SOLOPOS.COM - Sejumlah pimpinan perguruan tinggi di Jogja dilantik sebagai pengurus asosiasi relawan perguruan tinggi anti penyalahgunaan narkoba (Artipena), Kamis (9/11/2017). (Sunartono/JIBI/Harian Jogja)

Perguruan tinggi di DIY membentuk asosiasi relawan perguruan tinggi anti penyalahgunaan narkoba (Artipena).

Harianjogja.com, SLEMAN— Seluruh perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) di Jogja menyatakan bergabung dalam asosiasi relawan perguruan tinggi anti penyalahgunaan narkoba (Artipena) dalam pelantikan pengurus yang digelar di sebuah hotel kawasan Depok, Sleman, Selasa (9/11/2017). Asosiasi ini sepakat untuk memberikan tindakan sesuai hukum yang berlaku kepada mahasiswa yang terlibat mengedarkan narkoba, namun masih memberikan peluang belajar bagi mereka yang menjadi korban sebagai pengonsumsi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sejumlah pimpinan PTN dan PTS yang masuk dalam kepengurusan Artipena DIY antara lain, Rektor UAD Kasiyarno yang bertindak sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) DIY, Rektor UII Nandang Sutrisna Rektor UJB Cungki Kusdarjito, Rektor UPY Paiman, Rektor Unisa Warsiti, Rektor IST Akprind Amir Hamzah, Ketua STTNAS Ircham, Rektor Universitas Amikom M. Suyanto, Wakil Rektor UIN Waryono dan sejumlah nama lainnya.

“Total ada 30 perwakilan perguruan tinggi di Jogja yang masuk dalam kepengurusan, kalau anggotanya semua PTN dan PTS dalam asosiasi ini,” ungkap Kasiyarno di sela-sela pelantikannya, Kamis (9/11/2017).

Ketua Umum DPP Artipena Prof. Suryo Hapsoro mengatakan, bagi mahasiswa yang terjerat kasus, maka perlu dilihat latar belakang kasusnya, menjadi pengedar atau konsumen selaku korban. Jika melalui assessment mahasiswa tersebut dinyatakan sebagai korban atau konsumen. Maka sepenuhnya diserahkan kepada perguruan tinggi masing-masing alias dimungkinkan masih bisa melanjutkan pendidikan.

“Kalau dia sudah kehilangan masa lalunya, jangan sampai kehilangan masa depannya. Apalagi universitas sebagai institusi pendidikan. Itu khas [otonomi] perguruan tinggi, kalau korban lho ya,” kata dia.

Akan tetapi, tegas dia, jika mahasiswa sebagai pengedar maka tidak ada pilihan lain kecuali memberikan sanksi tegas. “Kalau [mahasiswa] pengedar tidak ada pilihan lain, kan ada hukumnya, kalau perlu hukuman mati, pidananya jelas,”

Senada dengan Suryo, Kasiyarno mengatakan jika mahasiswa terjerat sebagai korban bukan berstatus pengedar maka diserahkan masing-masing perguruan tinggi. Kasiyarno menegaskan, keberadaan Artipena dinilai sudah mendesak di tengah peredaran narkoba yang aktif menyasar mahasiswa. Apalagi BNN saat ini lebih mengedepankan pada pemberantasan, namun Artipena diharapkan bisa melakukan pencegahan agar lingkungan kampus tidak tercemari narkoba. “Jangan sampai anak bangsa ini kecanduan dengan masalah ini,” ujarnya.

Ia menyadari Artipena tidak memiliki kekuatan apapun selain pada ranah pencegahan atau edukasi bahaya narkoba. Apalagi sudah banyak kampus yang memiliki unit-unit atau kegiatan pencegahan bahaya narkoba. “Lahirnya Artipena di DIY ini karena keprihatinan bahaya narkoba. Jogja sendiri menurut penelitian kasusnya meningkat, 2010 rangking kedua, 2013 sampai 2015 peringkat kelima, tetapi saat ini [2017] rangking pertama [kasus narkoba],” tegas dia.

Alasan mendesak dibentuknya Artipena di daerah karena setiap hari ada 57 orang meninggal karena narkoba. Sebagian besar usia produktif dengan persentase 80% pelajar dan mahasiswa. Artipena diharapkan memberikan kekebalan bagi perguruan tinggi terhadap pengaruh narkoba. Selain itu dalam pelaksanaan program mengedepankan ranah tri dharma perguruan tinggi, melalui penelitian, pendidikan dan pengabdian masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya