SOLOPOS.COM - Ilustrasi tahanan penjara. (freepik)

Solopos.com, SLEMAN — Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, Pakem, membantah dugaan adanya penganiayaan ataupun penyiksaan terhadap warga binaan permasyarakatan (WBP).

Bantahan ini untuk menanggapi sejumlah pemberitaan tentang mantan WBP lapas tersebut yang mengadu kepada Ombudsman RI (ORI) perwakilan DIY. Mantan WBP menceritakan penyiksaan yang dialami selama di dalam Lapas Narkotika tersebut

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Kepala Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, Cahyo Dewanto, mengatakan seluruh kegiatan pembinaan kepada narapidana maupun tahanan dilakukan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP).

“Secara proporsional dan terukur untuk peningkatan mental, fisik, dan disiplin. Hal ini tentunya agar terjadi perubahan sikap dan perilaku narapidana ke arah yang lebih baik,” ujarnya, Selasa (2/11/2021) dikutip dari Harianjogja.com.

Baca Juga: Kejam! Napi di Jogja Ngaku Disiksa, Dipaksa Onani & Minum Air Kencing

Bahkan Cahyo mengatakan informasi penyiksaan yang bersumber dari eks WBP tidak benar. Seperti pemukulan menggunakan selang, kabel listrik, dan kekerasan lainnya tidak sesuai dengan apa yang dilaksanakan oleh petugas Lapas Narkotika Yogyakarta sehari-harinya.

Termasuk juga informasi adanya penyiksaan hingga waktu subuh, Cahyo itu tidak sesuai fakta. Dijelaskan dia, faktanya pada pukul 17.00 WIB kunci kamar hunian telah dimasukkan ke dalam kotak kunci. Selanjutnya, kotak kunci diserahkan oleh regu pengamanan kepada Kalapas untuk disimpan dan diambil kembali keesokan harinya pada pukul 05.00 WIB.

Dalam proses penempatan WBP di Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta adalah berdasarkan hasil assessment mereka masing-masing. “Kami pisahkan antara narapidana risiko tinggi, risiko menengah, dan risiko minimum,” katanya.

Baca juga: Awas! Aksi Klitih Terjadi Lagi, 2 Pemuda di Sleman Diadang & Dicelurit

Terkait mantan WBP yang mengadukan pengalamannya ke ORI DIY, yakni Vincentius Titih Gita Arupadatu, ia menjelaskan Vincentius dipindahkan ke Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta dari Rutan Kelas IIA Yogyakarta pada 12 April 2021 dan langsung diisolasi mandiri selama 14 hari dengan masa pengenalan lingkungan selama satu bulan.

Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta sendiri meniadakan kegiatan pemindahan kamar pada periode Juni sampai Agustus 2021 lantaran adanya penyebaran Covid-19. Sementara, Vincentius kala itu dipindahkan ke Paviliun Cempaka dengan dasar adanya komorbid atau penyakit bawaan, namun yang bersangkutan melakukan pelanggaran dan dipindahkan ke kamar risiko tinggi.

“Vincentius telah bebas dari Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta melalui Cuti Bersyarat sejak 19 Oktober 2021 dan masih dalam proses pembimbingan oleh Balai Pemasyarakatan. Jadi sekali lagi saya tegaskan, tidak benar pernyataan yang bersangkutan bahwa tidak bisa mengurus cuti bersyarat,” katanya.

Datangi ORI Perwakilan DIY

Sebelumnya diberitakan bahwa sejumlah mantan warga binaan pemasyarakatan (WBP) Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, mendatangi kantor Ombudsman RI (ORI) perwakilan DIY, Senin (1/11/2021). Mereka mengadukan perlakuan tak manusiawi yang dilakukan oleh sipir lapas tersebut yang mereka dapatkan selama menjalani masa hukuman.

Salah satu mantan WBP, Vincentius Titih Gita Arupadhatu, laki-laki 35 tahun, menceritakan pemukulan oleh sipir kepada WBP terjadi hampir setiap hari, bahkan ketika WBP tidak melakukan kesalahan apa pun. “Pelakunya oknum petugas hampir semua. Kita kadang enggak melakukan kesalahan aja tetep dicari-cari kesalahannya,” ujarnya.

Baca juga: Klaster Takziah Sedayu Menyebar ke 3 Kabupaten di DIY

Ia pernah menyaksikan temannya sesama penghuni lapas pada suatu hari tidak memakai baju di dalam kamar tahanan. Oleh sipir hal ini dianggap kesalahan. WBP tersebut kemudian disuruh berguling-guling hingga 100 meter. Ketika WBP muntah setelah berguling, sipir meminta WBP itu untuk memakan muntahannya sendiri.

“Ada yang disuruh minum air kencing, air kencing petugas. Lebih parah lagi, begitu datang ada yang dari Polres atau Polda itu. Jadi ada timun isinya dibuang, lalu diisi sambel, terus disuruh onani di situ dan timunnya suruh makan,” ungkapnya.

Beberapa WBP kata dia, bahkan sampai mengalami lumpuh akibat menerima begitu banyak siksaan. Para sipir juga tidak memperhatikan kondisi kesehatan WBP. Ia menceritakan ada satu WBP yang memiliki penyakit pernapasan bawaan. WBP ini meninggal karena penyakitnya, yang diperparah oleh sipir yang sering telat memberi obat, tidak pernah dikeluarkan dari kamar tahanan dan tidak diperhatikan makanannya padahal WBP ini tidak bisa makan nasi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya