SOLOPOS.COM - Meja kursi tamu (Foto: Dokumentasi)

Meja kursi tamu (Foto: Dokumentasi)

SOLO–Awalnya Barata Sena bekerja sebagai perancang bangunan. Dia juga melayani penyediaan mebel seperti meja, kursi dan sebagainya. Mebel-mebel itu diorderkan kepada orang lain. Baru pada 2002, ia mulai menggarap sendiri mebel. Dia menggandeng tukang kayu untuk menggarap order.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Lalu ide kreatifnya muncul seiring dengan perkembangan usahanya. Ia mencoba-coba membikin karya seni kayu pada 2007. Ia menyebutnya artwork. Hampir semua karya seni yang dibikin Barata beraliran naturalis dan terinspirasi dari kain, pakaian dan lingkungan sekitar. Seperti pakaian perempuan jenis lingerie, bra atau BH dan pakaian lainnya yang terbuat dari kayu. Ada juga artwork dalam bentuk selendang kemlalung atau menjuntai, sepatu, jam duduk, hiasan dinding dan artwork lainnya.

“Hasil karya di sini saya bagi dua, yakni seni murni (artwork) dan seni pakai. Seni pakai berupa produk-produk furnitur, kusen pintu dan jendela. Semua barang itu merupakan hasil seni yang bisa dipakai secara langsung. Sedangkan seni murni tak memiliki fungsi pakai dan waktunya unlimited,” ujar Barata saat dijumpai Espos di galerinya di Gang Delima No 14, Kampung Jajar RT 007/RW 003, Kelurahan Jajar, Laweyan, Solo, Kamis (20/9).

Karya seni Barata tidak hanya berasal dari satu jenis kayu seperti jati, melainkan dari berbagai jenis kayu. Pria yang pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia (ISI) Solo 1988 ini mampu mengetahui karakter kayu. Pemanfaatan jenis kayu disesuaikan dengan karakter kayu itu sendiri. Hal itulah yang membuat karya seni Barata dikagumi konsumen dalam dan luar negeri. Di samping itu, Barata juga mampu membikin tekstur kayu seperti kayu tua yang terkena erosi alam puluhan tahun. Sayang, Barata enggan bercerita soal tekniknya.

“Yang jelas saya melakukan penelitian tentang kayu itu selama enam tahun. Dari sebanyak 4.672 jenis kayu yang ada di dunia, sebanyak 2.000 jenis kayu di antaranya sudah saya teliti. Masing-masing kayu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki kayu lain. Dengan memahami karakter kayu, saya bisa memanfaatkan dalam karya yang tepat,” tandas suami Yayuk Pujiastuti itu.

Harga karya Barata Sena bervariasi. Paling murah Rp150.000/unit dan paling mahal Rp150 juta. Produk ini menembus sejumlah negara di Asia Tenggara dan Eropa. Setidaknya ada tiga negara tujuan ekspor hasil karya Barata yakni Singapura, Inggris dan Kanada. Kendati penjualan produknya berskala ekspor, Barata tidak pernah memanfaatkan jaringan internet untuk promosi produk, apalagi pasang iklan di media massa. Manajemen marketing yang digunakan Barata cukup unik, yaitu menggunakan konsep marketing alam semesta. Ia menyebutnya konsep jalan kayu. Ketika banyak orang berlomba-lomba mematenkan hak ciptanya, Barata justru memberi kesempatan kepada siapa pun untuk meniru hasil karyanya.

Ungkapan Jawa wong nandur bakal ngunduh menjadi konsep manajemen Barata. Oleh karenanya, ia tidak memiliki staf dalam mengelola bisnisnya. Sistem pemasaran yang ia terapkan pun menggunakan metode gethok tular yang terkesan masih kolot di era serba digital ini. Bagi ia, metode pemasaran itu merupakan promosi natural dalam alam semesta.

“Alam ini sudah memiliki jejaring yang luar biasa canggih. Apa yang kita pikirkan, kita perbuat dan yang kita ucapkan pada hakikatnya akan kembali kepada diri kita, entah baik atau buruk. Ketika karakter pribadi Barata Sena dikenal baik, pasti orang akan menceritakannya kepada orang lain tentang kebaikannya tanpa ada suruhan dan sebaliknya. Itu yang saya maksud promosi natural,” jelasnya.

Barata memiliki lima alasan mengapa tak mematenkan hasil karyanya. Dia terinspirasi orang-orang suci atau guru spiritual dunia dan para penemu. Dia meyakini sebuah karya seni merupakan hasil dari kolaborasi, tak ada karya yang orisinal.

“Orang-orang suci dengan ikhlas menerima cacian, makian, hujatan dan seterusnya hanya untuk mengajak masuk surga. Karya saya enggak tak ada apa-apanya dibandingkan surga.”

Kemudian para penemu seperti Thomas Alfa Edison rela dibilang orang gila. Namun karya mereka ternyata bisa dinikmati seluruh dunia. “Karya saya enggak sebanding dengan karya mereka,” jelasnya.

Dalam menghasilkan karya seni, ia mengaku hanya berkontribusi 1% sedangkan 99% merupakan keterlibatan pihak lain, mulai dari kayu yang menciptakan Tuhan, tukang tebang kayu, pengangkut kayu, sampai tukang ukir dan seterusnya. Rangkaian aktivitas di balik karya seni ini disampaikan Barata untuk menunjukkan tak ada hasil karya seni tunggal. Yang ada adalah hasil kolaborasi manusia.

Ia juga meyakini tak ada karya orisinal. Orang membuat sesuatu bukan dari ide sendiri tetapi terinspirasi oleh sesuatu yang sering dilihat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya