diinginkan oleh KPK yakni mencegah tangan jahat berkuasa di pemerintahan kelak.

Komisioner KPK La Ode M. Syarief juga menyatakan hal yang sama, beberapa kali dia menyerukan agar para bekas terdakwa kasus korupsi itu tidak dipilih lagi oleh masyarakat. Menurut dia, selain hukuman berupa penjara, masyarakat juga musti menghukum para koruptor dengan cara tidak memilihnya saat pesta demokrasi.

Namun demikian, keinginan para penengak hukum tersebut tidak didukung oleh regulasi di dalam sistem pemilihan umum. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik beberapa waktu lalu menyatakan belum ada aturan yang membatasi para bekas koruptor itu mencalonkan diri lagi di pemilihan umum.

Walhasil, ketiadaan regulasi itu membuat KPU tidak bisa melarang para bekas koruptor itu mencalonkan kembali. Karena itu, Husni melihat salah satu cara agar bekas koruptor tidak dipilih, pendidikan politik harus terus digerakkan. Hal itu penting, karena semakin masyarakat sadar politik, mereka kritis dan tahu latar belakang calon pemimpinnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya