SOLOPOS.COM - Spanduk promosi ditempelkan di Gedung Akademi Pertanian Yogyakarta di Sariharjo, Ngaglik, Sleman, Rabu (6/9/2017). (I Ketut Sawitra Mustika/JIBI/Harian Jogja)

Kampus Jogja, meski kecil tetapi mampu menopang mahasiswa dari keluarga tak mampu.

Harianjogja.com, SLEMAN — Sebuah kampus kecil di Desa Sariharjo, Ngaglik, Sleman, menampung orang-orang tak berpunya yang ingin mengenyam pendidikan tinggi. Meski kembang kempis, pendidikan di perguruan tinggi ini sudah berjalan puluhan tahun.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pada 2003, Akademi Pertanian Yogykarta (APTA) sampai pada titik terendah semenjak berdiri sejak 1984. Hanya ada delapan lulusan sekolah menengah atas yang mendaftar. Hanya dua yang tetap kuliah sampai lulus.

Sebelum Akademi Pertanian karam, Partiman Achmat, bos Yayasan Widya Taruna Bhakti yang menaungi kampus itu bergerak cepat.

Ia mengambil keputusan berani dan radikal untuk tahun ajaran baru berikutnya, mahasiswa baru tidak dikenakan biaya sesen pun. Yang penting tetap ada mahasiswa agar roda perkuliahan terus berputar. Syukur-syukur jumlahnya bisa naik.

Perubahan itu rupanya tak membuat tahun berikutnya lebih baik, tapi juga tidak lebih buruk. APTA hanya kebagian delapan mahasiswa. Baru pada tahun ajaran 2005/2006 ada kenaikan sedikit menjadi 12 mahasiswa. Dan tahun berikutnya, hasilnya mulai terpetik. Sekitar 30 orang terdaftar sebagai mahasiswa baru.

Selepas 2006, mahasiswa baru di APTA Jogja tak pernah lagi di bawah dua digit. Selalu puluhan, kadang 30-an, kadang 40-an, kadang 50-an, kadang juga 20-an. Padahal saat itu SPP sudah tidak gratis lagi, tapi tetap murah.

Halaman Kedua : Kampus Minimalis

Kampus Minimalis

Akademi Pertanian Yogyakarta adalah kampus serba minimalis yang beralamat di Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 7, Tegalwaras, Sariharjo, Sleman. Mahasiswanya sedikit, hanya 90-an orang. Bahkan beberapa sekolah dasar di perdesaan punya lebih banyak murid. Prodinya cuma satu, Budidaya Tanaman Pangan dengan Jurusan D3 Produksi Pertanian. Ruangan kuliah cuma empat bilik.

Akademi Pertanian Yogyakarta berdiri di lahan seluas 1.200 meter persegi. Bangunannya dirancang berbentuk kotak dengan menyisakan bagian tengah sebagai lapangan, yang juga berfungsi sebagai tempat parkir. Semua gedungnya bertingkat, kecuali satu di sebelah barat. Sebagai gantinya, gedung tak bertingkat itu punya basement.

Di lantai dasar itu, berdiri kantin yang tak kalah sederhana. Barang dagangannya hanya nasi kucing dan berbagai minuman saset yang bisa mendatangkan diabetes mellitus apabila ditenggak kebanyakan. Saat Harianjogja.com menyambangi kantinnya, yang makan nasi kucing malah penjualnya sendiri. Dua mahasiswa cuma duduk-duduk sembari minum es coklat dan kopi.

Tak ada kondisi seperti kantin-kantin kampus lain yang riuh dengan tawa berlebihan dan penuh kepulan asap rokok.

Akademi itu didirikan Yayasan Widya Taruna Bhakti yang sudah ada sejak 1976. Yayasan Widya Taruna Bhakti dibentuk oleh pemuda desa Sariharjo, Ngaglik, Sleman yang beranggotakan para lulusan perguruan tinggi dari berbagai disiplin ilmu. Saat itu belum ada kegiatan yang berarti, sampai pada suatu ketika, Partiman Achmat mengusulkan ide membuat akademi pertanian.

Ia merasa perlu adanya tempat belajar bagi para pemuda sekitar karena Sariharjo zaman itu meliliki potensi pertanian yang bagus.

“Dulu potensi padi dan melatinya di sini sangat tinggi,” kata Direktur Akademi Pertanian Yogyakarta, Supriyati, ketika ditemui di ruangan direktur, Rabu (6/9/2017).

Ide Partiman Achmat diterima baik oleh anggota yayasan yang lain dan akhirnya Akademi Pertanian Yogyakarta lahir pada 4 Februari 1984. Kuliah perdana digelar di Balai Desa Sariharjo. Tetapi itu tak berlangsung sama. Kepala Desa Sariharjo waktu itu, Noto Soegiwo, merasa terenyuh. Ia berikan tanahnya secara cuma-cuma, tanpa biaya sewa sedikit pun hingga saat ini.

Sampai sekarang, Akademi Pertanian Yogyakarta masih serba kekurangan dan tertatih-tatih. Dan kampus ini tetap bertahan, bahkan sampai Partiman Achmat dan Noto Soegiwo sudah menuju alam baka. Kampus ini juga menerapkan biaya yang sangat rendah. Namun sayang, Supriyati meminta nominalnya dibiarkan tetap menjadi rahasia.

Sebanyak 20-an orang dari total mahasiswa Akademi Pertanian Yogyakarta sekarang, adalah penerima beasiswa, baik dari pemerintah maupun pribadi. Lantas pertanyaan yang muncul ke permukaan adalah: Bagaimana ia bisa bertahan selama bertahun-tahun? Bukankah swasta biasanya mengandalkan uang mahasiswa untuk menjalankan mesinnya?

Supriyati punya beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut. Menurut dia, salah satu alasan Akademi Pertanian Yogyakarta bisa tetap bertahan meski memungut biaya kuliah minimal adalah ongkos operasionalnya, terutama untuk honor dosen, tidak terlalu banyak.

Halaman Ketiga : Efisiens

Efisien

Akademi ini punya 19 tenaga pengajar meliputi empat dosen yayasan, sembilan dosen tidak tetap, dan enam dosen pegawai negeri sipil dengan status diperbantukan. Kuncinya ada pada enam dosen yang digaji negara ini. Mereka adalah pengambil porsi paling banyak dalam urusan mengajar. Dari 119 sistem kredit semester (SKS), mereka mengampu 75%. Dosen yayasan dan tidak tetap paling mentok mengajar dua mata kuliah.

Dengan demikian, Yayasan Widya Taruna Bhakti hanya perlu membayar dosen yayasan dan dosen tidak tetap. Uang yang dibayarkan tidak terlalu banyak mengingat jumlah SKS yang diambil juga tak seberapa. Para dosen PNS sudah mulai mengajar sejak 1986, dua tahun setelah Akademi Partanian Yogyakarta. Salah satunya Supriyati.

“Banyak orang di sekitar sini yang juga bersimpati, mereka kerap memberikan sumbangan. Misalnya keramik. Satu gedung juga merupakan hasil bantuan sosial dari pemerintah,” jelas Supriyati.

Menurut dia, alasan paling mendasar kenapa APTA mampu bertahan adalah karena semangat pendiriannya. Akademi Pertanian Yogyakarta memang tidak didirikan untuk mencari untung, tapi menyediakan tempat bagi mereka yang berkekurangan agar bisa tetap kuliah.  Jadi semua pegawai harus siap dengan kondisi yang serba tidak melimpah.

“Karena itu kami merekrut orang yang memiliki loyalitas dan semangat kesukarelawanan tinggi,” ucap dia.
Supriyati yang hari itu berpantalon hitam, kemeja merah marun dengan motif-motif kecil warna putih serta jilbab krem mengatakan Akademi Pertanian Yogyakarta adalah antitesis dari komersialisasi pendidikan yang sudah kelewat batas.

“Orang-orang miskin tak akan mampu kuliah dengan biaya rata-rata Rp6 juta per semester. Sistem pendidikan berasaskan kapitalisme telah melahirkan kemiskinan turun temurun. Orang miskin akan tetap miskin karena tak bisa sekolah. Akademi Pertanian Yogyakarta ingin supaya yang miskin tetap bisa kuliah,” kata dia.

Tentu kuliah yang tidak sekadar pulang pergi kampus, tapi yang benar-benar berfaedah.

“Kami berusaha menjaga kualitas dengan cara mendorong para dosen untuk terus melahirkan penelitian, memperbanyak praktik bagi mahasiswa, dan bekerja sama dengan perusahaan pertanian,” ujar Supriyati.

Ikhtiar itu bertujuan agar lulusan Akademi Pertanian Yogyakarta bisa menjadi pionir dalam bidang pertanian, orang-orang inovatif yang mampu mengatasi permasalahan petani gurem yang punya lahan terbatas.

“Ada alumni yang mengembangkan melon di lahan 1.000 meter persegi. Hasilnya lumayan dibandingkan dengan menanam padi. Padi harganya tidak akan pernah tinggi. Itu yang kami harapkan bisa menjadi contoh bagi masyarakat lain, ” kata dia.

Halaman Keempat : Rumah Kaum Marginal

Rumah Kaum Marginal



Apa yang Supriyati sampaikan mengenai membuka kesempatan bagi mereka yang terpinggirkan bukan cuma pemanis bibir. Akademi Pertanian Yogyakarta, di mata mahasiswanya, benar-benar rumah bagi kaum marginal.

Anto Hermanto, merupakan mahasiswa asal Pandeglang, Banten. Perjalanan Anto hingga kuliah di Akademi Pertanian Yogyakarta penuh dengan liku-liku yang tak dia duha. Keluarganya miskin, orang tuanya kerja serabutan. Bapak dan ibunya bahkan tak mampu membiayi hidupnya dan terpaksa mengirik Anto ke sebuah panti asuhan di Banten. Namun, sayang kuotanya sudah penuh. Di saat bersamaan, kebetulan salah satu orang panti asuhan yang tak mampu lagi menampung anak punya kenalan dengan pengelola panti asuhan di Prambanan, Sleman.

Jadilah ia dikirim ke sana. Anto tinggal di Prambanan sejak kelas X atau kelas I SMA. Sekolahnya di SMA 1 Muhammadiyah Prambanan. Yang membiayi tentu panti asuhan. Di SMA 1 Muhammadiyah Prambanan ia bertemu dengan guru yang kebetulan tinggal di sekitar Akademi Pertanian Yogyakarta di Sariharjo, Ngaglik.

Anto ditawari kuliah secara gratis saat menjelang lulus. Syaratnya, Anto menjadi marbot di Masjid Al Baraakah di Jalan Damai, Mudal, yang berjarak sepelemparan batu dari Akademi Pertanian Yogyakarta. Tanpa banyak pertimbangan, ia Anto mengiyakan tawaran itu karena bisa kuliah gratis sekaligus dapat tempat tinggal. “Saya sangat bersyukur dan berharap bisa segera mengubah nasib supaya keadaan ekonomi keluarga tidak begitu-begitu terus. Apalagi adik saya saat ini masih kecil,” ucapnya.

Anto berkeinginan setelah lulus nanti menjadi penyuluh sekaligus petani yang mampu mengembangkan produk-produk pertanian yang meningkatkan taraf kehidupan. Ia bertekad menjadi teladan bagi anak-anak muda untuk mengkrabi tanah dan tanaman yang bisa tumbuh darinya.

Cerita lain datang dari Hendra Yuni Fitriantoko. Ia adalah tenaga penyuluh perkebunan berstatus honorer di Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY. Hendra mulai kuliah saat umurnya sudah menginjak 27 tahun. Setelah lulus SMK ia langsung bekerja. Namun karena merasa ilmunya tidak mencukupi untuk jadi penyuluh, ia merasa perlu belajar.

Hendra kemudian memilih Akademi Pertanian Yogyakarta karena alasan biaya. Gajinya sebagai tenaga honorer tak terlalu banyak untuk kuliah di kampus dengan reputasi mentereng. Sawah milik orang tua di desa juga sempit. Hendra sudah berkeluarga pula sehingga harus menanggung hidup anak istri. Otomatis pilihan jatuh ke Akademi Pertanian Yogyakarta yang murah.

Kini setelah ia lulus, segala macam pertanyaan petani yang dulu tidak bisa dijawab, mampu ia urai dan terangkan. Bahkan, ia sudah mulai merintis usaha sebagai petani. Ia sewa tanah di Gunungkidul dan menanaminya dengan tebu.  “Setahun bisa untung Rp15 juta sampai Rp20 juta,” ujar dia.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya