SOLOPOS.COM - Lahan bekas pabrik serat nanas dengan sisa bangunan setinggi 6 meter dengan ketebalan dinding 1 meter di wilayah Desa Kedawung, Kecamatan Mondokan, Sragen, Rabu (1/7/2020). (Solopos/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN – Sragen ternyata pernah menjadi surga serat nanas pada awal abad ke-20. Wartawan Solopos, Tri Rahayu pun menelusuri kisah tersebut.

Seorang ibu membawa gelas berisi seduan teh tubruk yang ditutup rapat. Gelas itu diberikan kepada Supardi, 65, yang duduk di dingklik kayu di warung sederhana pinggir alas karet. Di hadapannya ada seorang manula, Wagiya, 70, warga Tambakboyo, Ngawi, Jawa Timur, yang mampir di warung itu seusai membeli 15 kg bekatul dari Pasar Kedawung. Warung itu terletak di wilayah Desa Bendungan, Kecamatan Kedawung, Sragen.

Promosi Gelar Festival Ramadan, PT Pegadaian Kanwil Jawa Barat Siapkan Panggung Emas

Ada juga Supardi, warga Dukuh Gempol RT 008, Desa/Kecamatan Sambirejo, Sragen. Dia mampir ke warung itu untuk melepas lelah setelah perjalanan naik motor dari Sragen. Di tengah perbincangan ringan itulah, Solopos.com datang untuk menanyakan bekas jembatan kuno buatan kolonial Belanda pada 1920-an.

Wadaw! Petugas Tiket Bus Sumber Group Jurusan Surabaya-Jogja Positif Covid-19 

Tetapi, ternyata mereka semua tidak mengetahui soal jembatan tersebut. Ketika disebut kata pabrik serat nanas Sragen, mereka baru mengetahui lokasinya.

“Itu bekas jembatan lori pengangkut serat nanas. Bangunannya tinggal fondasi tengahnya yang tingginya sekitar 5 meter. Fondasinya ukuran sisinya lebih 1 meter persegi. Dulu hendak dirobohkan warga dan mau diambil batunya tetapi tidak bisa roboh sampai sekarang. Bahkan yang berusaha merobohkan itu sekarang sudah meninggal,” kisah Supardi saat berbincang dengan Solopos.com, Kamis (2/7/2020).

Kenalkan, Ini Daniella Si Bakul Hik Cantik di Klaten, Pelanggan Dijamin Auto-Modus 

Angker

Orang setempat menyebutnya jembatan panjang karena panjangnya lebih dari 20 meter. Fondasi itu berada di pinggir sungai di tengah alas karet yang tertutup dengan tanaman perdu. Di pinggir sungai itu terdapat tanaman liar. Pengguna lahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX tak berani menanami karet di areal itu. Warga pun tidak berani ke lokasi sendirian meskipun di siang bolong.

“Daerahnya wingit [angker]. Orang ngarit [merumput] saja pulang-pulang meninggal. Terus hanya angon wedus [menggembala kambing] pulang-pulang juga meninggal,” ujar Wagiya yang diamini Supardi.

Mau Operasi di Solo, Pria Lumpuh Asal Gemolong Sragen Ketahuan Positif Covid-19, Ketularan Siapa?

Wagiya mencoba mengantar Solopos.com ke lokasi jembatan yang jaraknya hanya 1 km dari warung itu. Dengan menelusuri jalan setapak yang penuh dengan tumbuhan liar akhirnya kami berhasil masuk ke lokasi yang dikenal warga angker.

Wagiya ingat di tempat itu pernah ditemukan mayat tak dikenal. Jalan setapak itu hilang berganti dengan tanaman berduri yang lebat setinggi 2 meter sehingga menutupi fondasi jembatan. Wagiya pun mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanan dan memilih kembali ke warung.

Serat Nanas

Bagi manula di Kedawung dan Sambirejo, Sragen, serat nanas sudah tidak asing. Nanas yang dimaksud bukanlah pohon nanas yang buahnya bisa dinikmati dengan sambal rujak. Pohon itu memang seperti pohon nanas tetapi tidak berbuah dan di ujung daunnya ada durinya yang lancip.

“Orang menyebutnya pohon serat nanas tapi bukan pohon nanas. Pohon ini tidak berbuah melainkan hanya berbunga saja. Daun-daunnya itu yang dimanfaatkan dan diambil seratnya. Di sekitar jembatan ini dulunya merupakan kebun serat nanas yang sekarang beralih fungsi menjadi kebun karet,” ujar Supardi.

Kenalkan, Ini Daniella Si Bakul Hik Cantik di Klaten, Pelanggan Dijamin Auto-Modus 

Serat nanas dalam peta-peta buatan belanda pada tahun 1920-an disebut dengan istilah Belanda Vezel (serat/serabut) atau sejenis agave (semacam tanaman hias). Supardi tahu betul dari cerita simbah-simbahnya tentang bagaimana mengola daun serat nanas itu menjadi serabut yang dikirim ke pabrik. Di sekitar tempat tinggalnya di belakang Puskesmas Sambirejo, Sragen ada bangunan yang digunakan sebagai tempat meremdam daun serat nanas itu.

“Daun serat nanas itu direndam dalam waktu tertentu dan seratnya nanti mengapung sendiri baru kemudian diambil dan di bawa ke pabrik. Di tempat saya itu masih ada sisa bangunan penampungan dan rendaman serat nanas,” katanya.

Lokasi pabrik

Dari cerita sejumlah sumber di wilayah Kedawung dan Sambirejo, Sragen, pabrik serat nanas itu terletak di wilayah Desa Blimbing, Sambirejo. Kini pabrik itu rata tanah dan menjadi Lapangan Desa Blimbing. Semua serat nanas disetor ke pabrik itu untuk diolah menjadi bahan dasar tekstil dan diekspor ke Eropa pada kala itu.

Ada juga yang dibuat goni. Ada yang menyebut pabrik serat nanas itu sebagai pabrik goni. Selain itu Sambirejo, ada yang pernah menyebut adanya pabrik serat nanas di seputaran Desa Karangpelem dan Celep, Kecamatan Kedawung.

Ambyarrr… Thathit Paksi Penabuh Gendang Dory Harsa Nikah Gaes 

Kasi Cagar Budaya dan Permuseuman Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Sragen, Anjarwati Sri Sayekti, mencatat ada empat lokasi pabrik serat nanas buatan Belanda, yakni di wilayah Sambirejo, Kedawung, Masaran, dan Mondokan. Kondisinya sekarang sudah beralih fungsi menjadi permukiman penduduk dan areal pertanian.

“Di wilayah Sumberlawang juga ada kebun serat nanas/agave sepertinya pabriknya ada di wilayah Boyolali. Pabrik serat nanas di Masaran itu tepatnya di Desa Gebang, di Kedawung itu ada Kantor Onderneming yang dulu penghasil serat nanas dan sekarang berubah menjadi komoditas karet,” ujarnya.

Anjarwari menduga ada pembagian wilayah perkebunan di wilayah Sragen (Sukowati) oleh Belanda yang didasarkan pada penelitian kondisi lahan. Sebab ada sejumlah perkebunan di Sragen, yakni serat nanas, kopi, karet, kapas, dan gula.

Sisa Bangunan

Pabrik serat nanas di Mondokan, terletak di wilayah Desa Kedawung. Sisa bangunannya masih ditemukan berupa tembok besar yang terbuat dari batu yang direkatkan dengan semen merah dan pasir. Ketebalan tembol hampir 1 meter. Tembok itu berada di pinggir sungai.



“Bangunan pabrik serat nanas itu sudah rusak saat saya kecil. Dari cerita simbah-simbah, kebun seran nanasnya ada di wilayah Dukuh Garut, Kedawung, Mondokan. Sekarang sudah tidak ada pohonnya. Pohon serat nanas itu berbeda dengan pohon nanas,” ujar Mbah Joyo, 70, yang tinggal bersebalahan dengan pabrik serat nanas Mondokan, saat ditemui Solopos.com, Rabu (1/7/2020) lalu.

Kisah Suroto Magelang, 10 Tahun Kurung Diri di Kamar Sejak Erupsi Merapi Tak Pernah Mandi

Pegiat sejarah dari Komunitas Tilik Ibu Pertiwi Sragen Jarwanto pernah menemukan sebuah batu berukuran besar di seberang sungai. Dari keterangan warga ada tulisan yang berbentuk kotak-kotak dan sulit dibaca. Sayangnya, prasasti itu sekarang sudah tidak ada.

Jarwanto juga menemukan sebuah tempat yang diduga sebagai tempat penampungan serat nanas di wilayah Dukuh Sekulak RT 010, Desa Majenang, Sukodono,  Sragen. Jaraknya sekitar 5 km dari pabrik serat nanas Mondokan. Kini, bangunan di Sekulak itu sudah menjadi kebun kosong berhak milik.

Pabrik serat nanas ternyata tak hanya di empat lokasi itu tetapi juga ada di wilayah Gemolong, Sragen. Pegiat sejarah dari Komunitas Sragen Temp Doeloe, Yoto Teguh Pambudi, mencatat adanya pabrik serat nanas di sekitar Ngloji, tepatnya di Dukuh Banyurip, Desa Brangkal, Gemolong.

“Pemilik pabrik itu diketahui bernama Pieter. Rumah Pieter itu berada di Gemolong yang sekarang menjadi dukuh bernama Loji Rejo. Saya menduga ada bangunan di wilayah Kalijambe yang juga milik Pieter sebagai gudang serat nanas,” ujarnya.

Mangkunegara VII

Pasca-kemerdekaan, mesin-mesin pabrik masih ada tetapi terbengkalai. Yoto mengatakan oleh warga, mesin-mesin itu dijual rosokan dan lahannya dihuni Siswo Prawiro yang mantan pekerja Romusha pada zaman Jepang. Yoto mengatakan sekarang bekas bangunan pabriknya sudah tidak ada tetapi ingatan masyarakat setempat masih ada tentang pabrik serat nanas itu.

Dalam laman Puromangkunegaran.com, Mangkunegara VII pernah mendirikan pabrik serat nanas di Mojogedang, Karanganyar, yang dekat dengan Sragen, pada 1922. Serat nanas menjadi bahan baku tekstil yang laku keras di pasaran Eropa.

Daleeem… Ini Arti Nama Unik Dita Leni Ravia Si Remaja Cantik Asli Gunungkidul 

Mangkunegoro VII menanam serat nanas sejak 1920 untuk persiapan produksi seluas 20,09 hektare dan bertambah menjadi 330,47 hektare pada 1923. Pada puncak kejayaan pabrik serat nanas Mojogedang, luas perkebunan serat nanas mencapai 1.069,36 hektare pada 1932 dengan produksi mencapai 12.059 kuintal. Pabrik itu mengalami surut setelah 1936.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya