SOLOPOS.COM - Wakil Presiden RI, Boediono. (Dok/JIBI/Bisnis Indonesia)

Solopos.com, JAKARTA — Keengganan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono — yang kini menjadi wakil presiden — untuk memenuhi panggilan Tim Pengawas Kasus Bank Century DPR (Timwas Century) menimbulkan kesan tidak ksatria dan hendak “cuci tangan”.

Penilaian itu diungkapkan oleh anggota Timwas Century dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo, menanggapi ketidakhadiran Boediono atas pemanggilan yang merupakan hak konstitusional DPR tersebut.

Promosi BRI Cetak Laba Rp15,98 Triliun, ke Depan Lebih Fokus Hadapi Tantangan Domestik

Seperti diketahui DPR ingin memanggil kembali kembali Boediono karena pernyataannya yang dianggap menjadi pintu masuk  membongkar kasus Century. Tahun lalu, usai dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Boediono secara tidak langsung menuding membengkaknya dana bailout dari Rp632 miliar menjadi Rp7,2 triliun dalam skandal Century adalah tanggung jawab Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Atas pernyataan itu, papar Bambang, Timwas Century menganggap secara tidak langsung Boediono mengungkap bahwa yang bertanggungjawab atas membengkaknya dana bailout adalah presiden karena LPS berdasarkan undang-undang bertanggungjawab ke presiden.

“Inilah yang harus diklarifikasi secara terbuka di DPR. Agar tidak ada kesan cuci tangan, lalu menyalahkan pihak lain. Itu bukanlah sikap ksatria,” ujarnya, Rabu (19/2/2014).

Dia menegaskan setelah DPR memanggil secara patut dan Boediono tetap saja tidak hadir, DPR tidak punya pilihan lain kecuali menghadirkan secara paksa sebagaimana diatur dalam mekanisme UU MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD).

DPR pernah memanggil Boediono untuk hadir memenuhi panggilan Timwas Century pada 18 Desember 2013. Tetapi, Boediono tetap tidak hadir dengan alasan yang sama, yakni  menghormati proses hukum dan menganggap proses politik di DPR sudah selesai.

Sebelumnya Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan pemanggilan Wapres Boediono terkesan dipaksakan karena menganggap proses politik kasus Century sudah selesai. “Itu jelas arogansi politik. DPR mudah sekali mempolitisir suatu hal. Demokrasi bisa rusak karena unsur politiknya sudah sangat dominan dan tidak menghargai hukum atau aturan yang disepakati bersama,” kata Marzuki.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya