SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Tiiit… Tiiit… Tiit…” bunyi dering telepon di saku David
bertalu-talu, membuatnya agak geragapan dan b­u­ru-buru mengangkat
hape-nya dan membalas pembicaraan. “Ya… ya… eng… Oke oke… Di tem­pat
biasa ya…”

Tak berselang lama kemudian, bertemulah tiga serangkai ang­go­ta
kelompok diskusi partikelir itu di kafe favorit mereka di ka­wasan
Senayan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Wah, lama banget gak ketemuan ya kita… Banyak liburan dan cuti,
jadinya memengaruhi rutinitas obrolan kita… Jadi ke­keringan isu nih,”
celetuk David ketika mereka mulai ritual perbualan tersebut.

“Lho, kan banyak pertunjukan berbual alias talk show di televi­si,
harusnya gak kekurangan isu dong, Mas…” sahut Subarry Manilauw.

Ekspedisi Mudik 2024

“Ah, males nonton teve… Lha mereka itu cenderung debat kusir, mana
presenternya pada keminter pula, nyerocos nanya se­olah gak butuh
jawaban…” ba­las David. “Mendingan tidur…”

“Emang iya sih. Ngomong-ngo­mong, keminter apa sih ar­ti­nya, Mas,” kata Subarry dengan nada heran.

“Keminter itu artinya sok pinter… Sok tau… Lihat saja pe­nam­pilan
mereka saat mengawal acara perbincangan itu, malah paling banyak bicara,
mana su­sunan kalimatnya sering kacau pula, kayak nggak pernah belajar
tata bahasa,” tutur Noyorono.

“Dulu saat masih di bangku sekolah, para presenter itu sering absen
kalau pas pelajaran tata bahasa mungkin, ha ha ha… Ja­di­nya ya banyak
yang tidak mam­pu berbahasa dengan baik dan benar…” sambung Barry.

“Eh, kalian perhatikan nggak, saat ini ma­kin mar­ak tindak
ke­kerasan dan ketidakpastian hu­kum di negeri ini. Gejala apa ya ini…”
ujar Noyorono mengalih­kan topik pembicaraan.

“Iya, kayaknya makin hari se­makin rumit ya urusan di negeri ini…
Mana cuaca tak menentu, tapi suhu politik malah mema­nas… Banyak kasus
korupsi ter­ungkap, tapi tak kunjung ada yang dipenjarakan,” ungkap
Subarry Manilauw.

“Sudah gi­tu diperpa­rah de­ngan situasi Ja­karta, yang kian te­ga
menjebak warganya dalam im­p­it­an kemacet­an, sehingga pa­da frustrasi…
Leng­kap deh pen­de­ritaan bangsa kita ini..” keluh Da­vid.

“Ke­ma­cet­an Jakarta yang kian pa­rah ini memang layak dij­a­di­kan
berita besar oleh rekan- re­kan media, karena banyak war­ga yang
dirugikan. Lha wong ko­ta metropolitan sekelas Jakarta kok kalau ada
hujan sebentar sa­ja pasti timbul banjir di mana-ma­­na, sehingga
menimbulkan ke­­macetan di seantero kota… Ini ko­ta kayak nggak ada yang
ngurus ya… Ke mana saja itu ‘ahli’-nya…” ujar Noyorono.

“Harusnya kita belajar kepada Be­landa tuh bagaimana menge­lo­la banjir agar tidak menggena­ngi kota…” kata Subarry sekena­nya.

“Ah, kamu nyindir ya, Barry… Gi­mana kita mau belajar kepada
Be­landa, orang hubungan kedua ne­gara sedang tidak baik gara-ga­ra
Presiden kita membatalkan kun­jungan secara sepihak bin men­dadak…”
tutur Noyorono.

“Nggak lah Bang… Lucu aja, ke­napa Presiden SBY kita jadi ta­kut
berkunjung ke Negeri Kincir Angin ya… Padahal sebenarnya ti­dak ada yang
perlu di­khawatirkan, apalagi ditakuti… Sa­ya kok melihatnya jadi
seperti le­lucon…” Barry menambahkan. “Mana ada sih seorang kepala
ne­gara ditangkap di negeri yang di­kunjunginya secara resmi.”

“Wah, kalian kok bisa meng­ang­gap enteng ancaman bagi pe­mimpin
negara kalian sendiri sih… Kalian ini sudah keblinger tam­paknya. Jelas,
bahwa ancam­an penangkapan terhadap Pre­siden kita itu sungguh
merupa­kan penghinaan… Saya kira su­dah betul keputusan Pak SBY un­tuk
membatalkan kunjungan ke­negaraan tersebut,” ujar Da­vid.

“Nanti dulu, Mas David… An­caman itu cuma disampaikan ke­lompok kecil
yang menama­kan diri RMS alias Republik Ma­lu­ku Selatan dan tidak
substansial. Siapa sih mereka itu, no­thing lah… Lagipula, kegiatan
se­perti itu bagi mereka bukan hal baru… Senantiasa dilakukan saat ada
kunjungan pejabat tinggi kita ke Negeri Belanda… Jadi, me­ngapa terlalu
dirisaukan,” No­yo­rono berargumen.

“Tapi itu kan sudah menjadi po­tensi ancaman… Masak Ke­pa­la Negara
kita disuruh nekat meng­hadapi ancaman yang nya­ta-nyata ada… Kalian ini
nggak be­ner…” ujar David bernada me­ninggi.

“Gue yakin, Mas David, mereka itu nggak akan berani me­lakukan
tindakan ngawur kepada tamu negara. Memangnya nggak ada aturan apa di
sana [Be­landa]…. Lagian, seorang pe­mim­pin negara merdeka tidak
mung­kin diperlakukan se­sukanya oleh kelompok tertentu di negara yang
dikunjunginya… Di­plomat saja punya kekebalan diplomatik, apalagi
presiden,” Barry tampak bersemangat “me­matahkan” pendapat David.

“Betul, kamu Barry… Selain itu, mana mungkin Pemerintah Be­landa
berpangku tangan sih saat tamu kehormatan Ratu me­reka dilecehkan… Saya
kira kok ti­dak akan separah yang di­bayangkan… Jangan-jangan, Pak SBY
menerima informasi yang sa­lah, sehingga batal berkunjung…” tambah
Noyorono.

“Gitu ya… Wah, kalau sampai in­formasi itu salah, berarti para
pem­beri info layak diganjar de­ngan hukuman berat itu, karena su­dah
mempermalukan pe­mimp­in bangsa… Saya mau ikut me­ninjunya kalau memang
de­mikian halnya,” ungkap David sam­bil menatap tanpa fokus.

“Aku juga mau, Mas, untuk membogemnya… Akibat pem­ba­talan agenda
Presiden itu kan jadinya malah ngasih panggung bagi gerombolan yang tak
berarti ter­sebut, tapi merendahkan tuan ru­mah yang mengundangnya…,”
kata Subarry bernada geram. “Se­andainya saya jadi Pak SBY, sa­ya akan
tetep datang ke Be­landa… Ibarat anjing menggonggong, kafilah berlalu…
Kalau perlu, anggota kelompok RMS itu saya ajak temu wicara dan sa­ya
tawari untuk bergabung kem­bali ke dalam NKRI… Selesai dah persoalan.”

“Kalau yang terjadi ini justru Ka­filah takut kepada anjingnya ya, ha
ha ha…. Eh, soal kafilah… Kata itu kok malah mengingat­kanku pada
besarnya jumlah rom­bongan kepresidenan ketika me­lakukan lawatan ke
luar ne­geri… Memang seperti kafilah sa­ja layaknya,” ujar Noyorono.

“Lha kok bisa besar jumlah ang­gota rombongan itu, apa saja sih yang dibawa oleh kafilah itu… Jadi penasaran…” tukas Bar­ry.



“Dapat dimaklumi Barry… Ba­ju­nya Presiden saja konon ba­nyak sekali,
wong anggarannya sa­ja hampir 1 miliar rupiah se­tahun he he he… Kalau
di­belikan baju seragam anak sekolah, katakanlah seharga 50.000 ru­piah
satu setel, cukup untuk 20.000 siswa tuh,” ungkap Noyorono.

“Ah, itu kan suara orang-orang iseng, datanya nggak benar dan nggak
berdasar… Itu kan itung-itu­ngan di atas kertas, aku yakin nggak sebesar
itu,” sergah David. “Rombongan besar itu kan melibatkan sejumlah
men­teri, anggota DPR, beberapa peng­usaha, dan orang-orang me­dia juga…
Saya kira masih wajar, nggak sebesar yang diomongin orang-orang itu”

“Apa malah lebih besar lagi ang­kanya, Mas David… Wa­ka­kak­kkk…” ujar Barry bernada meng­goda.

“Dapurmu Dap… Dap…” kata Suto sambil mesem-mesem.

 

Oleh Ahmad Djauhar
KETUA DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya