SOLOPOS.COM - Abdul Muid Badrun (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Terungkapnya kasus ijazah palsu mantan Bupati Sragen Untung Wiyono yang digunakan dalam pencalonannya sebagai bupati Sragen dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Sragen 2000 mencederai praktik dunia pendidikan. Kenyataan ini semakin memukul mundur dunia pendidikan kita. Inilah potret sekaligus fakta pendidikan kita yang tak bisa lepas dari cengkeraman dan telikungan para pemilik modal dan kekuasaan (uang dan politik).

Abdul Muid Badrun (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda

Sebagai pengajar, saya sangat menyayangkan mengapa baru sekarang kepolisian (Polda Jawa Tengah) menyatakan secara resmi bahwa ijazah Untung Wiyono palsu. Padahal dugaan ijazah palsu sudah dilaporkan 11 tahun yang lalu. Meski demikian kita patut mengapresiasi pihak kepolisian karena dengan pernyataan ini, pemangku kepentingan pendidikan Indonesia khususnya di wilayah Solo dan sekitarnya akan semakin berhati-hati dalam mengeluarkan ijazah resmi.
Sebenarnya di dunia pendidikan praktik jual-beli ijazah bukan hal yang baru. Hal ini sering diungkap, namun tak satu pun yang dapat diputus oleh pengadilan bahwa perguruan tinggi (PT) X misalnya ditutup karena melakukan tindakan amoral tersebut. Inilah yang dalam bahasa monolog Butet Kartarejasa disebut “budaya kentut”, yaitu tahu ada masalah tapi sulit sekali membuktikan siapa pelakunya.

Jika ditarik lebih jauh tentang praktik jual-beli ijazah ini, kita akan menemukan berbagai penyebab mengapa hal ini bisa terjadi. Menurut saya, setidaknya ada dua penyebab utama. Pertama, hilangnya moralitas pemangku pendidikan di Indonesia baik di tingkat nasional maupun daerah. Termasuk juga hal ini menyangkut pemberian gelar Doktor Honoris Causa oleh rektor Universitas Indonesia (UI) kepada Raja Arab Saudi. Hal ini terjadi karena kurangnya pengawasan dan pengetatan praksis output pendidikan (sarjana, master, doktor). Praktik tebang etik dilakukan hanya untuk membiayai kelangsungan hidup perguruan tinggi tersebut.

Kedua, pendidikan nasional kita telah jadi tumbal perkawinan kekuatan kapitalisme (pemodal besar) dan kekuasaan. Inilah yang oleh Elizabeth Anderson disebut neoliberalisme pendidikan. Menurutnya, seperti yang dijelaskannya dalam Beyond Homo Economicus: New Development in Theories of Social Norms dalam Neoliberalisme oleh I Wibowo dan Francis Wahono, 2003, paradigma berpikir neoliberalisme pendidikan selalu melihat berdasarkan kalkulasi ekonomi untung-rugi dalam setiap transaksi.

Anderson menyebut ada dua gagasan ontologi yang mendasari neoliberalime pendidikan itu berjalan. Pertama, hubungan-hubungan antarpribadi dan sosial mesti dipahami dengan menggunakan konsep dan tolok ukur ekonomi.
Jadi, ontologi economicus punya implikasi pada epistemologi economicus pula. Berdasarkan itu, perubahan yang ingin dilakukan dalam pendidikan hanya bisa dipahami dan didekati dengan konsep dan solusi ekonomi (sistem pasar). Dalam konteks ini, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memperbaiki situasi tak normal ini

Kedua, prinsip ekonomi juga merupakan tolok ukur untuk mengevaluasi berbagai tindakan dan kebijakan pemerintah suatu negara. Jika liberalisme klasik abad ke-18 menuntut pemerintah untuk menghormati kinerja pasar sebagai salah satu cara jitu kehidupan ekonomi, neoliberalisme saat ini menuntut kinerja pasar bebas sebagai satu-satunya tolok ukur untuk menilai berhasil tidaknya semua kebijakan pemerintah.

Dari sinilah saya menduga praktik pendidikan nasional kita telah menjadi tumbal neoliberalisme yang mendewakan mekanisme pasar. Padahal, pendidikan yang menyangkut hajat hidup orang banyak butuh proteksi dan intervensi pemerintah. Kalau semuanya diserahkan pada pasar, realitas seperti inilah yang harus kita terima. Siapa yang punya uang dan kekuasaan maka dialah yang akan mengendalikan semuanya.

Antisipasi
Untuk menjawab persoalan jual-beli ijazah ini, menurut saya ada dua solusi yang bisa dilakukan dan dikembangkan oleh pemerintah bersama pemangku pendidikan.

Pertama, kebijakan pengawasan ketat. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional lewat jajaran di bawahnya mensyaratkan adanya lisensi (pengesahan) untuk setiap ijazah yang dikeluarkan oleh kepala sekolah maupun rektor. Selama ini kepala sekolah maupun rektor “berkuasa” memberikan tanda tangan untuk setiap ijazah. Di sinilah praktik jual-beli ijazah subur terjadi.

Kedua, penegakan hukum. Maksudnya, jika poin pertama tadi dilanggar, pemerintah harus bertindak tegas dengan menutup izin lembaga pendidikan tersebut. Selain itu, pers dan kepolisian juga harus mengawasi implementasi dua solusi ini. Dengan demikian, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaannya bisa terukur dengan baik.

Inilah shock therapy yang bisa dikembangkan pemerintah agar tak terjadi lagi praktik jual-beli ijazah seperti yang dilakukan mantan Bupati Sragen Untung Wiyono. Saya sebagai pengajar sudah lama memimpikan pendidikan di Indonesia bebas dan imun terhadap berbagai kepentingan di luar pendidikan. Harapannya, output pendidikan bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Di sinilah sebenarnya nilai pendidikan nasional dipertaruhkan. Tanpa nilai, pendidikan nasional yang menjadi fondasi majunya peradaban bangsa akan tetap jadi alat kekuasaan semata. Bagaimana menurut Anda?

Abdul Muid Badrun, Dosen STIE Surakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya