SOLOPOS.COM - Gamaliel Septian Airlanda, Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Menjadi sebuah kebetulan bahwa Hari Kartini berdekatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Kedua situasi yang layak dijadikan bahan refleksi mendalam. Banyak penulis, peneliti dan praktisi termasuk saya telah mengungkapkan kiprah Kartini yang dipersempit hanya tentang emansipasi perempuan saja.

Kartini telah berjuang keras dalam isu-isu pendidikan dan adat bangsa Djawa di masanya. Perjuangannya telah melahirkan sekolah guru perempuan pertama di Hindia Belanda (Het Meisje Kweekschool te Salatiga) yang bertempat di Salatiga. Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” telah banyak dialihbahasakan dengan kepentingan tertentu sehingga bukan buah pikiran yang asli yang dipublikasikan. Buah pikiran Kartini seolah diperkosa oleh Hindia Belanda dan bangsa pribumi dengan mengobrak-abrik tatanan alur cerita dalam surat-suratnya.

Perjalanan zaman menunjukkan bahwa tulisan pada media resmi adalah jejak ilmiah seseorang yang diakui kualitasnya. Tulisan dan produk pendidikan yang dicetuskan Kartini serasa dibungkam dengan hadirnya sosok tunggal Bapak Pendidikan Indonesia. Kondisi ini serupa dengan belenggu yang diperangi Kartini sejak masa hidupnya. Bangsa Djawa dan kini menjadi Indonesia sangat menyukai aturan tunggal tak terbantahkan demi sebuah kelangsungan kepentingan. Terkadang tokoh yang diangkat dipoles sedemikian rupa demi kepentingan tersebut. Polesan ini berujung pada sudut pandang, kebijakan, peraturan, pemahaman publik dan persepsi masyarakat.

Sebagai contoh nyata bahwa tujuan pendidikan Indonesia tidaklah berubah sejak tahun 2003 dan tidaklah ada alternatif tujuan nasional pendidikan negara sebesar ini. Di sisi lain, negara ini belumlah memunculkan tokoh pendidikan baru selain Ki Hadjar Dewantara yang terus menerus dicocok-cocokkan dengan pergerakan zaman. Kondisi inilah yang juga diperangi Kartini melalui berbagai macam surat-suratnya yang justru banyak disimpan dan dimiliki oleh pemerintah Belanda hingga kini. Kartini mengecam tentang adat Djawa yang tidak jua berubah walau paparan bangsa Eropa telah silih berganti sejak Portugis, Inggris hingga Hindia Belanda.

Pertanyaan besar bagi Indonesia yang kini telah berlenggang ke kancah dunia dengan berbagai predikat pencapaiannya. Apakah pendidikan kita telah berjalan dinamis? Masihkah ada adat kolot yang justru membentengi pergerakan kemajuan?

Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang dikeluarkan oleh Uitgave van de Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) tahun 1922 menunjukkan sisi lain Kartini dari buku yang kemudian beredar luas dengan terjemahan Armijn Pane. Sejak 18 Agustus hingga 6 November 1899, Kartini dan Stella membahas dengan intens tentang “kekakoean adat djawa” yang membuat pribumi dikerdilkan oleh bangsa kulit putih zaman itu.

Kartini mencontohkan bahwa ketika adiknya ingin bertemu dengan dia, maka sang adik harus merangkak hingga wajah Kartini tidak terlihat kemudian berbicara dengan lambat dan menggunakan tata bahasa Djawa yang tinggi. Contoh lain adalah satu orang dengan orang lain dilarang melakukan inisiatif sampai pembesar baik itu raja ataupun bangsawan memerintahkan untuk melakukan sesuatu. Kondisi inilah yang berdampak pada proses pendidikan Kartini yang harus berhenti ketika dirinya memasuki usia pingit dan menurut tetua siap untuk menikah.

Bagaimana dengan bangsa Jawa saat ini yang kemudian bertansformasi menjadi Indonesia? Perlu diakui bahwa pikiran bangsa Jawa kemudian menyebar keseluruh pelosok Nusantara hingga terbentuklah Indonesia, sebuah perjalanan politik yang semula menjadi pertentangan tentang Indonesia-Jawa. Namun, kondisi yang jadi titik fokus dalam tulisan ini adalah tentang kekakuan adat pendidikan yang serupa dengan tahun 1899. Negara sebesar dan semajemuk ini masih memiliki satu sudut pandang saja dalam penentuan kurikulum.

Penyediaan kurikulum tunggal yang justru membingungkan keterlaksanaannya karena begitu mudahnya berubah. Perintah perubahan kurikulum didasarkan pada kebijakan pembesar tanpa melihat kondisi di lapangan. Situasi yang serupa dengan keberadaan raja dan bangsawan Djawa di 1899. Para oknum cerdik cendekia di negeri ini sibuk mencari peluang menjadi bangsawan untuk kesejahteraan pribadi dan golongan. Pencarian di google dengan kata kunci “korupsi kementerian pendidikan” dihiasi dengan kasus petinggi pendidikan tinggi di tahun 2022-2023. Kontradiktif dengan itu, perubahan sistem penyelenggaraan administrasi bagi dosen justru mendapat petisi dari hampir lima ribuan orang.

Situasi lain juga terjadi pada beberapa kasus viral seperti: sekolah jam lima pagi yang langsung diatur dengan tangan besi oleh seorang oknum pejabat daerah. Kasus tentang penggunaan seragam yang wajib menggunakan kerudung bagi perempuan yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah. Cerita ini merupakan contoh yang menunjukkan bahwa belenggu kekakuan yang muncul dari sudut pandang tunggal khususnya takut pada pembesar serta pejabat masihlah langgeng dari dulu hingga sekarang.

Kartini mengibaratkan perjuangannya adalah melawan tali kawat yang tidak terlihat (surat kepada Stella yang kedua di November 1899). Hal inilah yang membuat Kartini memikirkan sekolah bagi perempuan. Dirinya yakin melalui pendidikan perempuan yang baik dengan mengedepankan kecerdasan boedi dan prinsip kebebasan adalah kegirangan, maka dapat terjadi perubahan mendasar dari peradaban bangsa Djawa. Relevan dengan hal itu, dapo.kemdikbud.go.id menunjukkan bahwa terdapat 2.367.999 guru perempuan dibandingkan dengan jumlah total guru sebesar 3.332.828. Pada peringatan hari Kartini saat ini, kita kembali disadarkan peran perempuan tidaklah hanya tentang persamaan hak dalam pekerjaan. Lebih dalam dari itu adalah tentang perubahan sudut pandang yang juga berdampak kuat pada kaum laki-laki. Maka, pendidikan kita perlu menyentuh aspek perempuan sebagai pengubah pikiran bangsa. Jika dikembalikan pada argumen di awal tulisan, akankah negara sebesar ini hanya berdiri pada tokoh tunggal Ki Hadjar Dewantara yang dipolitisasi? Atau dengan kajian ilmiah dan prinsip kebebasan adalah kegiarangan, kita akan memunculkan tokoh Kartini ataupun tokoh pendidikan modern yang mendukung dinamisnya pola pikir pendidikan?

Kampus Indonesia Mini, Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga mulai bergerak untuk memikirkan alternatif pendidikan gaya Kartini. Gamaliel Septian Airlanda menjadi salah satu peneliti yang telah memunculkan Kartini sebagai embrio argumentasi ilmiah pendidikan melalui: buku Dear Kartini yang telah terbit di April 2020, pemaparan di International Conference School as Learning Community-University of Tokyo 3 Maret 2023, pengiriman abstrak 1st Kartini Conference on Indonesia Feminisms, pengajuan proposal hibah kementerian skema penelitian fundamental. Harapan besar untuk proses perjalanan Kartini sebagai alternatif tokoh pendidikan Indonesia demi kemajuan kualitas pendidikan serta menjadi jawaban tentang keseimbangan dinamika persoalan pendidikan.

Artikel ini ditulis oleh Gamaliel Septian Airlanda, Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Rekomendasi
Berita Lainnya