SOLOPOS.COM - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo (ilustrasi/JIBI/Solopos/Dok.)

Solopos.com, JAKARTA — RAPBN 2015 yang disusun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menimbulkan banyak kritik, termasuk kekhwatiran akan menjadi jebakan politik bagi pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK)–jika MK menolak gugatan Pilpres 2014 yang dilayangkan Prabowo-Hatta.

“Menurut saya, subsidinya terlalu besar. Banyak tempat yang sepertinya masih bisa diefisienkan. Itu yang harus dikerjakan, sehingga punya ruang fiskal yang lebih besar, lebih luas. Ya kalau bisa bagi-bagi lebih baik,” kata Jokowi disela menghadiri acara peringatan HUT ke-69 Kemerdekaan RI di Istana Kepresidenan Jakarta, Minggu (17/8/2014).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pernyataan yang sekaligus respons atas RUU tentang RAPBN 2015 dan nota keuangan yang disampaikan Presiden SBY pada Jumat (15/8/2014). Dalam RAPBN 2015, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi sebesar Rp433,51 triliun, naik Rp30,48 triliun dibandingkan dengan subsidi pada anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBNP) 2014.

Hampir 83% atau setara dengan Rp363,53 triliun alokasi subsidi itu untuk bahan bakar minyak (BBM). Sementara, subsidi listrik sebesar Rp72,42 triliun. Adapun subsidi nonenergi dialokasikan senilai Rp69,98 triliun atau naik Rp17,25 triliun dibandingkan dengan APBNP 2014.

Wajar jika reaksi bermunculan melihat angka-angka itu, karena postur anggaran di dalam RAPBN 2015 akan dijalankan oleh pemerintahan baru. Setelah 10 tahun mengemban amanat konstitusi sebagai presiden, SBY akan segera mengakhiri periodenya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan pada Oktober 2014.

Deputi tim transisi yang juga Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristianto, menilai RAPBN 2015 yang diajukan pemerintahan SBY mewariskan kerawanan fiskal kepada pemerintah baru. Dia menjelaskan tidak tegasnya langkah SBY dalam mengalokasikan anggaran subsidi BBM berpotensi menjadi ‘jebakan’ politik terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

“Inflasi dikunci 4,4%, padahal BBM harus naik tahun depan. Tidak ada ruang untuk ekspansi fiskal. Kalau bicara keberlanjutan pemerintah, mestinya mewariskan pondasi pemerintahan yang baik,” jelasnya, Sabtu (16/8/2014).

Bersambung ke Hal. 2: Pemerintah SBY Lepas Tangan

Pemerintah SBY Lepas Tangan

Satu yang disayangkan, kata Hasto pemerintahan SBY tidak membuka ruang dialog untuk membahas potensi kerawanan fiskal pada tahun depan. Tim transisi juga menilai ada sejumlah hal yang tak diungkap dengan jujur oleh Presiden SBY, seperti nilai utang pemerintah yang cukup besar, yaitu ke PT Pertamina (Persero) sebesar Rp48 triliun dan dana bagi hasil sejumlah Rp11 triliun.

“Soal perpajakan, tidak ada perubahan. Tidak ada reformasi perpajakan. Ini tidak dilakukan oleh pemerintah SBY. Tapi kita lihat kemarin, seolah segala sesuatunya baik,” kata Hasto.

Dalam nota keuangan tercermin penerimaan fiskal dalam RAPBN 2015 ditarget konservatif, sementara bobot pengeluaran cenderung diikat oleh tingginya belanja tak produktif. Sisi lain, kebijakan-kebijakan dan sasaran prioritas yang seharusnya dapat dieksekusi saat ini dilimpahkan sepenuhnya kepada pemerintahan baru.

Situasi yang dianggap sebagai langkah “lepas tangan” pemerintahan SBY. Sinyal itu mudah dijumpai kala menteri-menteri dalam susunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid kedua, melempar target dan tanggung jawab yang seharusnya tercapai jelang usia kabinet berakhir.

“Itu terserah pemerintahan baru. Silakan pemerintahan baru yang hitung besaran pengurangan subsidi BBM,” kata Menteri ESDM Jero Wacik dalam beberapa kesempatan termasuk saat jumpa pers di gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jumat (16/8/2014).

Semangat itu senada dengan menteri-menteri lainnya. Menteri BUMN Dahlan Iskan juga menyerahkan tugasnya dalam strategi pembentukan holding badan usaha milik negara (BUMN) di bidang perkebunan dan kehutanan, termasuk penguatan kinerja perusahaan pelat merah di sektor lainnya.

“Rencana itu terserah menteri yang baru, terserah pemerintahan nantinya, karena selama ini menghambat rencana PTPN VII listing di bursa efek,” ujarnya pada kesempatan yang sama.

Menteri Pertanian Suswono juga seperti tak mau pusing dengan target swasembada untuk lima barang pangan strategis; beras, jagung, gula, kedelai, dan daging sapi, yang ditargetkan dapat terpenuhi sampai akhir tahun ini. Dari kelima komoditas itu, swasembada beras dan jagung masih mungkin tercapai kendati terdapat kontroversi data pemerintah terkait impor. Sementara itu, swasembada gula, kedelai, dan daging sapi masih jauh dari target.

“Kita defisit lahan sekitar 60.000 hektare per tahun, jadi memang harus realistis. Pekerjaan utamanya yakni menata ulang kebutuhan lahan itu,” kelit Suswono saat mengonfirmasi Bisnis di hari yang sama.

Kegagalan target swasembada tahun ini boleh jadi sangat mengecewakan. Pasalnya, anggaran yang dialokasikan untuk pangan secara umum meningkat tujuh kali lipat sejak 2004 senilai Rp10 triliun dan mencapai lebih dari Rp70 triliun pada tahun ini.

Rapor merah rasanya cukup pantas disematkan kepada beberapa kementerian. Namun, Presiden SBY juga mengakui banyak program dan kebijakan belum sempat dilakukan akibat situasi perekonomian global sehingga berpengaruh jelang masa baktinya berakhir.

Dalam pidatonya, Kepala Negara berharap pemerintahan baru lebih gesit dan serius untuk memperbaiki program dan anggaran dalam lima tahun ke depan. Dalam RAPBN 2015 pemerintah merencanakan belanja negara sebesar Rp2.019,87 triliun, naik 7,6% terhadap APBN Perubahan 2014.

Dari situ, anggaran terbesar masih terkonsentrasi untuk pendidikan yakni sebesar Rp404 triliun atau 20% dari APBN. Sementara itu, total pendapatan negara mencapai Rp1.762,3 triliun yang terdiri dari penerimaan perpajakan Rp1.370,8 triliun, PNBP sebesar Rp388 triliun dan penerimaan hibah sebesar Rp3,4 triliun.

Artinya, defisit anggaran dalam RAPBN 2015 mencapai Rp257,6 triliun atau 2,32% terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit anggaran sebesar itu seharusnya memacu ekspansi kebijakan fiskal.

Faktanya justru tak semanis konsekuensi di atas kertas. Belanja negara akan terkonsentrasi untuk menambal subsidi BBM yang tahun depan ditaksir bertambah Rp44,6 triliun, pembayaran bunga utang naik Rp18,5 triliun, dan transfer daerah membuntal dengan tambahan Rp43,5 triliun.

Lain sisi, pertumbuhan penerimaan fiskal diyakini konservatif. Penerimaan pajak ditarget hanya naik 11,2%, lebih realistis dibandingkan dengan lima tahun lalu. “Angka itu yang lebih aman, kalau kelebihan nanti harus ada perubahan lagi. Untuk itu, target pajak tidak terlalu tinggi. Kalau ada perbaikan, diserahkan saja ke pemerintahan baru,” timpal Fuad Rahmany, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Anggapan bahwa ruang gerak fiskal yang sempit oleh pemerintahan baru, ditepis langsung oleh Menteri Keuangan Chatib Basri. “RAPBN 2015 adalah RAPBN yang sepenuhnya bisa diubah oleh pemerintah, oleh presiden terkait nanti saat APBN. Itu harus nanti dibicarakan,” kata Chatib Basri.

Dia menegaskan RAPBN 2015 merupakan postur anggaran pemerintahan yang sebenarnya, sebelum dilakukan kebijakan apapun. Oleh karena itu, anggaran belanja kementerian dan lembaga (K/L) terlihat tidak berbeda dari tahun sebelumnya. “Gini deh, jangan dibikin rumit semuanya. Simple saja. RAPBN 2015 itu hanya baseline, hanya gaji, operasional. Kalau enggak suka ubah saja di APBNP pada Januari. Selesai sudah. Se-simple itu,” tegas Chatib.

Nina Sapti, Ekonom Universitas Indonesia berpendapat ruang untuk penerimaan pajak masih sangat luas. Pemerintahan baru dapat mengenjot strategi ekstensifikasi yang selama ini sulit disentuh. “Nina meyakini pemerintahan baru di bawah kendali Jokowi-JK akan memiliki strategi yang cukup mumpuni untuk mengurai persoalan pajak.

Selama memimpin DKI Jakarta, Jokowi dinilai berpengalaman melakukan penyisiran anggaran, terutama meningkatkan penerimaan pajak. Selain itu, pemerintahan baru juga harus mampu memperbaiki sistem pencairan anggaran sehingga menciptakan efisiensi. Dengan begitu, efek belanja negara akan jauh terasa terhadap produk domestik bruto.

“Itu pekerjaan rumah yang harus bisa selesai, kok ya belaja negara itu efeknya masih kecil sekali, padahal tahun depan anggaran negara tembuh Rp2.000 triliun loh,” timpalnya.

Strategi stimulus fiskal, sambung Nina, harus senada dengan pertumbuhan ekonomi yang diyakini masih cukup bertenaga tahun depan yakni sebesar 5,6%. Stabilitas ekonomi nasional dan peningkatan daya saing semestinya berbarengan dengan optimalisasi pendapatan negara.

Pemerintah memang mematok beberapa asumsi makro tahun depan. Selain pertumbuhan ekonomi, Inflasi tetap dipercaya terjaga di level 4,4%, suku bunga SBN tiga bulan sebesar 6,2%, dan nilai tukar rupiah diharapkan stabil pada Rp11.900 per dolar Amerika Serikat.



Bersambung ke Hal. 3: Tak Sinkron

Tak Sinkron

Guru besar Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika berpandangan ada ruang yang bisa dipakai pemerintahan mendatang mengubah RAPBN yang sudah disampaikan pemerintah.

“Pekan depan ada keputusan dari MK, setelah itu langsung bisa koordinasi dengan pemerintah untuk memasukkan hal yang paling penting. Kemudian masih ada ruang di APBNP, bulan kedua dan ketiga pada 2015,” tuturnya.

Jika hal itu bisa dilakukan, maka pemerintahan yang baru dapat mendesain APBN yang diinginkan walaupun tidak sesuai dengan keinginan awal. Dia mengaku RAPBN 2015 yang dirancang pemerintah saat ini kurang sinkron. Bukan cuma masalah subsidi, presiden terpilih menginginkan pembangunan maritim sebagai prioritas, reformasi agraria, pembangunan infrastruktur, dan lingkungan.

“Semua belum terakomodasi tahun depan, masih banyak paket program yang belum bisa direalisasikan. Makanya ruang kesempatan yang ada harus dimanfaatkan betul agar janji-janji yang disampaikan presiden bisa diakomodasi,” katanya.

Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tidak yakin pertumbuhan ekonomi akan tercapai di level 5,6%. Dia memandang pemerintah sejauh ini tidak berinisiatif mendorong terciptanya lokomotif pembangunan. “Mulai dari kebijakan BBM yang selalu main aman, belanja negara tidak efisien, target pajak tidak pernah tercapai, sampai belanja modal yang sama sekali tidak berpengaruh banyak,” ketusnya.

Pada akhirnya, penggiat dunia usaha dan semua lini yang berkepentingan terhadap pertumbuhan ekonomi sangat berharap pemerintahan baru dapat mengumpulkan masalah-masalah yang berserakan, lebih berani bersikap dan memutuskan kebijakan jangka panjang, dan berhenti bermasturbasi di balik pencitraan individu dan kelompok.



Tak mau terlibat dalam polemik berkepanjangan, Jokowi memilih bersikap bijak dalam menanggapi postur anggaran tahun depan. “Nanti akan bicara dengan fraksi-fraksi setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi. Kami belum bertemu dengan semua partai, saya akan sampaikan semua termasuk yang harus direvisi itu,” katanya.

Dia masih enggan membeberkan gagasan. Nada bicaranya pun relatif datar. Sesekali, pandangannya tak beraturan sembari memperhatikan giliran pejabat yang meninggalkan gedung.

Hanya saja, semua mata tentu menyorotnya sebagai calon kuat pemegang tongkat estafet untuk pemerintahan baru lima tahun ke depan. Isu-isu strategis nasional jelas akan segera dipikulnya, terutama keputusan memangkas subsidi bahan bakar minyak yang membebani postur APBN. “Sebenarnya, kalau sekarang sudah bisa dilakukan , kita lebih enteng, agar prioritas kebijakan bisa langsung dikerjakan.”





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya