“Tiiit… Tiiit… Tiit…” bunyi dering telepon di saku David
bertalu-talu, membuatnya agak geragapan dan buru-buru mengangkat
hape-nya dan membalas pembicaraan. “Ya… ya… eng… Oke oke… Di tempat
biasa ya…”
Tak berselang lama kemudian, bertemulah tiga serangkai anggota
kelompok diskusi partikelir itu di kafe favorit mereka di kawasan
Senayan.
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
“Wah, lama banget gak ketemuan ya kita… Banyak liburan dan cuti,
jadinya memengaruhi rutinitas obrolan kita… Jadi kekeringan isu nih,”
celetuk David ketika mereka mulai ritual perbualan tersebut.
“Lho, kan banyak pertunjukan berbual alias talk show di televisi,
harusnya gak kekurangan isu dong, Mas…” sahut Subarry Manilauw.
“Ah, males nonton teve… Lha mereka itu cenderung debat kusir, mana
presenternya pada keminter pula, nyerocos nanya seolah gak butuh
jawaban…” balas David. “Mendingan tidur…”
“Emang iya sih. Ngomong-ngomong, keminter apa sih artinya, Mas,” kata Subarry dengan nada heran.
“Keminter itu artinya sok pinter… Sok tau… Lihat saja penampilan
mereka saat mengawal acara perbincangan itu, malah paling banyak bicara,
mana susunan kalimatnya sering kacau pula, kayak nggak pernah belajar
tata bahasa,” tutur Noyorono.
“Dulu saat masih di bangku sekolah, para presenter itu sering absen
kalau pas pelajaran tata bahasa mungkin, ha ha ha… Jadinya ya banyak
yang tidak mampu berbahasa dengan baik dan benar…” sambung Barry.
“Eh, kalian perhatikan nggak, saat ini makin marak tindak
kekerasan dan ketidakpastian hukum di negeri ini. Gejala apa ya ini…”
ujar Noyorono mengalihkan topik pembicaraan.
“Iya, kayaknya makin hari semakin rumit ya urusan di negeri ini…
Mana cuaca tak menentu, tapi suhu politik malah memanas… Banyak kasus
korupsi terungkap, tapi tak kunjung ada yang dipenjarakan,” ungkap
Subarry Manilauw.
“Sudah gitu diperparah dengan situasi Jakarta, yang kian tega
menjebak warganya dalam impitan kemacetan, sehingga pada frustrasi…
Lengkap deh penderitaan bangsa kita ini..” keluh David.
“Kemacetan Jakarta yang kian parah ini memang layak dijadikan
berita besar oleh rekan- rekan media, karena banyak warga yang
dirugikan. Lha wong kota metropolitan sekelas Jakarta kok kalau ada
hujan sebentar saja pasti timbul banjir di mana-mana, sehingga
menimbulkan kemacetan di seantero kota… Ini kota kayak nggak ada yang
ngurus ya… Ke mana saja itu ‘ahli’-nya…” ujar Noyorono.
“Harusnya kita belajar kepada Belanda tuh bagaimana mengelola banjir agar tidak menggenangi kota…” kata Subarry sekenanya.
“Ah, kamu nyindir ya, Barry… Gimana kita mau belajar kepada
Belanda, orang hubungan kedua negara sedang tidak baik gara-gara
Presiden kita membatalkan kunjungan secara sepihak bin mendadak…”
tutur Noyorono.
“Nggak lah Bang… Lucu aja, kenapa Presiden SBY kita jadi takut
berkunjung ke Negeri Kincir Angin ya… Padahal sebenarnya tidak ada yang
perlu dikhawatirkan, apalagi ditakuti… Saya kok melihatnya jadi
seperti lelucon…” Barry menambahkan. “Mana ada sih seorang kepala
negara ditangkap di negeri yang dikunjunginya secara resmi.”
“Wah, kalian kok bisa menganggap enteng ancaman bagi pemimpin
negara kalian sendiri sih… Kalian ini sudah keblinger tampaknya. Jelas,
bahwa ancaman penangkapan terhadap Presiden kita itu sungguh
merupakan penghinaan… Saya kira sudah betul keputusan Pak SBY untuk
membatalkan kunjungan kenegaraan tersebut,” ujar David.
“Nanti dulu, Mas David… Ancaman itu cuma disampaikan kelompok kecil
yang menamakan diri RMS alias Republik Maluku Selatan dan tidak
substansial. Siapa sih mereka itu, nothing lah… Lagipula, kegiatan
seperti itu bagi mereka bukan hal baru… Senantiasa dilakukan saat ada
kunjungan pejabat tinggi kita ke Negeri Belanda… Jadi, mengapa terlalu
dirisaukan,” Noyorono berargumen.
“Tapi itu kan sudah menjadi potensi ancaman… Masak Kepala Negara
kita disuruh nekat menghadapi ancaman yang nyata-nyata ada… Kalian ini
nggak bener…” ujar David bernada meninggi.
“Gue yakin, Mas David, mereka itu nggak akan berani melakukan
tindakan ngawur kepada tamu negara. Memangnya nggak ada aturan apa di
sana [Belanda]…. Lagian, seorang pemimpin negara merdeka tidak
mungkin diperlakukan sesukanya oleh kelompok tertentu di negara yang
dikunjunginya… Diplomat saja punya kekebalan diplomatik, apalagi
presiden,” Barry tampak bersemangat “mematahkan” pendapat David.
“Betul, kamu Barry… Selain itu, mana mungkin Pemerintah Belanda
berpangku tangan sih saat tamu kehormatan Ratu mereka dilecehkan… Saya
kira kok tidak akan separah yang dibayangkan… Jangan-jangan, Pak SBY
menerima informasi yang salah, sehingga batal berkunjung…” tambah
Noyorono.
“Gitu ya… Wah, kalau sampai informasi itu salah, berarti para
pemberi info layak diganjar dengan hukuman berat itu, karena sudah
mempermalukan pemimpin bangsa… Saya mau ikut meninjunya kalau memang
demikian halnya,” ungkap David sambil menatap tanpa fokus.
“Aku juga mau, Mas, untuk membogemnya… Akibat pembatalan agenda
Presiden itu kan jadinya malah ngasih panggung bagi gerombolan yang tak
berarti tersebut, tapi merendahkan tuan rumah yang mengundangnya…,”
kata Subarry bernada geram. “Seandainya saya jadi Pak SBY, saya akan
tetep datang ke Belanda… Ibarat anjing menggonggong, kafilah berlalu…
Kalau perlu, anggota kelompok RMS itu saya ajak temu wicara dan saya
tawari untuk bergabung kembali ke dalam NKRI… Selesai dah persoalan.”
“Kalau yang terjadi ini justru Kafilah takut kepada anjingnya ya, ha
ha ha…. Eh, soal kafilah… Kata itu kok malah mengingatkanku pada
besarnya jumlah rombongan kepresidenan ketika melakukan lawatan ke
luar negeri… Memang seperti kafilah saja layaknya,” ujar Noyorono.
“Lha kok bisa besar jumlah anggota rombongan itu, apa saja sih yang dibawa oleh kafilah itu… Jadi penasaran…” tukas Barry.
“Dapat dimaklumi Barry… Bajunya Presiden saja konon banyak sekali,
wong anggarannya saja hampir 1 miliar rupiah setahun he he he… Kalau
dibelikan baju seragam anak sekolah, katakanlah seharga 50.000 rupiah
satu setel, cukup untuk 20.000 siswa tuh,” ungkap Noyorono.
“Ah, itu kan suara orang-orang iseng, datanya nggak benar dan nggak
berdasar… Itu kan itung-itungan di atas kertas, aku yakin nggak sebesar
itu,” sergah David. “Rombongan besar itu kan melibatkan sejumlah
menteri, anggota DPR, beberapa pengusaha, dan orang-orang media juga…
Saya kira masih wajar, nggak sebesar yang diomongin orang-orang itu”
“Apa malah lebih besar lagi angkanya, Mas David… Wakakakkkk…” ujar Barry bernada menggoda.
“Dapurmu Dap… Dap…” kata Suto sambil mesem-mesem.
Oleh Ahmad Djauhar
KETUA DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA