SOLOPOS.COM - Anak-anak yang tergabung dalam Program Kampung Damai Tipes sedang menonton film Big Hero 6 yang bercerita tentang persahabatan di Perpustakaan Dwija Premana, belum lama ini. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Anak-anak berhak mendapatkan keamanan dan kebahagiaan. Apabila yang mereka rasakan ketakutan dan prasangka, itu berarti ada para orang tua yang tidak melaksanakan kewajiban mereka.

Ingatan Adi Cahyo, seorang pegiat Kampung Damai Tipes, kembali pada awal tahun 2000. Saat itu, dia aktif sebagai ketua karang taruna RW di Tipes, Serengan, Solo. Bayangan belasan oncor di jalanan kampung yang sepi dan gelap sehabis Isya masih jelas dalam memorinya.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Anak-anak seusia siswa SD memegang oncor di tangan mereka masing-masing. Memakai jubbas, busana muslim laki-laki dari Arap berupa terusan panjang hingga semata kaki, mereka berjalan dengan tergesa-gesa melewati jalanan kampung sambil meneriakkan takbir dan mengajak orang-orang untuk berjihad di jalan Allah.

Pandangan anak-anak itu selalu lurus ke depan, tak pernah menoleh ke rumah-rumah warga yang terbuka, sekadar menyapa orang-orang yang berdiri di serambi atau di dekat pintu. Tak ada juga warga yang memanggil anak-anak itu karena mereka tidak saling mengenal.

Anak-anak itu bukanlah anak-anak dari Tipes. Seseorang entah dari mana menurunkan anak-anak itu dari mobil ke Tipes. Dialah yang meminta anak-anak itu meneriakkan takbir sambil berjalan berkeliling kampung. Sesudahnya mereka diangkut dengan mobil yang sama, pergi begitu saja meninggalkan kampung, membiarkan warga menebak identitas dan tujuan mereka.

Dimulai dari kedatangan anak-anak dari daerah lain itu, masjid-masjid juga kedatangan orang-orang asing. Narasi-narasi jihad dan antiagama lain selain Islam yang berawal dari masjid, kian menebal di Tipes. Sebagai ketua karang taruna kampung, Adi mengaku kesal, namun belum bisa bertindak frontal. Dia mencoba membaca keadaan.

Ekspedisi Mudik 2024

“Pada masa-masa itu, sulit mengajak anak-anak dan remaja berkumpul, apalagi saat acaranya berlangsung di rumah warga yang bukan muslim. Narasinya begini, awas lo, hati-hati lo. Hidangannya dari babi kalau kalian datang. Nanti kalian makan babi haram,” kata dia yang juga seorang advokat ini.

Tidak hanya kepungan prasangka, memori kolektif warga Tipes juga diwarnai sejumlah luka, Adi melanjutkan ceritanya. Kedatangan Densus beberapa kali di kampung itu, dimulai dari salah tangkap terduga teroris, penembakan teroris setelah aksi kejar-kejaran di dekat Lotte Mart (twrmasuk wilayah Tipes), penutupan gereja secara paksa, penangkapan pelaku sweeping dan perusakan restoran Social Kitchen, hingga pemulangan mantan napi teroris, berturut-turut terjadi. Tipes akhirnya dikenal sebagai wilayah yang bermasalah, terutama yang berkaitan dengan konflik agama.

“Yang saya ceritakan itu terjadi sejak awal 2000, lalu sedikit melandai, dan memuncak kembali ketika event pemilihan umum presiden [pilpres] pada 2019 lalu,” kata dia saat berbincang dengan Espos di Wedangan Birman bersama Ketua Program Kampung Damai sekaligus Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Tipes, Agus Suherman, dan warga yang menjadi korban salah tangkap, Agus, Minggu (23/1/2022).

Wedangan

Wedangan Birman merupakan tempat berkumpulnya para tokoh dan aktivis di Tipes. Lokasinya di Jl. Veteran sisi selatan. Jl. Veteran yang merupakan wilayah terbesar di Tipes terbagi menjadi dua bagian, utara dan selatan.

Berbagai konflik sosial dan agama terjadi di wilayah selatan di mana kebanyakan warganya merupakan warga yang tidak mampu secara ekonomi. Sisi utara Veteran, sebaliknya, merupakan pusat bisnis dengan deretan restoran, supermarket grosir, hotel, hingga perguruan tinggi swasta. Sisi utara merupakan wilayah perkotaan sementara sisi selatan cenderung wilayah slum yang berbatasan dengan Cemani, Grogol, Sukoharjo.

Menyambung Adi, Agus yang merupakan korban salah tangkap, mengatakan baru berani bercerita secara terbuka tentang apa yang dialaminya dalam pemetaan masalah yang dilakukan para pegiat kampung damai, belum lama ini. Sebelumnya, ia menyimpan rapat-rapat pengalaman pahit tersebut. Hanya keluarga dan beberapa tetangga dekat yang tahu cerita itu.

“Iya, saya memang pernah ditangkap. Tapi sebenarnya itu salah. Jadi yang seharusnya ditangkap adalah tetangga saya, sebelah rumah. Tetangga saya itu mengaku bernama Qomari. Sebelum Densus datang, dia sekeluarga sudah melarikan diri. Karena perawakan saya mirip dengan dia, saya yang akhirnya sempat ditangkap, walau kemudian dilepas tak sampai hitungan jam. Semuanya terjadi begitu cepat,” kenang Agus.

Pintu yang didobrak dan kedatangan para aparat bersenjata membuat anaknya yang saat itu masih tiga tahun mengalami trauma. Penangkapan itu terjadi pada malam hari, saat dia hendak tidur bersama sang anak.

“Sampai sekarang anak saya tidak bisa mendengar suara keras. Saat mendengar suara keras sekali saja, dia akan langsung menangis keras, marah-marah, dan mendekap tubuh saya. Sekarang dia kan sudah kelas V SD, tapi ingatannya tentang malam itu mungkin belum hilang meski kalau saya tanya tentang malam itu, dia selalu bilang sudah lupa,” kata dia.

Meski pengalamannya berbeda, seorang anak yang merupakan anggota Program Kampung Damai Tipes, Fielda, mengaku memiliki trauma yang sama. Trauma tersebut membuat siswa kelas VIII SMP di Solo ini sempat tak mau ke masjid selama hampir setahun.

Kejadiannya pada 2019 lalu, waktu Fielda masih kelas V SD. “Saat itu saya berangkat ke masjid seperti biasa. Sebenarnya saya mulai malas ke masjid karena di masjid saat itu banyak orang asing. Mereka sukanya bergerombol dan kalau berbicara, suaranya keras,” kata dia.

Hari itu, Fielda berangkat sendiri karena temannya sudah berangkat lebih dulu. Di halaman masjid dia melihat orang-orang asing itu lagi.

Seseorang dengan jubbas berdiri di samping motor. Di dalam masjid, orang-orang sudah melaksanakan Salat Magrib. Orang asing itu mengabaikan mereka yang sedang salat.

Melihat Pedang

Fielda sudah hafal kebiasaan orang-orang asing itu. Mereka akan menunggu orang-orang kampung selesai salat, baru kemudian melakukan ibadah dengan kelompoknya. Fielda sudah tahu itu sehingga dia pun tak memedulikan orang tersebut. Namun, yang membuat dia mendadak ketakutan adalah saat orang asing tersebut ternyata membawa pedang. Laki-laki itu tiba-tiba mengeluarkan pedang dari sarungnya dan memegangi pedang tersebut di hadapan Fielda.

Senjata yang biasanya hanya Fielda lihat di bioskop dan televisi, kini ada di depan matanya. “Saya lari masuk masjid, salat, lalu pulang. Saya tidak bercerita tentang apa yang saya lihat kepada orang tua. Tapi, sejak saat itu, saya tidak mau lagi salat ke masjid. Ya, saya bilang malas saja ke orang tua tiap kali mereka minta saya ke masjid,” kata dia.

Memutuskan tak bercerita, namun Fielda mengaku mulai merasa cemas saat ibunya berniat merekam aktivitas orang-orang asing itu, khususnya saat mereka berkampanye pilpres di tempat ibadah. Keberanian ibunya itu akhirnya berbuntut pada ancaman terhadap sang ibu.

“Waktu itu ibu diminta ketua masjid [takmir] merekam aktivitas mereka. Dengan video ibu, akhirnya warga minta orang-orang asing itu tidak beraktivitas di masjid selain untuk salat dan mengaji. Karena yang meminta warga, orang-orang asing itu patuh. Mereka hanya salat dan ngaji saja di masjid lalu pulang. Nah, sebelum itu, ibu sempat dapat ancaman dari mereka meski kata ibu tidak ada yang perlu dicemaskan,” kata Fielda yang sekarang mulai berani lagi beribadah di masjid ini.

Situasi masjid yang lebih aman, menurut Fielda, membuatnya berani salat di masjid lagi. Faktor lain adalah dukungan teman-teman sebayanya yang aktif di Kampung Damai Tipes. Dalam Program Kampung Damai, Fielda mengaku banyak mendapat banyak teman baru, yang berbeda sekolah, agama, maupun kondisi ekonomi. Mereka semua membaur dan saling mendukung satu sama lain.

“Di Kampung Damai Tipes ini juga ada forum anak. Program ini bermanfaat sekali untuk kami karena kami bisa menyampaikan pendapat, sharing antarteman, menulis tentang keberagaman di sekitar kami tanpa rasa takut, belajar supaya tidak berprasangka kepada orang lain karena sesungguhnya semua orang itu setara, dan masih banyak lagi. Kami juga diajak menonton film dan berdikusi tentang keberagaman. Dari berbagai kegiatan itulah saya sadar bahwa Tuhan memang menciptakan orang secara beragam, baik itu agama, fisik, dan lainnya. Tapi, keberagaman itu bukan berarti menjadikan kita bermusuhan, melainkan harus menjadikan kita bersahabat,” jelas dia.

Ketua Forum Anak Tipes, Aradea, siswa kelas VIII SMP, mengatakan hal senada. Dia yang beragama Katolik ini mengatakan anak-anak di Tipes sangat senang bergabung dalam Program Kampung Damai. “Kami punya wadah mengekspresikan pendapat kami dan orang-orang dewasa pun mau mendengarkan kami. Itu sangat menyenangkan,” kata dia.

Aradea menambahkan meski tidak pernah merasa terdiskriminasi sebagai kelompok minoritas di Tipes, namun dia pernah merasa ketakutan. Program Kampung Damailah yang bisa memulihkan ketakutannya itu.

“Kalau ketakutan saya ini sebenarnya lebih ke pikiran. Jadi saya sering mendengar di Tipes itu banyak teroris. Sementara itu, di TV saya melihat teroris dengan pakaian mereka yang panjang-panjang itu pernah membom gereja. Nah, saat saya melihat orang berpakaian sama di lingkungan Tipes ini, saya lalu merasa takut mereka akan melukai saya. Saya takut kalau saya dan keluarga saya salah omong atau salah bertindak, mereka akan melukai kami,” kata dia.

Aradea selalu berdoa ucapan dan tindakannya tidak pernah menyinggung orang lain. Dalam Program Kampung Damai, barulah Aradea menyadari bahwa pakaian panjang tak selalu identik dengan teroris. Apalagi teman-temannya di lingkungan Tipes, terutama mereka yang beragama Islam, juga selalu menerima, menghargai, dan menganggap dirinya adalah bagian dari mereka.

“Sekarang saya tak takut lagi,” kata dia.

Ruang Aman untuk Anak

Berdasarkan catatan Espos, Program Kampung Damai yang diinisiasi Wahid Foundation sebagai sebuah program terstruktur tersebut digelar pada Oktober 2021 lalu. Tujuan program itu adalah menguatkan mental masyarakat dalam mengantisipasi munculnya intoleransi.

Deklarasi Kampung Damai digelar di Taman Bermain Anak Pringgondani, Tipes, dihadiri Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid; Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka; dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Yenny menyampaikan program tersebut tidak hanya digelar di Solo, namun juga beberapa kota lain.

Berdasarkan hasil evaluasi Wahid Foundation, di wilayah Tipes memang sempat muncul kasus-kasus radikalisme atau intoleransi. Program Kampung Damai Tipes berfokus pada kemungkinan kejadian yang dilakukan warga dari luar Solo, namun berdampak terhadap warga Solo mengingat tingkat toleransi warga Solo secara umum sudah baik.



“Untuk itu kami buat Program Desa Damai. Salah satunya memastikan terciptanya ketahanan mental masyarakat. Jadi supaya mereka tidak mudah terprovokasi ketika ada ancaman-ancaman dari luar, ada infiltrasi ideologi-ideologi yang mungkin berbeda dengan masyarakat, itu bisa diantisipasi sebab warga sudah dikuatkan,” kata dia, saat itu.

Dalam deklasi Kampung Damai waktu itu, Gibran meminta toleransi di Solo tetap kuat. Dia berharap tidak ada lagi kasus-kasus intoleransi yang terjadi di Kota Bengawan.

Harapan Gibran itu kemudian direspons Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Solo, Tamso. “Kampung Damai adalah program yang baik. Ya jelas akan selalu kami dukung, baik ketika masih di-support Wahid Foundation atau ketika nanti kerja sama dengan Wahid sudah berakhir. Bagaimanapun program ini kan menyesuaikan kebutuhan masyarakat, ya jelas selalu kami dukung melalui Kesbangpolinmas, entah itu kegiatannya, penganggarannya, dan lainnya. Ini kan termasuk urusan wajib,” jelas Tamso kepada Espos, Minggu (30/1/2022).

Sementara itu, Agus Suherman yang merupakan Ketua Program Kampung Damai mengatakan tugas mereka tidaklah ringan. “Anak tetap menjadi prioritas kami dalam Program Kampung Damai. Jadi begini, kami, para orang tua sudah mengalami hal-hal yang tidak enak di masa lalu. Kami berharap yang seperti itu tidak terjadi pada anak-anak saat ini,” kata dia.

Menciptakan ruang yang aman bagi anak-anak perlu melibatkan semua warga, termasuk anak-anak sebagai subjek, bukan sebagai objek.

“Warga yang dulu sempat terpengaruh ideologi ekstrem, selalu saya ajak ngobrol di wedangan ini. Sekarang mereka sudah baik. Di sini juga banyak program yang lahir untuk kelurahan. Contohnya yang berhubungan dengan keputusan saya untuk melibatkan lebih banyak panitia pembangunan kelurahan dari utara Veteran untuk ikut berpikir, sementara programnya justru menyasar wilayah selatan. Ini semata-mata untuk mengejar ketertinggalan warga di sisi selatan,” jelas dia.

Program selanjutnya adalah mengaktifkan fasilitator lingkungan (fasling) di RW. Fasling ini bertugas menangkap segala keluhan maupun aspirasi warga. “Jadi kini warga lebih memikirkan dan peduli terhadap lingkungan mereka. Apa saja yang terjadi di lingkungan segera terdeteksi,” jelas Agus Suherman.

Pemetaan Soal Diskriminasi

Dengan kondisi warga yang guyub, lingkungan menjadi sehat. Lingkungan yang sehat inilah, menurut Agus Suherman, yang dibutuhkan anak-anak di Tipes sekarang. “Jadi saat orang tuanya baik-baik saja, orang dewasa di lingkungan mereka baik-baik saja, anak ya ikut menjadi baik,” jelas dia.

Setelah melibatkan warga usia dewasa, Agus dan kawan-kawan lalu menggandeng anak-anak untuk ikut ambil bagian dalam pembangunan, khususnya yang bersifat nonfisik lewat Kampung Damai.



“Kegiatan menulis tentang perdamaian, menonton film tentang perdamaian, dan belajar tentang dampak reformasi 98 itu berdasarkan kebutuhan dan masukan mereka. Sesudah kegiatan-kegiatan itu rampung, langkah kami adalah membuat peta persoalan diskriminasi di Tipes. Jadi kalau yang sebelum ini pemetaan menyasar orang dewasa, setelah ini anak-anak. Anak-anak akan memetakan sendiri persoalan diskriminasi yang pernah mereka hadapi,” jelasnya.

Hasil dari pemetaan yang dilakukan anak-anak akan menjadi basis kerja Program Kampung Damai selanjutnya. Program Kampung Damai adalah program berkelanjutan yang sekaligus mencetak sosok-sosok pemimpin yang bervisi pada keberagaman sejak dini, yakni sejak anak masih duduk di sekolah dasar.

Malam semakin larut saat pertemuan pada Minggu malam itu berakhir. Sebelum berpisah Adi dan Agus Suherman sempat membuat janji lagi untuk bertemu pada malam berikutnya dengan warga Tipes yang lain. Mereka akan membahas kurikulum sekolah damai yang akan diterapkan di dua PAUD Tipes.

“Kami memang sedang membuat kurikulum perdamaian untuk PAUD. Latar belakangnya, sebelum ini muncul lagi ucapan dari anak-anak yang arahnya diskriminatif. Misalnya ‘dia orang Nasrani’. ‘Dia orang China’. Jadi ucapan-ucapan itu mengarah supaya tidak ada aktivitas bersama. Yang seperti ini harus segera dicegah segera,” tutur Adi.

Adi menjelaskan Kampung Damai adalah program yang memang warga butuhkan. “Jadi ya harus dilaksanakan dengan baik. Ini tanggung jawab kami. Anak-anak berhak mendapatkan keamanan dan kebahagiaan. Apabila yang mereka rasakan ketakutan dan prasangka, itu berarti ada para orang tua yang tidak melaksanakan kewajiban mereka. Anak tidak punya kewajiban. Yang mereka punya hanya hak,” kata dia sambil menyeruput sisa teh dingin di gelasnya.

Wedangan Birman masih ramai. Orang-orang masih berbincang di trotoar sambil sesekali menatap pertokoan dan restoran yang sudah tutup. Bagian utara Veteran sangat sepi, tak seperti sisi selatan.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya