SOLOPOS.COM - Foto Ilustrasi Densus 88 (JIBI/Solopos/Burhan Aris Nugraha)

Harianjogja.com, SOLO—Sulitnya jurnalis mengakses informasi penangkapan kasus terorisme akan dijawab dalam sebuah buku pedoman liputan jurnalis teroris yang sedang disusun Dewan Pers dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Anggota Dewan Pers Bidang Pengaduan Imam Wahyudi mengatakan, pedoman liputan jurnalis teroris diperlukan mengingat dampak yang ditimbulkan dari pemberitaan, mulai proses penangkapan, wawancara keluarga teroris hingga peruses pembinaan.

Promosi Efek Ramadan dan Lebaran, Transaksi Brizzi Meningkat 15%

“Jurnalis juga perlu memahami soal teroris,” kata dia saat memberikan materi pada acara pelatihan Jurnalisme Damai di Hotel Sahid Jaya Solo, Jumat (4/6/2014)-Minggu (6/6/2014).

Dia mengkritisi, adanya monopoli salah satu stasiun televisi dalam pemberitaaan penangkapan teroris membuat jurnalis lainnya mencari sumber-sumber informasi dan terkadang sumber tersebut kurang memahami fakta kejadian. Sementara tidak ada juru bicara dari aparat yang selalu sedia memberikan informasi.

Direktur Perlindungan  BNPT Herwan Haidir memahami kebutuhan jurnalis akan informasi terorisme. Dia mengaku sudah menyampaikan soal juru bicara dari Mabes Polri namun hingga kini masih terkendala administrasi. “Nanti akan kita sampaikan lagi ke Mabes Polri soal juru bicara,” kata dia.

Dalam kesempatan tersebut Dewan Pers juga mengeluhkan banyaknya jurnalisme pernyataan tanpa verifikasi yang lebih ditonjolkan sehingga menimbulkan kemarahan masyarakat. Kejadian terakhir yang menimpa salah satu stasiun televisi menjadi salah satu contoh jurnalisme pernyataan. “Kami sudah tegur TV One,” kata Imam Wahyudi.

Imam mengungkapkan, selama 2013 lalu ada 800 lebih pengaduan soal produk jurnalisme. Dari aduan tersebut rata-rata adalah persoalan jurnalisme penunjukan. “Yang percaya begitu saja narasumber tanpa memverifikasi,” uangkapnya.

Ketua Ikatan Jurnalisme Televisi Indonesia Yadi Hendriyana menambahkan, media tidak hanya sebatas memberitakan peristiwa namun juga perlu menjadi juru damai.

Jurnalis perlu pandai memilah angle pemberitaaan di medan konflik serta efek dramatisasi peristiwa konflik yang tidak mendidik. “Efek dramatisasi peristiwa konflik dan bencana kita sudah sepakati dilarang,” ucap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya