SOLOPOS.COM - ilustrasi (JIBI/dok)

Kasus korupsi yang dilakukan pihak swasta jarang tersentuh hukum, walaupun memberikan dampak lebih besar merugikan negara dibanding kasus korupsi kalangan birokrat,

Harianjogja.com, SLEMAN-Penelitian yang dilakukan Laboratorium Ilmu Ekonomi Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan, kasus korupsi yang dilakukan pihak swasta lebih besar merugikan negara dibanding korupsi yang dilakukan di kalangan pemerintahan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Rimawan Pradiptyo pada Selasa (5/4/2016) mengatakan, walaupun memberikan dampak lebih besar merugikan negara dibanding kasus korupsi kalangan birokrat, kasus korupsi yang dilakukan oleh swasta hingga kini belum tersentuh dasar hukum.

“Dari sisi pelaku, korupsi pada swasta memang lebih sedikit dari birokrat, tapi kerugian negara yang ditimbulkan jauh lebih besar. Karena itu, harus ada reorientasi penanganan kasus korupsi, korupsi swasta juga harus menjadi pusat perhatian para penegak hukum,” ujarnya dalam bincang-bincang mengenai penanganan kasus korupsi di gedung pusat UGM.

Ekspedisi Mudik 2024

Berdasarkan data 2009-2015 yang dimiliki Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM, kerugian negara akibat korupsi yang dilakukan pihak swasta mencapai 40,53% dari total kerugian negara akibat korupsi, yang berjumlah Rp203,9 triliun.

Namun, penanganan kasus korupsi swasta sangat minim. Kalaupun ada pihak swasta yang terjerat kasus korupsi, kebanyakan adalah hasil operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang melibatkan politisi atau Pegawai Negeri Sipil.

Kondisi ini disebabkan karena penanganan kasus korupsi swasta, yang kebanyakan berbentuk kasus suap belum ada aturan hukumnya.

“Jadi yang sebenarnya perlu direvisi itu bukan UU KPK, tapi UU antikorupsi,” ungkapnya.

Rimawan menambahkan, UU antikorupsi yang berlaku sekarang ini sudah ketinggalan zaman. Ia berharap adanya revisi UU sehingga poin pengaturan dan penindakan korupsi swasta bisa ikut dimasukkan ke dalamnya, termasuk aturan pada pihak asing yang beroperasi di Indonesia.

“Dengan adanya peraturan bagi pihak swasta, politik uang juga bisa ikut dicegah karena juga termasuk suap dan bisa diperkarakan tidak hanya berdasarkan UU Pemilu. Sistem pendanaan partai politik pun ada potensi terjadi korupsi swasta juga, atau kasus yang sedang hangat, suap lahan reklamasi yang jelas bisa merugikan negara dan masyarakat,” imbuhnya.

Terkait aturan perundangan penanganan kasus korupsi, Rimawan juga mempertanyakan keberadaan UU Nomor 11/1980 tentang Suap. Jika UU tersebut kembali diaktifkan, penanganan kasus korupsi bisa semakin baik.

Ia menilai UU suap ini menjadi salah satu alat yang paling ampuh mengatasi persoalan penegakan hukum atas kasus korupsi. Karena aparat penegak hukum diperkenankan mengejar pelaku suap sampai ke negara manapun.

“Tapi kemana UU ini dan kenapa tidak dipergunakan lagi, saya sendiri belum mengetahuinya,” katanya.

Peneliti Laboratorium Ilmu Ekonomi Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Timotius Hendrik Partohap menambahkan, dari hasil analisis penelitian, korupsi yang dilakukan oleh koruptor selama ini terkesan seolah-olah ‘disubsidi’ oleh negara.

Pernyataan ini muncul dikarenakan, uang yang dikembalikan terdakwa korupsi pada negara sangat kecil dibanding nilai uang yang dikorupsi.

“Kasus Bantul misalnya, terdapat 12 terdakwa dengan nilai kerugian mencapai Rp16,3 miliar. Namun uang korupsi yang dikembalikan ke negara hanya Rp4,2 miliar. Artinya Rp12 miliar ‘disubsidi’ ke koruptor,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya