SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Salah satu email yang saya terima mengatakan demikian. “Kalau pria pintar bertemu dengan wanita pintar hasilnya adalah cinta romantika. Kalau pria pintar bertemu dengan wanita bodoh, hasilnya adalah perselingkuhan.

Kalau pria bodoh bertemu dengan wanita pintar hasilnya adalah pernikahan. Kalau pria bodoh bertemu wanita bodoh hasilnya apa? Hasilnya adalah kehamilan…” Tentu saja ini adalah sebuah joke, dan saya tertawa sendiri membaca ini.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Tetapi kalau dicermati lebih jauh, ada sesuatu yang menarik di sana, yaitu bahwa perempuan pintar selalu menghasilkan sesuatu yang baik; tadi dikatakan cinta romantika dan pernikahan. Sementara pria pintar belum tentu demikian.

Salah satu yang dihasilkan oleh pria pintar, menurut joke tadi, adalah perselingkuhan. Sayang bahwa kaum hawa yang ketika pintar bisa membuahkan kebaikan itu, dari zaman ke zaman justru dimarjinalisasikan supaya tetap bodoh.

Tengok saja apa yang terjadi di zaman Kartini. Pada saat itu, hanya perempuan bangsawan saja yang boleh sekolah, itu pun terbatas sampai usia 12 tahun. Selebihnya harus dipingit, dikurung di dalam rumah, dan sampai mati akan menjadi kanca wingking dari sang suami. Peran perempuan pun sangat terbatas.

Konon mereka hanya boleh berkiprah dalam tiga ranah kehidupan, yaitu di dapur, di sumur, dan di kasur. Secara sarkastik, peran mereka adalah masak, macak dan, beranak. Tentu kala itu belum ada yang namanya arisan, PKK, dan Dharma Wanita.

Dalam konteks itulah darah juang Kartini bergetar. Ia terpanggil untuk mencerdaskan dan mengangkat derajad kaumnya setara dengan pria. Kalau setiap tahun kita merayakan hari Kartini maka esensi inilah yang mestinya menjadi fokus refleksi dan permenungan kita, dan bukan sekadar secara lahiriah beramai-ramai mengenakan baju kebaya di sekolah atau kain batik di kantor.

Kini zaman sudah berubah. perempuan Indonesia tidak lagi terkurung di dapur, sumur dan kasur. Namun demikian perjuangan Kartini masih sangat relevan. Mengapa? Karena akar-akar budaya dan pola pikir yang mendiskriminasikan dan memarginalisasikan perempuan belum tercabut sepenuhnya.

Saat ini masih kita jumpai orang yang merasa celaka karena terlahir sebagai wanita. Masih ada juga orang tua yang merasa belum punya anak kalau belum punya anak pria. Dalam suku tertentu seorang wanita tidak berhak mendapatkan warisan orang tua bahkan tidak juga mendapat warisan dari almarhum suaminya.

Dalam banyak hal, pandangan bahwa wanita adalah golongan manusia kelas dua masih mewarnai pola pikir dan budaya kita. Sampai saat ini, tidak jarang bahwa dalam ruang privatnya, perempuan masih diidentikan dalam tiga peran kanca wingking tadi.

Dalam ruang publik pun citra perempuan sering tidak jauh dari peran-peran itu, mereka sering direpresentasikan dalam body and beauty. Kalau kita lihat iklan di TV kebanyakan diperankan oleh perempuan! Seorang pengamat mengatakan bahwa 90% iklan TV menampilkan sosok wanita, khususnya tubuh dan kecantikannya.

Sekali lagi body and beauty. Masih ingat, wacana yang pernah  memanas ketika Ibu Megawatihendak maju sebagai calon presiden. Kalau itu, beliau sebagai salah satu kandidat dipersoalkan, bukan pertama-tama karena intelektualitas atau kapabilitasnya tetapi karena ia seorang wanita.

Ini terjadi bukan di abad silam, bukan juga di zaman RA Kartini, tetapi era ini. Itulah aroma diskriminasi yang sadar atau tidak masih terjadi di negeri ini. Adalah suatu yang diskriminatif dan bukan emansipatif; ketika ‘kewanitaan’ diidentikkan dengan kelemahan, dan bukan dengan kelemah-lembutan; diasosiasikan dengan ketergantungan, dan bukan dengan kedirian.

Adalah diskriminatif, ketika dalam dunia modern ini logika dan rasio diagungkan sementara sentimentalitas, emosi, serta naluri kian dianggap terbelakang dan primitif. Adalah diskriminatif, ketika segala sesuatu yang hebat selalu disebut ‘jago’ dan bukan ‘babon’ sedangkan segala yang ‘tuna susila’ itu selalu wanita.

Bukankah kita punya istilah WTS, Wanita Tuna Susila, tetapi tak pernah ada istilah PTS, Pria Tuna Susila. Padahal WTS tidak mungkin ada tanpa PTS. Adalah diskriminatif, ketika banyak kenikmatan direguk dari wanita yang kian menjadi korban eksploitasi dan seksploitasi. Sikap-sikap macam ini jelaslah merongrong nilai kemanusiaan.

Oleh karena itu memperjuangkan persamaan, berarti memberi kesempatan yang seluasluasnya bagi kaum perempuan untuk menghadirkan diri dan memperkembangkan potensinya, sekaligus suatu usaha untuk menemukan hakikat dirinya yang khas, untuk secara positif disumbangkan bagi kesejahteraan manusia seluruhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya