SOLOPOS.COM - Mahasiswa FT UNS, Irfananda dan Lia. (Septhia Ryanthie/JIBI/Solopos)

Dua mahasiswa UNS, Irfananda dan Lia, meraih prestasi dalam ajang lomba esai di Amerika Serikat.

Solopos.com, SOLO — Dua mahasiswa Fakultas Teknik (FT) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Muhammad Satya Irfananda dari Program Studi (Prodi) Arsitektur dan Lia Sparingga Purnamasari dari Prodi Perencanaan Wilayah Kota (PWK), patut berbangga.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Keduanya menjadi mahasiswa dari Indonesia yang kali pertama mencatatkan prestasi dalam ajang The Nineteenth Berkeley Undergraduate Prize for Architectural Design Excellence 2017 setelah 19 tahun kompetisi tersebut digelar University of California Berkeley, Amerika Serikat (AS).

Esai berjudul Repurpose to Survive: Lessons From Surakarta yang merupakan karya kedua mahasiswa itu berhasil masuk 6 Winning Essays, menyisihkan ribuan peserta lainnya dari seluruh dunia. Proses pengiriman karya dimulai dengan mengirim abstrak pada November 2016 lalu.

Abstrak yang ditulis Satya dan Lia ternyata masuk 25 abstrak terbaik. Mereka lalu diminta menulis esai sepanjang maksimal 2500 kata. Kemudian pada Maret, esai yang dikirim berhasil masuk 10 terbaik.

Pada pertengahan April, barulah diumumkan esai mereka masuk enam esai pemenang atau enam esai terbaik. “Kami sangat bangga dan tidak menyangka bisa menang karena saingannya berat dan berasal dari seluruh dunia,” ungkap Satya ketika ditemui wartawan di Kampus UNS Solo, Kamis (6/7/2017).

Dia menjelaskan tema Repurpose to Survive: Lessons From Surakarta mengangkat tiga komunitas di Solo dan sekitarnya yang berhasil menggunakan tempat seadanya untuk mengadakan berbagai kegiatan. Mereka mengambil tiga lokasi dalam esai tersebut, yakni Sangkrah, Kepatihan Kulon, dan komunitas Hindu di Candi Cetho, Karanganyar.

“Fokus utama kami adalah Candi Cetho karena di sana ada komunitas Hindu. Namun dua komunitas lain juga kami masukkan dalam esai,” jelas Satya.

Di Sangkrah, kedua mahasiswa itu menulis soal bangunan pos keamanan lingkungan (kamling) yang dimanfaatkan sebagai rumah baca. Tempat tersebut dimanfaatkan anak-anak di sekitarnya untuk membaca sehingga bisa meningkatkan budaya literasi.

Di Kepatihan Kulon, terdapat bangunan rumah joglo kuno yang dimanfaatkan untuk belajar budaya seperti latihan teater. Sementara Candi Cetho yang merupakan pusat kegiatan komunitas Hindu ternyata mampu menjadi daya tarik bagi wisatawan.

“Yang ingin kami sampaikan adalah bagaimana komunitas itu memanfaatkan bangunan yang ada untuk kegiatan yang bermanfaat,” ujar Lia menambahkan.

Lia menjabarkan pemilihan tiga lokasi tersebut berdasarkan pada isu-isu menarik seputar Kota Solo. “Waktu diskusi kami sepakat tema yang akan diangkat berkaitan dengan beberapa permasalahan. Pertama, isu tentang kemiskinan, karena masih banyak orang yang tinggal di permukiman tidak layak huni. Nah dari situ dapatlah Kampung Sangkrah yang di sana ada perpustakaan berbasis masyarakat,” ungkap Lia.

Lia menjelaskan poskamling yang dimanfaatkan warga Sangkrah tersebut dari sisi bangunan memang sederhana. “Bangunannya biasa. Seperti halnya di kampung-kampung pada umumnya. Sudah ditembok dengan luas 1,5 meter x 2,5 meter. Nah yang menarik, dengan luas yang sangat terbatas itu, masyarakat dengan pengetahuannya bisa mengubah itu jadi perpustakaan yang bermanfaat untuk anak-anak yang tinggal di sekitarnya, dimodifikasi dengan dipasangi rak buku di temboknya, dicat mural supaya anak-anak seneng ke situ, di luarnya diberi bangku,” bebernya.

Isu kedua yang diangkat dalam esai berkaitan isu budaya. Lia mengungkapkan hal itu melihat dari sisi Kota Solo sebagai kota yang kaya akan warisan budaya.

“Tapi di sisi lain Solo ini juga berkembang pesat, apalagi ada teknologi yang maju. Nah dari isu ini kami menemukan kalau ada satu komunitas seni pertunjukan di Kepatihan Kulon yang berjuang untuk kelestarian budaya Solo,” terangnya.

Sedangkan isu ketiga, lanjutnya, tentang masyatakat minoritas. “Kami mendapati ada komunitas Hindu yang tinggal di sekitar Candi Cetho, Karanganyar. Kami dapat menyebut minoritas karena Solo dan sekitarnya kan sebagian besar beragama Islam. Komunitas ini keberadaannya bisa dilacak hingga ratusan tahun yang lalu,” jelas dia.

Dalam menyusun esai, Lia mengakui ada kesulitan tersendiri. “Kesulitannya kalau menurut saya sih bagaimana kami bisa membuat tulisannya menarik. Karena sebetulnya ini basisnya arsitektural. Tapi kalau ulasan terlalu arsitektural yang hanya menggambarkan bangunannya luasnya berapa, warnanya apa dan lain-lain, jatuhnya lama-lama membosankan. Jadi kesulitannya ya di penyusunan alurnya itu,” tuturnya.

Karena itulah, mereka lebih menonjolkan cerita sosial di balik bangunan yang dipilih dibandingkan mendeskripsikan sisi arsitekturalnya secara fisik. Sebagai satu dari enam pemenang esai, mereka berdua berhak mendapat hadiah US$500 dan kesempatan untuk berkunjung ke salah satu negara untuk melakukan riset.

“Ya bahagia sekali karena selama ini dari Indonesia belum pernah ada yang tembus di ajang tersebut dan ini pertama kalinya perwakilan dari Indonesia bisa masuk setelah 19 kali digelar,” tandas Lia.

Lia mengaku dirinya juga mendapatkan pengalaman berharga dari kompetisi tersebut. “Pengalamannya sih yang pasti jadi melatih kemampuan menulis esai dalam bahasa Inggris. Karena dalam babak-babak penyisihan sebelum dinyatakan menang itu esainya dikomentari Dewan Juri yang jumlahnya banyak, bisa 3 sampai 5 orang dalam satu tahap yang menilai dan komentar tentang tulisan yang kami buat,” kata dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya