SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, WONOGIRI–Ladimin, 60, menyadari rekan-rekannya sesama petani di Dusun Semen, Desa Semin, Nguntoronadi, kebanyakan berusia renta. Ia kesulitan mencari pengganti karena generasi muda rata-rata ogah ke sawah.

Kesulitan itu ditemuinya saat butuh tenaga untuk mengolah sawah. Semua proses itu kebanyakan dilakukan petani renta. Sebagian petani tua tak kuat lagi ke sawah. Sisanya meninggal dunia.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Dari kesulitan yang dialaminya, Ladimin berinisiatif memberikan pelatihan bertani kepada generasi muda. Anak-anak SD, SMP, dan SMA jadi sasarannya. Ia kemudian membikin perkumpulan yang dinamainya Sekolah Macul.

Misinya sederhana, kalau enggak terjun ke sawah hari ini, kemampuan bertani yang dimiliki anak-anak bisa menjadi bekal saat dewasa. “Menjadi guru kalau bisa mencangkul kan enggak apa-apa. Hasil bertani bisa menambahi gaji guru,” kata Ladimin, saat ditemui Espos di rumahnya, Jumat (8/3).

Sekolah Macul itu melibatkan anggota kelompok tani, karang taruna, dan kelompok wanita tani di Dusun Semen. Setiap tanggal 1, mereka membahas rencana sebulan ke depan. Mereka memberikan pendidikan bertani di sepetak lahan ukuran 20 meter x 40 meter yang dibeli Rp20 juta secara patungan.

“Di tanah itu lalu dibangun gazebo, tempat bikin pupuk, gudang, tempat penyemaian, dan lainnya. Di sana para anak-anak dilatih bertani,” imbuh dia.

Praktik itu dilakukan setiap Minggu. Mereka berkumpul untuk mencangkul, menyiangi tanaman, memupuk, hingga membuat pupuk organik. Tak hanya itu, anak-anak juga belajar teknik pertukangan mulai dari memasang bata, membuat campuran material, hingga membikin tiang penyangga buah naga.

Ada 20-an anak yang rutin mengikuti pelatihan itu. “Nanti pembimbingnya petani yang lebih senior. Total orang yang terlibat di sini ada 63 orang,”imbuh pria yang juga menjabat Kepala Dusun Semen itu.

Mengajak anak-anak bermain tanah dan cangkul tidaklah mudah. Ia harus pandai-pandai mengayomi. Anak-anak dibebaskan berkreasi sesuai kemauan asalkan positif.

Kemauan itu misalnya membikin pagar yang rapi sepanjang jalan dusun, hingga membikin taman di dekat lahan tempat mereka praktik. “Mereka mengajak menongkrong, silakan. Mereka bisa gitaran di sana. Tapi, minumnya kopi saja,” beber dia.

Hasilnya, anak-anak itu bisa menanam pepaya california yang benihnya dibagikan kepada seluruh warga Semen. Mereka juga bisa bikin pupuk cair organik. Mereka memproduksi aneka buah-buahan, salah satunya buah naga. Pendapatan dari bertani itu diberikan kepada kelompok lagi.

“Belum lama ini mereka bisa membeli sound system dan perlengkapan lainnya senilai Rp67 juta. Uangnya juga dari hasil bertani itu,” beber Ladimin.

Ia berharap dari Sekolah Macul itu anak-anak memiliki kemampuan bertani yang memadai. Kemampuan itu bisa dipakai saat mereka dewasa baik hidup sebagai warga Semen atau merantau ke daerah lain.

Menurut Ladimin, pekerjaan sebagai petani adalah mulia. “Semua orang bercita-cita ingin menjadi dokter, insinyur atau pejabat. Tapi mereka butuh petani. Kalau enggak ada petani, mereka makan dari mana? Keju sekalipun itu susunya juga dari petani,” begitu kata Ladimin memberikan motivasi.

Ke depan, ia berharap di sepetak lahan itu bisa dibangun gazebo yang lebih baik untuk tempat berkumpul anak-anak. Di lokasi yang sama juga akan didirikan semacam badan usaha milik kelompok tani dan karang taruna (BUM Kalter).

“Warga di sini semoga bisa mandiri dari hasil tanahnya sendiri. Karena anak-anaknya bisa bertani dengan baik,” harap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya