SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kami mengenalnya sebagai orang yang mampu. Bahkan terhitung kaya bila dibanding orang-orang di kampungnya. Suaminya yang telah almarhum merupakan seorang pedagang sukses dan sekarang kios dan tokonya telah dibagikan kepada anak-anaknya. Rumahnya terhitung besar dan modern.

Namun semua justru membuat kami trenyuh, setelah melihat ibu sepuh itu tergeletak sakit di atas dipan di longkangan (ruang antara dua rumah di bawah tritisan). Ruang tempat ibu itu terbaring benar-benar tidak layak huni. Ruangan itu sebenarnya gudang yang sengaja disekat buat kamar sang ibu.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Kami mempertanyakan dengan hati-hati ‘pemandangan’ ini. Dengan tanpa merasa bersalah sedikit pun, sang anak menjelaskan alasan ibunya ditempatkan di tempat seperti itu. Konon, sang ibu sudah tidak bisa berjalan sehingga harus buang air di tempat. Menurutnya, sang ibu selalu mengerang, sehingga mengganggu yang lain. Yang membuat kita terperangah adalah keterangan bahwa rumah dan tanah itu adalah warisan dari bapak, sehingga sang ibu tidak memiliki hak apa pun atas rumah itu, karena semua sudah diwariskan.

Kenelangsaan kami makin lengkap, saat sang anak mengakhiri apologinya dengan kata-kata, “Untung kami mau masih merawatnya. Kalau tidak?” Kalau tidak, mungkin sang ibu masuk panti jompo? Kalau tidak, sang ibu akan menjadi gelandangan? Kalau tidak, mungkin sang ibu akan wafat seperti matinya binatang? Masya Allah, sebegitu hebatkah derita seorang ibu, ketika sang suami yang menikahi dan membawanya ke tanah leluhur telah meninggal dunia?

Kewajiban  kepada ibu–bapak
Sebenarnya agama memerintahkanagar kita berbuat baik kepada ibu-bapak dalam kondisi apapun. Dalam Al Quran (Surat Al- Israa:23), Allah menempatkan berbuat baik kepada kedua orang tua setelah larangan mempersekutukan Dia. Dalam kaitan ini, Rosulullah pernah menetapkan sebagai dosa besar jika kita tidak berbuat baik kepada ibu-bapak  dan disamakan  dosanya dengan mempersekutukan Allah SWT. Padahal, mempersekutukan Allah termasuk dosa tidak terampuni.

Ayat itu menjelaskan manakala keduanya telah tidak berdaya (uzur) kita tidak boleh mengeluh, apalagi membentak, dan tetap harus berkata sopan. Dalam hal ini dapat diambil analogi, jika dalam berbicara saja harus dengan sopan, tentu memperlakukan mereka ketika tidak berdaya harus lebih baik lagi . Dengan kata lain, kita wajib mengurus mereka dengan segenap kemampuan secara intensif.

Dalam tradisi masyarakat kita, peran ibu kerap terpinggirkan. Apalagi pada beberapa tradisi yang menuntut seorang wanita harus ikut ke tempat suami, peran ibu semakin tidak terlihat. Bahkan ada yang berpikiran, ibu adalah orang yang selama bertahun-tahun hanya ikut hidup (nunut urip) dari hasil banting tulang  sang bapak.

Tampaknya tradisi ini telah menjadi keprihatinan Rasullullah sejak zaman dahulu.  Pada zaman jahiliyah, wanita benar-benar diperlakukan seperti pelengkap penderita dalam rumah tangga. Dalam berfikir dan bertindak serba dibatasi, tidak diperbolehkan menuntut ilmu pengetahuan, dan akan disingkirkan sementara dari rumah manakala sedang datang bulan. Bahkan, banyak pula orang tua yang mengubur hidup-hidup bayi yang lahir dengan jenis kelamin perempuan, seperti yang pernah diakui Umar bin Khatab.

Maka, pada saat para sahabatnya bertanya tentang orang yang harus dibantu dan dihormati, Rasulullah bersabda tegas, “ Ibumu !”. Siapa lagi ? “Ibumu !. Siapa lagi ? “.Ibumu !”. Siapa lagi ? “Bapakmu !”. Kedudukan riwayat hadits tersebut amat  kuat  karena dirawikan oleh para perawi masyhur seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad. Perbandingan antara memuliakan ibu dan bapak, tiga banding satu bukanlah improvisasi jawaban. Sebagai Rasul yang setiap tindakannya dituntun Allah, jawaban tersebut tentu memiliki makna. Salah satu maknanya adalah, dalam memberikan penghormatan kepada kedua orang tua, ibu harus lebih didahulukan dan diutamakan.

Karena begitu penting dan utamanya berbuat baik kepada ibu-bapak sampai-sampai Allah SWT memerinci ajarannya lebih detail. Misalnya tentang sebab-sebab kita patut berbuat baik kepada orangtua terutama ibu digambarkan karena, “Ibu telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, lalu memberinya air susu sampai dua tahun (Luqman : 14). Juga tuntunan, manakala orang tua memaksa kita berbuat musyrik (mempersekutukan-Nya), maka kita boleh tidak taat, namun tetap harus bergaul dengan baik dalam urusan keseharian (Luqman : 15).

Doa untuk orang tua pun diajarkan langsung oleh Allah SWT, “Ya Allah,  sayangilah kedua orang tuaku, sebagaimana mereka menyayangi aku di waktu kecil.” (Al Israa : 24). Doa tersebut, di samping sebagai sebuah pengharapan, sekaligus  sebagai upaya memunculkan ingatan manusia tentang jasa orang tua yang  amat luar biasa besarnya. Jasa yang tidak pernah meminta pengembalian.

Sebenarnya para pendahulu kita telah banyak membuat petuah untuk memperlakukan orang tua dengan baik. Dalam tradisi masyarakat Jawa misalnya terdapat ungkapan  “mikul dhuwur, mendem jero” (arti bebasnya menjunjung tinggi nama baik dan menutup rapat keburukan orang tua). Pada masyarakat Sunda juga terdapat syair dalam bentuk tembang yang menyebutkan, “Beruntunglah orang yang bisa memuliakan ibu dan menyenangkan bapak. Itu pertanda akan memperoleh kebahagiaan yang besar. Hidup selalu lancar dan selalu terlimpahi berkat Tuhan.”

Pernahkah kita mendengar cerita bahwa ibu mengeluh saat harus bangun di malam hari karena tangisan kita? Lalu, apa yang menghalangi kita untuk berbuat hal yang sama atau lebih baik kepada beliau? Tentu tidak ada seorang pun dari kita yang ingin bernasib seperti Malin Kundang. Insya Allah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya