Semua makhluk memerlukan kasih sayang. Pun semua yang dialami merupakan pengejawantahan rasa kasih sayang. Sejak proses awal, kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, sampai wafat, kita terus dilingkup kasih sayang.
Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima
Dalam tradisi keberagamaan, manusia sebagai makhluk Tuhan dituntut mengejawantahkan sifat Tuhan dalam kehidupannya. Dari semua sifat Khalik (Yang Mencipta) dalam kitab suci, konsep kasih sayang dalam wujud “rahman dan rahim” menduduki porsi terbesar.
Tentu itu bukan sebuah kebetulan, namun memang sifat yang patut terus diejawantahkan oleh kita sebagai makhluk (yang diciptakan) dalam setiap kesempatan.
Beragam tanda-tanda kasih sayang Tuhan, baik secara kauniyah (alamiah) dan kauliyah (firman) terwujud. Kasih sayang antar orangtua dan anak, antar sesama saudara, antar teman, juga antar laki-laki dan perempuan. Semua adalah “rahmat” yang telah dilimpahkan Sang Kholik. Bagi kasih sayang antar laki-laki dan perempuan, Tuhan bahkan akan sangat melidungi mereka sampai saat terjadinya ‘kiamat’. Perlindungan ini terjadi dengan satu syarat “saling mengasih sayangi karena Allah SWT semata”.
Kasih sayang sebagai anugerah telah dijanjikan Tuhan. Ini disampaikan dengan untaian, “sungguh orang beriman dan berbuat kebajikan kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang kasih (Maryam : 98).” Dari untaian tersebut terlihat anugerah Tuhan ini hadir dengan dua syarat, yaitu keimanan dan berbuat kebajikan. Syarat pertama merupakan upaya batiniah. Syarat kedua merupakan syarat lahiriah. Ini berarti juga sesuai dengan fitrah manusia yang memiliki dua kemampuan tersebut, baik kemampuan batin maupun lahir.
Rasa kasih sayang merupakan fitrah manusia. Maka, secara naluriah kita memiliki dan akan mengalaminya. Persoalannya adalah mampukah manusia menyadari dan memanfaatkannya dengan baik-benar.
Saling mengasih sayangi termasuk dalam ‘muamalah.’ Dalam muamalah kita dianjurkan berprinsip pada “semua boleh dilakukan kecuali yang dilarang.” Maka, yang perlu direnungkan adalah apa yang dilarang saat kita saling mengasih sayangi? Atau apa yang harus dilakukan untuk menghindari larangan tersebut.
Tampaknya larangan yang utama bagi orang yang saling mengasih sayangi, adalah “berkhalwat”. Berkhalwat terjadi saat seorang laki-laki dan seorang wanita berdua di tempat yang sunyi, tanpa didampingi saudara laki-laki dewasa sang wanita.
Untuk menghindari larangan itu, jika manusia yang saling mengasih sayangi tersebut akan berkhalwat, maka harus bersama saudara laki-laki sang wanita. Atau dengan cara penghalalan hubungan antar keduanya. Cara penghalalan bagi yang saling mengasih sayangi adalah menikah.
Menikah merupakan fitrah manusia. Ia merupakan wujud penyatuan dari mereka yang saling mengasih sayangi (An Nisa : 21). Juga merupakan lembaga bagi pengembangan keturunan.
Oleh karena amat ‘utamanya’ pernikahan, Allah SWT menyebutnya “sebagai salah satu bentuk perjanjian kokoh.” Perjanjian tersebut bukan saja merupakan perjanjian antar kedua insan, akan tetapi juga perjanjian manusia dengan Tuhan. Perjanjian dalam nikah disepadankan dengan perjanjian antara para Nabi (Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa) dan Tuhan (Al Ahzab : 7). Posisi demikian, menempatkan menikah sebagai wahana “sakral” bagi kemanusiaan.
Persoalannya, dalam budaya kita, kesakralan tersebut telah menjadikan nikah menjadi sesuatu yang “besar.” Baik besar dalam proses maupun pembiayaan. Pada awalnya kebesaran tersebut sebagai wujud rasa syukur keluarga sekaligus ajang silaturahmi.
Akan tetapi, kini telah bergeser ke arah pencapaian status dan gengsi keluarga. Oleh karena itu, kiranya patut direnungkan kembali contoh yang disampaikan Rosulullah tentang kesederhanaan dalam proses dan biaya pernikahan.
Dalam proses, jika ada pasangan, wali yang akan menikahkan, dan saksi maka proses pernikahan pun secara agama tetap sah. Hanya sebagai warga Negara yang baik tetap dilakukan pencatatan secara administratif. Adapun dalam biaya Rosulullah berujar, “Selenggarakanlah walimah (hajat pernikahan) walau hanya dengan menyembelih seekor kambing.” Juga, dalam hal mahar (pemberian dari pihak laki-laki kepada mempelai wanita) dapat juga dilakukan walau hanya dengan cincin besi. Andai lebih dari itu, tentu tidak ada ada larangan, asal tidak berlebihan.
Kasih sayang yang tertumpahkan setelah pernikahan merupakan kasih sayang yang agung. Nafsu yang terekspresikan pun bukan sekadar nafsu biologis secara hewaniah, akan tetapi telah terselimuti harapan untuk memperoleh keturunan yang sempurna. Semua dilakukan dengan ketenangan sejati dan keikhlasan yang murni. Maka, kasih sayang yang mewujud adalah kasih sayang yang tak berpamrih, kecuali pamrih akan ridlo Ilahi. Insya Allah.
Oleh : Dedi Pramono
Dosen Universitas Ahmad Dahlan