SOLOPOS.COM - Jurnalis Solo melakukan aksi diam di Manahan, Solo, Sabtu (28/9/2019), sebagai bentuk keprihatinan atas represi yang dialami jurnalis dan aktivis selama demonstrasi mahasiswa sepekan terakhir. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Belasan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surakarta menyatakan menolak tindakan represif terhadap para aktivis dalam demonstrasi mahasiswa maupun jurnalis yang meliputnya. Penolakan ini disimbolkan melalui aksi diam dengan menutup mulut.

Aksi ini merupakan spontanitas setelah mereka menggelar diskusi bertajuk Kritik = Pidana? di Warung Jangan Lombok, Manahan, Solo, Sabtu (28/9/2019) siang. Mereka menutup mulut dengan lakban hitam pertanda adanya ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan aktivitas jurnalistik di lapangan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Aksi ini merupakan reaksi atas kematian dua mahasiswa setelah demonstrasi di Kendari, Kamis (26/9/2019). Ini juga merespons kasus kekerasan yang dialami jurnalis saat meliput aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil, Selasa (24/9/2019) lalu.

Di Jakarta, AJI Jakarta mencatat sedikitnya 3 jurnalis yang mengalami kekerasan dan intimidasi oleh aparat kepolisian dan 1 jurnalis lainnya oleh massa. Belum lagi kasus pemukulan terhadap jurnalis di Makassar.

Dalam aksi diam tersebut, para jurnalis juga mengkritik penangkapan jurnalis Dandhy Laksono karena kicauan di Twitter dan aktivis Ananda Badudu karena mentransfer uang ke demonstran. Mereka membawa poster bertuliskan “Bebaskan Dandhy”, “Tak Setuju Diliput Kami Ditendang”, hingga “Setop Represi”.

Sedangkan dalam diskusi, para jurnalis sepakat bahwa kekerasan dan jatuhnya korban dalam penanganan demonstrasi menunjukkan aparat masih menggunakan cara lama. Padahal, penanganan massa oleh kepolisian seharusnya sesuai prosedur tetap (protap) yang tak mengedepankan kekerasan.

“Kalau polisi taat pada protap, harusnya tidak ada aktivis yang digebuki. Misalnya, menyiram massa pakai water canon itu ada protapnya. Sebenarnya pascareformasi protapnya sudah pro HAM, tapi kemarin pasti ada yang dilanggar,” kata Ichwan Prasetyo, jurnalis senior Solopos yang menjadi pemantik diskusi itu.

Ichwan juga menyoroti pelaksanaan protap penyelidikan dan pemeriksaan. Dia menduga dalam pemeriksaan para mahasiswa seusai demo, ada yang tidak sesuai protap.

“Ini sebenarnya sistemnya sudah demokratis, tapi aparatnya masih pakai gaya lama. Apalagi saat ini masih ada legitimasi penangkapan aktivis melalui pasal-pasal di Undang-Undang ITE [Informasi dan Transaksi Elektronik] dan pasal-pasal [yang menindak aksi] provokasi,” lanjut Ichwan.

Menurutnya, kini gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil seharusnya juga menawarkan perbaikan atas produk-produk legislasi.

Sementara itu, pemantik lain yang merupakan Ketua Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Surakarta, Taufik Nandito, menyebut penangkapan Dandhy Laksono dan Ananda Badudu benar-benar mengejutkan bagi aktivis, meski akhirnya keduanya dilepaskan.

“Kita lihat Ananda Badudu ini ditangkap hanya karena mem-posting penggalangan dana di medsos. Ini semacam shock therapy karena mereka akhirnya dilepaskan. Padahal, gerakan massa ini berbeda dari era 1974 dan 1998 karena kini mereka juga digerakkan melalui media sosial,” kata dia.

Diskusi ini juga menganalisis ciri khas gerakan mahasiswa saat ini yang digerakkan oleh tanda pagar (tagar) di media sosial. Hal ini sangat berbeda dari aksi pada era sebelum reformasi yang digerakkan para aktivis melalui konsolidasi bawah tanah. Kini, ada begitu banyak influencer yang terlibat dalam gerakan baik di media sosial maupun di lapangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya