SOLOPOS.COM - Raden Hary Sutrasno (Istimewa)

Solopos.com, SOLO -- Tuntutan masyarakat akan layanan publik yang semakin baik adalah fenomena nyata. Dan untungnya hal itu sangat difahami pemerintah. Di sisi lain sesuai teori, pemerintah memang wujud konkrit dari negara. Negara adalah benda mati yang mempunyai tujuan, siapa yang mewujudkan tujuan negara itu? dialah pemerintahlah yang memang mempunyai infrastruktur, sumber daya, anggaran dan kewenangan yang sangat luas.

Dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah kekinian, apabila kita amati dengan seksama, nampak proses itu makin banyak telah menggunakan metodologi yang semakin baik, misalnya melibatkan dan mengakomodasi pandangan dan kepentingan dari para pemangku kepentingan seperti para akademinsi dan pemerintah daerah.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Sebagai contoh dalam tulisan ini adalah penerbitan dokumen Kajian Fiskal Regional (KFR) tahun 2020 yang didedikasikan sebagai salah satu referensi pengambilan kebijakan, terutama oleh pemerintah daerah, investor dan pemangku kepentingan lain. Saat ini KFR Jawa Tengah tahun 2020 telah berada di tangan pimpinan pemerintah daerah di provinsi, kabupaten, kota.

KFR setiap tahun diterbitkan oleh Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan dengan melibatkan seorang akademisi bidang ekonomi terkemuka sebagai Regional Economist yang dinilai kompeten oleh Badan Kebijakan Fiskal. KFR memuat potret profil dan dinamika kondisi fiskal dan analisisnya di wilayah kabupaten-kota dalam satu provinsi. Mengapa diinisiasi Ditjen Perbendaharaan? karena fungsi pengelola fiskal pada pembagian tugas di Kementerian Keuangan, memang menjadi tugas lembaga ini.

Ekspedisi Mudik 2024

Pada KFR Provinsi Jawa Tengah, kajian ini memuat enam pokok bahasan. Dimulai dari sasaran dan tantangan pembangunan, perkembangan dan analisis ekonomi yang menganalisis indikator ekonomi makro, kesejahteraan dan efektivitas kebijakan serta problematik pembangunan regional Jawa Tengah. Ditampilkan pula perkembangan pelaksanaan APBN-APBD di Jawa Tengah dengan fokus bahasan tentang profil pendapatan pemerintah pusat-daerah serta belanja transfer ke daerah, Dana Desa dan analisis cash flow tingkat regional.

Tingkat Kemiskinan Jateng

Pada topik belanja wajib (mandatory spending) dan belanja infrastruktur dibahas tuntas dengan fokus pada sektor pendidikan dan kesehatan. Berikutnya fenomena perkembangan Badan Layanan Umum Pusat yang di Jawa Tengah yang saat ini berjumlah 20 dan kontribusinya terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Analisis tentang manajemen investasi pusat juga sangat menarik karena menyangkut pinjaman daerah dan kredit program berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang realisasinya di tingkat kabupaten Pati misalnya, mencapai Rp 2,15 triliun dengan 72.831 debitur dan kredit masyarakat bawah yang luas dikenal sebagai ultra mikro (UMi) maksimal Rp 10 juta yang realisasinya di Kabupaten Tegal telah mencapai Rp30,63 miliar dengan 9.936 debitur.

Pada bahasan penutup disajikan perkembangan dan analisis pelaksanaan APBD. Untuk topik ini analisis tuntas meliputi profil surplus/defisit pada APBD 35 kabupaten kota di Jawa Tengah dan perkembangan belanja wajib daerah. Perkembangan dan analisis pelaksanaan anggaran konsolidasian APBN-APBD serta keunggulan dan potensi spesifik antar daerah serta tantangan pengembangannya ke depan juga cukup mendalam dibahas.

Beberapa data dari KFR yang menarik diungkap antara lain adalah realita tingkat kemiskinan di Jawa Tengah yang relatif masih tinggi. Data September dibanding Maret 2020 menunjukkan terjadi peningkatan, dari semula 11,41 persen menjadi 11,84 persen. Secara umum sebaran kemiskinan lebih dominan di pedesaan.meskipun dari sisi persentase peningkatan, ternyata lebih cepat terjadi di perkotaan.

Untuk Wilayah Solo Raya, Sukoharjo menjadi kabupaten dengan angka kemiskinan paling kecil sedang Sragen terbesar dengan 13, 35 persen. Pada tahun 2020 tercatat terdapat 15 kabupaten memiliki persentase penduduk miskin diatas rata-rata tingkat provinsi Jawa Tengah dan nasional.

Masa Pandemi

Persoalan kemiskinan bukan sekedar jumlah orang miskin. Kondisi Kedalaman dan keparahan kemiskinan juga patut diperhatikan. Di Jawa Tengah indeks kedalaman kemiskinan meningkat pada September di banding Maret 2020 sebesar 1,720 menjadi 1,835. Sementara indeks keparahan kemiskinan juga meningkat dari semula 0,342 menjadi 0,431.

Pada masa Pandemi, di Jawa Tengah nampak tercatat peningkatan tingkat pengangguran terbuka (TPT). Pada tahun 2020 dibanding 2019, Untuk Solo Raya tercatat Surakarta mengalami laju pertumbuhan TPT tertinggi sebesar 3,74 persen, dari semula 4,18 persen menjadi 7,92 persen. Sementara Sragen justru mengalami pertumbuhan terkecil sebesar 1,41 persen dari semula 3,34 menjadi 4,75 persen.

Sisi kemandirian fiskal tahun 2020, seperti umumnya provinsi di Indonesia, tingkat ketergantuangan APBD Provinsi dan kabupaten kota se Jawa Tengah terhadap dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) masih relatif tinggi yaitu 63,24 persen. Dari total alokasi sejumlah Rp108,96 triliun telah terealisasi Rp.93,26 triliun atau 85,59 persen. Secara khusus dapat dicatat bahwa pada Dana Desa pagu Rp8,11 triliun dapat terealisasi 100 persen.

Pada pelaksanaan APBN dan APBD di Provinsi Jawa Tengah tahun 2020 dan kontribusinya terhadap perekonomian, menunjukkan mayoritas target ekonomi tidak tercapai. Hal ini patut dimaklumi karena situasi pandemi yang belum berkesudahan.. Untuk pertumbuhan dari target 5,4-5,7 persen tercapai -2,65 persen. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari target 72 persen tercapai 71,87 persen. Persentase kemiskinan dari target 9,81-8,8 tercapai 11,41 persen. Sementara pengangguran dari target 4,33 tercapai 6,48 persen. Angka Gini Ratio dari target 0,34 terealisasi 0,36 persen.

Harus Ditindaklanjuti

Ketidaktercapaian target ekonomi yang sebagian akibat dari pandemi, mesti disikapi dengan penguatan sinergi, koordinasi, dan kerja sama yang erat antara pemerintah pusat dan daerah, komunitas akademisi di kampus maupun masyarakat sebagai pemilik sah negera. KFR diharapkan menjadi jembatan sinergi itu. Apalagi hasil telaahan makro menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pemerintah yang tepat seperti upaya peningkatan PAD berbasis pada pengembangan potensi daerah, turut mendorong peningkatan laju pertumbuhan ekonomi nasional dan regional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Angka-angka pada data KFR diatas adalah fenomena yang dalam beberapa hal harus segera ditindaklanjuti. Dokumen ini akan menjadi bermakna apabila pemangku kepentingan terpenting yaitu pemerintah daerah 35 kabupaten kota dan provinsi memiliki komitmen untuk menjadikan KFR ini sebagai salah satu referensi dalam pengambilan kebijakan.

Memang KFR sebagai sebuah analisis diharapkan dapat memfasilitasi pencapaian tujuan-tujuan makro ekonomi dalam mendukung pencapaian fungsi APBN dan APBD terkait alokasi, distribusi, dan stabilisasi. KFR juga didedikasikan sebagai instrumen evaluasi untuk mengetahui sejauh mana kebijakan fiskal pemerintah telah sesuai dengan tujuan makro ekonomi yang telah ditetapkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya