SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 Djoko Purwanto, Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret

Pro-kontra terkait surat edaran Dirjen Dikti Kemendikbud bertanggal 27 Januari 2012 yang ditujukan kepada para rektor/ketua/direktur PTN/PTS seluruh Indonesia tentang publikasi karya ilmiah memang tak bisa dihindari. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam edaran tersebut.
Pertama, untuk lulus program sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Kedua, untuk lulus program magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional diutamakan yang terakreditasi Ditjen Dikti Kemendikbud. Ketiga, untuk lulus program doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterbitkan jurnal internasional. Ketentuan tersebut diberlakukan setelah Agustus 2012.
Secara personal, menulis sebuah karya ilmiah (program S1) kemudian dipublikasikan secara meluas di berbagai media publikasi, termasuk jurnal ilmiah, tentu sangat bagus dan positif sebagai pembelajaran yang positif bagi mahasiswa dalam menuangkan ide, gagasan atau pemikiran kepada publik/masyarakat. Dengan kata lain, melalui gagasan memublikasikan karya ilmiah pada diri mahasiswa akan tumbuh pola pikir yang positif dan kreatif dalam menulis karya ilmiah.
Ini akan mendukung upaya membudayakan menulis di kalangan mahasiswa. Oleh karenanya, membudayakan tulis menulis karya ilmiah bagi para mahasiswa semua strata sangat positif dan patut diapresiasi positif pula. Di samping itu, kebijakan Dirjen Dikti tersebut mengisyaratkan ketertinggalan dunia perguruan tinggi kita dalam hal publikasi karya ilmiah dibandingkan dengan perguruan tinggi asing, khususnya di kawasan ASEAN.
Di sisi yang lain, tampaknya keharusan memublikasikan karya ilmiah bagi para mahasiswa diharapkan mampu meminimalkan tindakan plagiarisme. Namun demikian, bagaimana mengimplementasikan kebijakan Dikti tersebut tampaknya butuh kearifan, apalagi waktu pemberlakuannya sangat mepet, sekitar Agustus 2012. Perlu direnungkan sejenak, andaikata kebijakan tersebut sebagai harga mati–mau tidak mau jalan terus–apa boleh buat. Para pimpinan perguruan tinggi negeri dan swasta seluruh Indonesia harus menjalankannya dengan berat hati.
Masih adakah celah kebijakan tersebut dibicarakan secara lebih arif dan bijaksana di antara para pengambil kebijakan PTN/PTS seluruh Indonesia? Mudah-mudahan pintu masih terbuka. Jangan sampai melaksanakan sebuah kebijakan karena unsur terpaksa atau kepepet.
Perlu dipahami juga bahwa dalam praktiknya melakukan sesuatu aktivitas apa pun kalau dilandasi dengan serba terpaksa, kepepet, nanti hasilnya tidak akan optimal. Contoh sederhana, ketika seseorang dipaksa menulis suatu topik tertentu yang tidak disenanginya, susah rasanya untuk menuliskan kata demi kata hingga menjadi sebuah tulisan yang bermakna.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Perlu Kejelasan
Apa yang tertuang dalam surat edaran Dirjen Dikti Kemendikbud tentang publikasi karya ilmiah tersebut butuh penjelasan yang lebih rinci, semacam petunjuk pelaksanaan. Sebagai contoh, dalam surat edaran tersebut dinyatakan untuk lulus program sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah. Apakah yang dimaksud pengertian makalah di sini? Apakah makalah yang layak terbit adalah makalah dari rangkuman skripsi (S1) sebagaimana yang banyak diperdebatkan atau makalah yang berasal dari sebuah kajian singkat di lapangan yang membahas suatu topik tertentu? Atau laporan kegiatan praktikum di lapangan? Atau laporan kegiatan magang di suatu perusahaan bisa dianggap layak terbit di suatu jurnal ilmiah?
Khusus makalah yang bersumber dari skripsi, sebaiknya bukan satu-satunya yang layak diterbitkan di jurnal ilmiah. Mengapa demikian? Tidak semua program S1 mengharuskan menulis skripsi, seperi sarjana jalur nonskripsi. Kalau ini dipaksakan, dalam artian hanya makalah dari skripsi yang layak terbit di jurnal ilmiah, tentu banyak mahasiswa yang keberatan.
Persoalan lainnya adalah media yang digunakan untuk memublikasikan karya ilmiah mahasiswa tersebut. Dalam surat edaran itu dinyatakan bahwa media publikasi yang digunakan adalah jurnal ilmiah, baik yang terakreditasi nasional maupun internasional. Kalau jurnal ilmiah yang dimaksud adalah jurnal ilmiah dalam format cetak, sangatlah tidak mungkin memenuhi kebutuhan mahasiswa yang sangat banyak dan semua ingin memublikasikannya, sementara media jurnal terakreditasi nasional maupun internasional jumlahnya sangat terbatas.
Muncul berbagai terobosan menyikapi keterbatasan jurnal ilmiah cetak ke dalam format digital atau jurnal ilmiah online. Namun demikian, apakah semudah itu? Tampaknya tak semudah membalik telapak tangan! Butuh sebuah kearifan dan penanganan secara serius dan tidak boleh main-main atau terkesan asal-asalan.
Ketidakjelasan surat edaran tersebut memungkinkan berbagai penafsiran yang berbeda. Mulai dari sikap menolak secara tegas, menerima dengan berbagai catatan hingga menerima apa adanya.

Ekspedisi Mudik 2024

Jurnal Ilmiah
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, jurnal ilmiah berformat media cetak memiliki keterbatasan manakala digunakan sebagai media menampung karya ilmiah mahasiswa. Dalam praktiknya, keberlanjutan jurnal ilmiah sebagai media pengungkapan ide/gagasan/hasil penelitian bagi masyarakat pada umumnya kurang lancar dan kurang optimal dalam pengelolaannya.
Salah satu kendala yang sering dihadapi para pengelola jurnal ilmiah adalah pada umumnya pengelolaan jurnal ilmiah dikelola oleh para dosen yang pada saat yang sama mereka juga harus memenuhi tugas utama sebagai dosen. Jadi, boleh dikatakan bahwa pengelolaan jurnal tidak bisa fokus pada kegiatan mengulas naskah apalagi kalau naskah yang harus diulas banyak jumlahnya. Ini jelas akan semakin merepotkan.
Kehadiran jurnal ilmiah berformat online ini secara kuantitas mampu memenuhi kebutuhan para mahasiswa yang mengirimkan karya ilmiah untuk dipublikasikan. Secara teknis penerbitan jurnal ilmiah online tidak sulit.
Demi keberhasilan penerbitan jurnal ilmiah online, dunia perguruan tinggi harus mempersiapkan segala seuatunya, antara lain perangkat lunak dan perangkat keras yang memadai, termasuk sistem keamanan jaringan dan kesediaan bandwith yang cukup leluasa untuk menampung karya ilmiah para mahasiswa dalam jumlah yang banyak.
Ketika sudah masuk dalam sistem online, server harus betul-betul aman, tidak mudah dibobol orang yang tak bertanggungjawab (cracker), spywar, virus dan sejenisnya.
Di samping itu, yang tak kalah pentingnya adalah menyiapkan pengelola jurnal ilmiah di setiap program studi atau jurusan (program S1) dan jumlah serta kualitas tenaga pengulas yang memadai. Tenaga pengulas bertugas mengulas kelayakan makalah untuk bisa diterbitkan dalam jurnal ilmiah online.
Tugas seorang pengulas tentu tidak mudah dan ringan, apalagi kalau jumlah makalah/artikel/naskah yang masuk cukup banyak. Tentu ini akan menjadi masalah tersendiri. Pendek kata, beban tugas dosen yang sekaligus bertindak sebagai pengulas dalam situasi tersebut cukup berat, apalagi harus aktif mengajar di berbagai program studi, melakukan penelitian (hibah bersaing) dan melaksanakan pengabdian masyarakat.
Sebuah kebijakan yang berhasil diimplementasikan di dunia nyata pada umumnya bersumber dari potret realitas dan kesadaran yang sangat kuat akan kebutuhan itu, bukan asal-asalan dan bukan juga yang dipaksakan. Gagasan supaya mahasiswa memublikasikan karya ilmiah di jurnal ilmiah tentu sangatlah bagus dan layak diapresiasi. Namun, perlu berbagai catatan penting yang perlu mendapatkan perhatian dengan seksama bagi para pengambil kebijakan. Semoga!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya