SOLOPOS.COM - Foto Sukamto JIBI/Harian Jogja/Sunartono

Foto Sukamto
JIBI/Harian Jogja/Sunartono

Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Benediktus Sukamto Harto akan segera pensiun. Nama Sukamto, beberapa waktu lalu tiba-tiba melambung melalui media massa. Tak hanya nasional namun juga internasional karena kasus menimpa Lembaga Pemasyarakatan Sleman atau lebih dikenal Lapas Cebongan yang dikepalainya.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Mungkin tidak akan pernah lupa di benak pria kelahiran 20 Mei 1957 ini akan penyerangan Lapas Cebongan pada Sabtu (23/3) dini hari lalu. Masalah anyar di ranah kehakiman dan HAM itu seakan tertumpah ruah dalam tanggung jawab Sukamto.

Ia bahkan sempat menangis di hadapan Menkum HAM Amir Syamsudin beberapa jam pasca penyerangan lapas. Bagaimana tidak harus bertanggungjawab, sebagai Kalapas Cebongan ia harus mengayomi para warga binaan.

Undang-undang menjawab aturan itu. Namun apa yang terjadi? Empat tahanan yang dititipkan Polda DIY kepadanya, belum genap 18 jam, bon tahanan itu dieksekusi mati oleh anggota Grup II Kopassus TNI AD.
Penyerangan keji itu membuat Sukamto harus menelan pujian dan cercaan. Pujian atas ketabahannya dalam menerima cobaan di penghujung masa pensiun. Cercaan atas pertanyaan, mengapa itu terjadi? Bagaimana pengamanan dan koordinasi?

“Memang andaikan koordinasi itu terjadi…,” ucap Sukamto terdiam sesaat dan tampak enggan melanjutkan perkataannya saat berbincang dengan Harian Jogja di Lapas Cebongan, Rabu (29/5).

Telunjuk dan ibu jari Sukamto memelintir halus pojok kertas HVS bertuliskan surat yang harus ia tandatangani siang itu. Wajahnya menerawang ke arah lapangan tengah Lapas Cebongan.

Ia tampak memandangi satu persatu warga binaannya yang berjalan hilir menuju musola Lapas. Dua ruas dahinya bergerak mengatup dan saling bertemu, laksana kibasan sayap kupu-kupu yang gagal hinggap di mekarnya bunga.

Ada sedikit kerisauan ketika ia harus mengingat persoalan itu. Ya maksud dia yakni persoalan koordinasi, komunikasi dengan Polda DIY terkait pengamanan empat tahanan.

Meski demikian pesan itu dengan pelan dicobanya untuk disampaikan. Dengan hati-hati dikuatkannya untuk terucapkan. Sukamto tak bisa membohongi kata hatinya bahwa ada persoalan koordinasi antara kepolisian dengan lapas yang secara tidak langsung membuat kasus penyerangan itu berjalan sedikit mulus.

Meski beberapa sipirnya ikut terluka dan tertekan berat akibat ganasnya korps yang bersembunyi di balik semangat korsa itu. Memberi penjelasan secara detail soal titipan tahanan memang perlu dilakukan terutama dalam kasus besar. Kasus yang bisa berdampak panjang dan memunculkan persoalan baru. Sebagai Kalapas seharusnya ia mendapatkan informasi itu terlebih dahulu.

“Lebih elegan kalau diberikan catatan keterangan tahanan, sehingga kami bisa mengetahui. Memang sudah prosedural, itu hak mereka,” ucap dia sembari jari telunjuknya menyentil ujung rokok yang sudah berubah menjadi abu hingga jatuh tak beraturan ke dalam asbak.

Seperti siang kemarin, dalam keseharian Sukamto memang terkenal lebih senang berkantor di teras ruang tengah Lapas Cebongan yang berada di samping ruang portir.

Ia lebih senang membiarkan ruangannya di lantai dua kosong agar bisa menyaksikan kondisi warga binaan dan juga pembesuk. Administrasi, surat menyurat, koordinasi antar seksi lebih kerap diselesaikan di meja sederhana itu.

Segelas kopi berikut sebungkus rokok selalu ada di meja teras itu menemani hari-harinya. Akan tetapi masa itu tinggal sehari lagi, karena besok siang, Sukamto tak lagi menjabat sebagai Kalapas Cebongan.

Jumat (31/5) ia akan diganti oleh Supriyanto yang sebelumnya menjadi pejabat di Lapas Maluku.

Pria dua anak ini mengangkat gelas putih berisi kopi hitam. Ia cecap pelan kopi kesukaannya itu. Perlahan ditelan dan masuk melalui tenggorokan dengan merasakan manisnya gula lewat ujung lidahnya. Semanis rencana ke depan setelah pensiun sebagai Kalapas “fenomenal” Cebongan.

Sukamto ingin menghabiskan masa pensiunnya bersama keluarga. Rencana manis itu dideklarasikan dalam hati dan ucapannya karena menjadi Kalapas minim waktu untuk keluarga.

Setiap hari selama 24 jam ia berada di Lapas, tinggal di rumah dinas kadang sesekali bersama istrinya yang dinas di Puskesmas Sewon, Bantul. Tetapi sedikit kali ia pulang ke rumahnya di Trirenggo, Bantul untuk sekadar melihat keadaan rumah lantas kembali ke lapas lagi untuk urusan warga binaan.

“Trirenggo ke Cebongan hanya sekitar 45 menit atau sejam, sehingga saya bisa bolak-balik, 24 jam,” kata dia.

Selain untuk keluarga, ia berencana bisa berkontribusi terhadap kegiatan sosial masyarakat guna mengisi masa pensiunnya. Belum ada rencana untuk bergelut ulang dunia usaha, pekerjaan maupun akademisi.

“Belum, sementara berhenti untuk sosial dan keluarga, tidak tahu setelah setahun nanti,” pungkasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya