SOLOPOS.COM - ilustrasi

Solopos.com, SOLO--Sambil menanti putrinya yang sedang asyik makan siang, Titin, 43, nampak beberapa kali memeriksa ponselnya. Sebuah kebiasaan baru setelah menjadi seorang ibu rumah tangga penuh waktu. Mengecek jadwal harian supaya tidak ada yang terlewat.

Selanjutnya, dia mengingatkan sang anak supaya tidak grogi saat pentas pada Sabtu (19/10) siang itu. Make-up sempurna sang anak yang akan menari di pentas seni menciptakan mimik puas di wajahnya. Wajah yang sama tatkala tugas kantor berhasil ia selesaikan tepat waktu beberapa tahun lalu.

Promosi Tanggap Bencana Banjir, BRI Peduli Beri Bantuan bagi Warga Terdampak di Demak

Kini bagi Titin, deadline, tumpukan tugas, jadwal meeting hingga politik kantor hanyalah sebuah kenangan. Setelah resign alias mengundurkan diri dari tempat kerjanya, Titin langsung sibuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Dan bagi dirinya, profesi tersebut bukanlah sesuatu yang mudah mengingat alasannya mengundurkan diri bukan lantaran tak mampu bekerja melainkan karena urusan keluarga.

“Beda lo ya. Kalau saya resign dari kantor karena tak mampu kerja, bisa jadi saya langsung siap ketika menjadi ibu rumah tangga. Tapi ini kan karena urusan keluarga. Gara-garanya, suami terus pindah tugas dari satu kota ke kota yang lain sementara anak tidak ada yang mengurus. Orang tua juga jauh. Akhirnya ya lebih baik saya yang mengalah,” ujarnya.

Bergelut di dunia akunting hingga 10 tahun lamanya bagi Titin belum cukup kuat menjadikannya konsisten sebagai seorang wanita karir. Saat keluarga terutama anak-anak membutuhkan kehadirannya, Titin akhirnya memutuskan hengkang dari tempat kerjanya.

Keputusannya resign menurut Titin tidak begitu saja tercetus. Banyak keraguan, kecemasan serta ketakutan yang menghantuinya. Sempat, menurut ibu tiga orang anak ini, agar bisa terus berkarir dirinya menyewa jasa asisten rumah tangga. Sayangnya bukan menyelesaikan masalah, kehadiran seorang asisten rumah tangga itu justru makin membuat kacau hari-harinya.

“Dari mulai anak saya yang “tidak terurus” karena pembantu sibuk sendiri sampai dianya juga sering tidak masuk, sudah cukup membuat saya makin pusing waktu itu. Bingung lo, tanpa pemberitahuan apa-apa, pembantu tiba-tiba tidak masuk. Akhirnya saya pun tidak bisa masuk kantor karena harus jaga anak. Itu belum lagi alasan rewang (membantu orang yang akan menggelar pesta perkawinan). Hla kalau semua tetangga dia bantu terus saya ini yang justru mempekerjakan dia, malah tak dibantu, bagaimana dong. Haduh, bingung deh kalau ingat itu,” tuturnya.

Dipicu ketidakpuasan kinerja sang asisten rumah tangga plus kritikan halus teman-teman kantor, Titin pun akhirnya memutuskan berhenti. Walau teman-temannya kemudian menyayangkan keputusannya serta menyarankan Titin “beristirahat” sebentar alis cuti di luar tanggungan selama beberapa pekan, Titin tetap setia pada keputusannya semula. “Mungkin resign memang keputusan yang paling tepat.”

Alasan berbeda disampaikan mantan pimpinan cabang sebuah perusahaan swasta, sebut saja Ola (bukan nama sebenarnya). Termasuk karyawan berprestasi dan memiliki catatan gemilang di karir, Ola justru mengajukan resign.

Di usianya yang masih muda, belum lagi kepala tiga, Ola mantap mengakhiri karirnya. “Karena saya sudah tidak nyaman di kantor, ya akhirnya saya putuskan berhenti. Banyak sebenarnya alasan yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk resign. Tapi yang paling utama sih karena kantor akan memutasi saya ke tempat yang jauh. Kalau skalanya sebatas Soloraya sih tak masalah tapi kali ini tidak begitu. Hla saya kan sudah punya suami, bagaimana dong nanti? Orang tua juga jadi jauh. Repot lah kalau dipaksakan,” tegasnya.

Sempat menolak dan menyampaikan keinginannya untuk berhenti, Ola menambahkan, manajemen perusahaan ternyata merasa keberatan. Ola pun diberi alternatif pindah di kota yang merupakan tempat asal suaminya.

“Saat itu saya sempat setuju. Bahkan senang karena di tempat itu ada orang tua suami. Tapi kagetnya ketika saya tanya pimpinan lama di kota itu akan dipindah ke mana, bos justru menjawab teman saya itu akan diturunkan golongannya. Dengan santainya bos bilang, teman saya itu tidak punya prestasi sehingga wajar saja kalau golongannya diturunkan. Mendengar itu, saya kemudian langsung menolak tawaran bos,” ujarnya.

Membayangkan buruknya perlakuan perusahaan kepada karyawan, Ola mengaku semakin mantap untuk berhenti kerja. “Saya makin mantap berhenti. Terlebih suami mendukung. Sekarang ini saya sedang mempertimbangkan untuk membuka usaha dengan teman. Semoga berhasil ya,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya